Selasa, 01 September 2015

Merawat Sekolah Gratis

Merawat Sekolah Gratis

Sidharta Susila  ;  Pendidik di Muntilan, Magelang, Jawa Tengah
                                                     KOMPAS, 01 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Sekolah gratis selalu memesona. Media cetak dan elektronik gemar mengabarkan sekolah gratis dan aktor pengelolanya.

Sekolah gratis, khususnya sekolah swasta gratis, memang indah dan memesona. Sekolah swasta gratis adalah ekspresi budi dan jiwa luhur pengelolanya. Sekolah semacam ini sungguh- sungguh hanya ditopang oleh empati, panggilan jiwa, dan pengabdian yang sempurna. Dari sekolah swasta gratis semacam ini bakal lahir lulusan yang berbudi luhur karena mereka digodok dalam gelora jiwa pengabdian yang tulus nan lugas.

Penyelenggaraan sekolah gratis bukan berarti tak butuh biaya. Pada edisi 25 Agustus 2015, Kompas menampilkan laporan sekolah gratis pada sekolah swasta di Desa Batumerah, Kecamatan Sirimau, Kota Ambon, Maluku.

Sekolah ini didirikan seorang pegiat sosial yang bertugas di Ambon pasca konflik sosial 1999 untuk menampung anak-anak korban kerusuhan. Kegiatan operasional kala itu ditopang lembaga donor dan pemerintah. Artinya, pembiayaan sekolah gratis itu ditanggung lembaga donor dan pemerintah. Hal yang sama sesungguhnya terjadi dengan sekolah negeri gratis saat ini yang pembiayaannya ditopang pemerintah/negara.

Pada sekolah swasta gratis yang dilaporkan Kompas itu, ketika sang aktivis pulang, aktivitas sekolah nyaris terhenti. Agaknya sekolah gratis ini adalah proyek sementara atau darurat. Ketika keadaan darurat selesai, dana penyelenggaraan sekolah darurat pun terhenti. Aktivitas sekolah gratis ini nyaris terhenti.

Dana tak memadai

Seperti ditulis Kompas, sekolah gratis swasta ini kini masih berjalan, tetapi kondisinya tak ideal karena dana penopangnya tak memadai. Gedungnya tak me- madai. Gaji gurunya Rp 150.000 per bulan. Sumber dana gaji guru dari uang BOS; itu pun sering tak mencukupi.

Sesungguhnya untuk menyelenggarakan sekolah gratis yang baik, mantap, dan berkelanjutan niscaya dibutuhkan dana yang tak sedikit. Kecuali kalau sekolah gratis itu diintensikan untuk kepentingan darurat.

Negara adalah penyelenggara sekolah gratis paling ideal. Lewat pengelolaan pendapatan negara, salah satunya pajak rakyat, negara mampu menyediakan dana yang besar untuk menyelenggarakan sekolah gratis yang baik, adil, dan berkelanjutan. Selama negara mengelola uang rakyat dengan baik dan berkeadilan, sekolah gratis yang dikelola negara tetap terselenggara.

Di beberapa tempat ada sekolah swasta gratis yang didanai perusahaan besar atau orang per orang baik lewat uang pribadi maupun dengan menghimpun para donatur. Untuk sekolah semacam ini harus dipikirkan dan dipastikan bahwa sekolah swasta gratis tak akan mengalami kesulitan pembiayaan penyelenggaraan ketika perusahaan penopang bangkrut atau pengelola berganti. Sebab, pada akhirnya peserta didik yang jadi korban.

Pendidikan gratis adalah upaya menjamin terpenuhinya hak dan keadilan mendapat pendidikan. Maka, pendidikan gratis harus mendidik. Penyelenggaraan pendidikan gratis juga harus tetap menjamin kualitas, merawat keutamaan pendidikan dan organisme pendidikan yang telah ada serta terbukti berkualitas.

Tak dimungkiri, banyak orang memanfaatkan kebijakan pendidikan gratis. Misalnya, ada orangtua murid yang menipu dengan menyalahgunakan surat keterangan tak mampu agar dapat mendaftarkan anaknya untuk sekolah gratis. Kebijakan yang diintensikan untuk memartabatkan hidup justru dimanfaatkan oknum dengan cara tak bermartabat.

Ada ungkapan bijak: apa yang diperoleh dengan gampang akan diperlakukan dengan gampang, tetapi apa yang diperoleh dengan susah payah akan dimanfaatkan dengan cermat. Pendidikan gratis harus mengantisipasi hikmat ini. Seorang teman pernah mengamati dinamika pembelajaran di negara dengan pendidikan gratis. Di negara itu pembelajaran di sekolah berbayar lebih baik.

Kebijakan sekolah gratis juga mengusung tema keadilan dan jaminan menentukan nasib lewat dunia pendidikan. Di Yogyakarta (kini kompleks SMA Pangudi Luhur) pada 1917 para misionaris Katolik mendirikan Hollands Inlandsche School (HIS) swasta yang dikhususkan untuk pribumi. Sekolah ini diabdikan demi memperjuangkan nasib pribumi.

Pada waktu itu Pemerintah Belanda mewajibkan peserta didik membayar. Jumlahnya tak sedikit. Akibatnya, hanya kaum kaya dan anak pejabat yang dimungkinkan belajar di sekolah ini. Aturan wajib membayar dibuat agar penguasa dapat mengendalikan nasib kaum pribumi. Di sini kita belajar uang atau pembiayaan sekolah dapat dipolitisasi sedemikian rupa hingga menentukan nasib sekelompok orang atau warga negara. Politisasi pendidikan dengan memainkan uang menghancurkan prinsip keadilan. Itu kejahatan sistematis penguasa.

Kini pemerintah justru meminta sesedikit mungkin uang dari rakyat guna mendapat akses pendidikan. Bagi rakyat miskin, ini tentu sangat menguntungkan. Negara hanya butuh merawat motivasi rakyat agar tak hanya asal sekolah, tetapi pendidikan niscaya mewujudkan hidup lebih baik.

Satu hal yang masih perlu dipikirkan negara adalah bagaimana agar kebijakan sekolah gratis ini sungguh-sungguh adil, khususnya terkait kesejahteraan para pendidik sekolah swasta. Juga menjamin hidup sekolah-sekolah swasta berbayar dengan rekam jejak penyelenggaraan pendidikan yang tulus, humanis, nasionalis, dan berkualitas.

Semoga dinamika pengelolaan pendidikan model penguasa Belanda di masa penjajahan yang berdampak pada nasib murid maupun pendidik tak terulang di masa ini. Semoga tema pendidikan gratis tak pernah menghilangkan nalar sehat kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar