DPR, Jadilah Manusia Dulu!
J Kristiadi ; Peneliti Senior CSIS
|
KOMPAS,
01 September 2015
Judul di atas adalah
petikan pernyataan Kiai Mustofa Bisri (Gus Mus) dalam Tempo.co (28/8).
Kutipan agak lebih lengkap: ”Pimpinan, anggota DPR, semua yang di atas harus
jadi manusia dulu”. Menurut Gus Mus, menjadi manusia adalah mengenali dirinya
dengan segala sisi-sisi kemanusiaannya sehingga mampu memanusiakan orang lain
dan tidak menganggap dirinya sendiri paling benar.
Mengapa harus menjadi
manusia dulu? Apakah selama ini makhluk-makhluk bertampang gagah, berpakaian
necis, murah senyum, dan beraroma harum semerbak laiknya dewa-dewi penghuni
nirwana bukan manusia? Tentu saja mereka manusia. Namun, mungkin belum
menjadi manusia yang mampu bertahana (berdaulat) terhadap dirinya sendiri.
Mereka belum menjadi manusia yang mampu menyangkal dirinya sendiri
(self-denial) mengusir pamrih pribadi, mengendalikan vorasitas (kerakusan),
mempergunakan ketajaman nalar, serta daya empati untuk mengendalikan nafsu mereguk
kenikmatan kekuasaan.
Padahal, DPR
memerlukan manusia yang mampu mengontrol dorongan nafsu serakah, mempunyai
kearifan, dan kompetensi penalaran yang benar, sehingga dalam mengelola
negara, mereka lebih mengutamakan kepentingan bersama. Suara kenabian Gus Mus
hampir dapat dipastikan bermakna demikian. Kumandang suara kenabian itu
merupakan daya getar vibrasi keprihatinan rakyat.
Merosotnya nilai
rupiah, kenaikan harga kebutuhan sehari-hari pasca Lebaran, semakin mencekik
rakyat. Oleh sebab itu, memaksakan pembangunan kompleks DPR senilai Rp 2,7
triliun sangat melukai nurani publik. Terlebih prestasi DPR periode 2014-2019
sangat menyedihkan. Sebanyak 39 RUU Prolegnas 2015, belum satu pun berhasil
menjadi undang-undang. Kalaupun tiga UU disahkan, dua di antaranya berasal
dari perppu dan satu lagi merupakan UU MD3 yang sarat interes anggota Dewan.
Berbagai kajian juga menunjukkan partai politik dan DPR selalu bertengger di
papan atas dalam penyalahgunaan kekuasaan atau korupsi.
Kecaman amat keras
terhadap rencana sejenis juga pernah dilakukan tahun 2011. Budayawan
(pelukis) Hardi bersama beberapa pelukis lainnya mengekspresikan kekesalan
terhadap kejumudan DPR dengan melukis gedung DPR sebagai WC umum. Dalam
lukisan yang berlatar belakang atap gedung DPR itu, tergambar banyak patung
Sang Pemikir tengah berjongkok seolah-olah buang air besar (Kompas, 28 April
2011).
Harapan simpatik Gus
Mus agar DPR berkontemplasi politik perlu direspons dengan tulus dan rendah
hati. Sejauh ini alasan pembangunan tujuh proyek itu demi meningkatkan
kualitas demokrasi. Pembenaran yang bersembunyi di balik mantra demokrasi dan
logika berpikir sesat. Membangun gedung dan alun-alun dianggap sebagai tanda
meningkatkan mutu demokrasi hanya memamerkan kedangkalan berpikir.
Argumentasi tersebut
menunjukkan meluasnya fenomena pemujaan kedangkalan yang dewasa ini sedang
bersemayam di kalangan para elite politik. Pemahaman tentang kriteria
kualitas demokrasi merosot menjadi sekadar bangunan fisik disertai
simbol-simbol lain yang justru dapat menyesatkan persepsi publik mengenai
demokrasi.
Oleh sebab itu, tidak
mengherankan rencana pembangunan yang melawan nalar publik mendapat kecaman
dan kritik keras dari berbagai kalangan masyarakat, termasuk beberapa
pemimpin dan anggota DPR. Pada titik inilah permenungan politik harus menjadi
agenda penting. Demokrasi bukan hanya proses dan prosedur, terlebih bukan
struktur bangunan apa pun namanya, melainkan nilai-nilai luhur seperti
memuliakan perbedaan, merayakan kebersamaan dalam mewujudkan kebahagiaan
bersama. Permenungan ulang tahun ke-70 DPR untuk menemukan dan menegaskan
bahwa mereka bukan kumpulan ”sebuah” manusia, melainkan insan manusia yang
mempunyai martabat untuk mampu memberikan dirinya demi kepentingan
masyarakat.
Pertanyaannya, bagaimana
memanusiakan para anggota DPR yang diidamkan Gus Mus dan masyarakat dapat
disemai? Setidak-tidaknya dua jalan perlu ditempuh. Pertama, para kader
partai di parlemen harus dibebaskan dari cengkeraman oligarki kekuasaan
petinggi partai. Mereka adalah insan manusia yang terpanggil untuk berjuang
mewujudkan kesejahteraan umum, bukan petugas partai yang tunduk dan takluk
kepada interes elite partai, khususnya ketua umumnya. Banyak kader partai
yang memiliki niat luhur, tetapi terbentur dengan praktik kepemimpinan
oligarki partai.
Kedua, kader partai
harus dimerdekakan dari ”kewajiban moral” mencari dana perjuangan partai jika
ingin menjadi pejabat publik. Praktik memberikan ”upeti” atas nama perjuangan
partai banyak menjadi pembicaraan di lingkungan internal partai. Praktik
semacam itu juga membuat kader partai merasa miris dan cemas karena
pertanggungjawabannya tidak jelas.
Untuk mewujudkan
anggota DPR menjadi insan manusia yang bermartabat, diperlukan kolaborasi
antara masyarakat sipil dan pemutus politik. Agendanya, menyusun desain
pengelolaan kekuasaan negara yang bermartabat. Dengan demikian, pemahaman
mengenai demokrasi tidak sebatas simbol dan retorika, tetapi memuliakan
kekuasaan sebagai landasan mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar