Hakim Sesat
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
|
KORAN
SINDO, 05 September 2015
Jangan dikira hakim-hakim yang membuat putusan sesat dan menusuk
rasa keadilan itu disebabkan suap semata. Salah satu penyebab yang bisa
menjadikan hakim membuat vonis sesat adalah karena ingin menyelamatkan diri
dari kesalahan dirinya di masa lalu. Kesalahan masa lalu sang hakim dijadikan
alat menekan dan meneror oleh orang yang terkait dengan perkara yang
ditangani pada masa kini.
Sang hakim, misalnya, pernah melakukan kesalahan seperti
menerima suap dari kasus yang ditanganinya pada masa lalu saat menjadi hakim
di suatu daerah. Kemudian perbuatan korupsi pada masa lalunya itu dijadikan
alat untuk menyandera, bahkan menerornya oleh orang yang mempunyai
kepentingan atas suatu perkara yang ditanganinya sekarang. Untuk membuat
putusan sesat, hakim tersebut tak perlu disuap, tetapi cukup diancam.
”Jika Anda tak
memutus sesuai dengan kehendak kami atau mengalahkan kami, maka kasus Anda
akan dibongkar dan Anda bisa segera ditangkap karena bukti-bukti sudah
lengkap di tangan kami.” Dengan mendengar itu saja
sang hakim kemudian bisa membuat putusan yang sesat karena takut kasus
dirinya pada masa lalu benar-benar dibongkar.
Jadi kesesatan hakim dalam memutus perkara jangan dipahami
karena penyebab tunggal seperti karena suap. Mungkin dia membuat vonis sesat
karena takut pada masa lalunya sendiri meskipun mungkin juga karena penyuapan
atau pembuktian palsu di persidangan. Kesalahan vonis hakim yang lahir karena
salah dalam menilai buktibukti bisa saja terjadi, misalnya karena rekayasa
sejak penyidikan oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
Gerhart Hermann Mostar, penulis asal Jerman yang menulis buku
Peradilan yang Sesat, menyebut bahwa lahirnya vonis- vonis sesat bisa terjadi
bukan karena alasan tunggal, melainkan bisa lahir dari berbagai penyebab.
Misalnya karena kesaksian palsu, tekanan opini publik, penyuapan,
penyelamatan karier sang hakim, dan sebagainya. Kalau hakim membuat vonis
karena penyanderaan atau ancaman pembongkaran atas korupsinya di masa lalu,
vonisnya bisa dikategorikan sebagai vonis sesat untuk menyelamatkan diri dan
kariernya.
Lahirnya vonis-vonis sesat yang disebabkan penyanderaan dan
motif menyelamatkan diri bisa terjadi di mana-mana dan bukan hanya terjadi
pada hakim. Ia bisa terjadi di negara mana pun dan terhadap pejabat penegak
hukum yang lain seperti polisi atau jaksa.
Kita sering mendengar riuhnya gunjingan masyarakat yang menyorot
adanya penegak hukum yang getol mau mengadili kasus ”orang kuat”, tetapi yang
bersangkutan kemudian masuk penjara baik karena rekayasa maupun karena
korupsi masa lalunya yang dibongkar secara kasar. Bisa juga terjadi seorang
penegak hukum dicopot dari jabatannya karena sangat bersemangat akan
mengadili orang kuat yang terlibat korupsi atau kejahatan lain.
Tanpa harus menunjuk siapa yang terjerat dan menjerat dalam
dunia penegakan hukum sehingga melahirkan putusan-putusan sesat, perlulah
kita menjadikan pandangan yang dinukil dari Hermann Mostar tersebut sebagai
cara memahami persoalan penegakan hukum di Indonesia. Artinya bisa dipahami
bahwa sulitnya penegakan hukum, terutama pemberantasan korupsi, di Indonesia
disebabkan banyaknya pejabat dan penegak hukum yang tersandera oleh masa
lalunya sendiri sehingga ingin berbuat baik pun menjadi sulit.
Asumsi yang demikian adalah wajar karena pada masa lalu negara
kita tumbuh dan berkembang bersama korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Bahkan era kita yang kita sering sebut sebagai era Reformasi sekarang ini
adalah suatu orde yang dibangun untuk memerangi dan memberantas KKN. Namun perjalanan
reformasi kita tampak tersendat bahkan dalam batas tertentu tampak seperti
terjadi arus balik dalam perang melawan korupsi.
Banyak yang berpendapat telah terjadi saling sandera antarpara
penegak hukum dan atau antarkoruptor. Upaya memberantas korupsi menjadi
sangat sulit dan pegiat-pegiatanya sering ada dalam tekanan dan ancaman.
Tepatnya, korupsi dan koruptor masa lalu telah menyerimpung kita di masa kini
dalam memerangi korupsi. Saling sandera menjadi keniscayaan.
”Kalau Anda
mempersoalkan ini, kami bongkar yang itu; kalau Anda membongkar yang itu,
yang lain lagi akan membongkar yang satunya lagi,” demikian kira-kira situasi yang kita hadapi kalau digambarkan
dengan cara debat. Oleh sebab itu kita perlu membuat terobosan, yakni membuat
kesepakatan untuk memutuskan hubungan dengan kasus-kasus masa lalu. Kita
perlu melakukan langkah berani untuk menyatakan bahwa masa lalu sudah
dianggap selesai dan tak boleh membelenggu kita seperti sekarang ini, yakni
situasi yang kalau mau maju tak bisa, mau mundur juga susah.
Perlu dibuat kebijakan melalui pembentukan undang-undang yang
berisi pencarian kebenaran untuk kemudian dilakukan pemutihan dengan
kriteria-kriteria tertentu. Ungkap kebenaran, lalu putihkan, kemudian
rekonsiliasi untuk selanjutnya bersama-sama membangun negara yang bersih dan
tegas terhadap korupsi.
Memutus hubungan dengan kasus-kasus masa lalu memang perlu
keberanian karena akan banyak yang menentang dengan alasan mengkhianati
amanat reformasi untuk menegakkan hukum terhadap korupsi-korupsi masa lalu.
Kita memang ditantang untuk berani melakukan tindakan itu, kecuali kita mau
terus-terusan terserimpung seperti sekarang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar