Selasa, 08 September 2015

Gaduh

Gaduh

Putu Setia  ;  Pengarang; Wartawan Senior Tempo
                                                   TEMPO.CO, 06 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Belum lama saya berbincang dengan Romo Imam di beranda rumahnya, tiba-tiba ada keributan di lorong samping. Sejumlah anak bertengkar saat naik sepeda. Romo Imam berdiri dan berteriak, "Jangan bikin gaduh, nanti saya copot roda sepedanya."

Saya tersenyum saat Romo kembali duduk. "Romo terlalu keras. Mereka kan anak-anak, bukan jenderal," kata saya. Romo menjawab ringan, "Tidak nyaman kalau ada kegaduhan. Apalagi kegaduhan sampai mengguncang ekonomi. Polisi menggeledah pelabuhan secara tiba-tiba kan mengganggu. Kalau mau mengusut dugaan korupsi, ya, lihat dulu suasananya. Pelabuhan sedang berbenah untuk menekan waktu pengeluaran barang, jangan langsung digeledah, malah makin runyam."

"Bukannya justru penggeledahan itu bagian dari memperbaiki kinerja?" tanya saya. "Presiden memerintahkan untuk memangkas waktu pengeluaran barang dan semua instansi ikut gotong-royong mencari jalan keluar. Polisi melihat ada bukti awal penyimpangan, lalu melakukan penggeledahan. Polisi bekerja dengan benar."

Romo memperbaiki duduknya. "Ya, tapi main gebrak-gebrakan begini lebih banyak gaduhnya daripada hasilnya. Pasti presiden tak suka gaduh. Presiden masih menunggu kerja Menko Kemaritiman yang berjanji mengurai benang kusut pelabuhan. Apalagi kepala pelabuhan mengancam mengundurkan diri, ini kan jadi rumit. Pelabuhan jadi tambah keruh, padahal mau dibuat bersih."

"Ah, Romo menyudutkan polisi, melindungi kepala pelabuhan," kata saya. Romo tiba-tiba berdiri. "Jadi sampeyan membela Budi Waseso?" kata Romo. Saya jadi takut. Mungkin saya lancang, karena itu saya diam. "Budi Waseso itu cara kerjanya tak cocok dengan cara kerja presiden. Baru empat hari dilantik sebagai Kepala Badan Reserse Kriminal Polri, ia sudah memborgol Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto. Sebulan kemudian ia menetapkan Ketua KPK Abraham Samad sebagai tersangka. Ia mau mengusut penyidik KPK yang masih memegang senjata api. Ia juga menetapkan mantan Wakil Menteri Hukum Denny Indrayana sebagai tersangka kasus pengadaan paspor. Lalu dua pemimpin Komisi Yudisial juga menjadi tersangka atas laporan Sarpin Rizaldi, hakim yang memenangkan gugatan Budi Gunawan melawan KPK. Semua gebrakan ini, termasuk mengurusi penimbunan sapi dan dugaan suap UPS di Pemda DKI, lebih menonjolkan kegaduhan ketimbang proses hukumnya. Belum ada satu pun kasus itu yang masuk ke pengadilan."

Romo duduk. Saya tetap diam, rasa takut hilang. "Tapi Budi Waseso tak harus selalu disalahkan, ia tetap bhayangkara sejati. Ia legawa dicopot, tak melakukan perlawanan, apalagi mengancam mundur. Setiap orang punya gaya sendiri, termasuk gaya memimpin. Ibarat membuka jalan baru, ada yang mahir membongkar tebing, tetapi tak bisa memasang batu di jalanan, apalagi memberi aspal. Padahal jalan sebagai tujuan akhir harus ada. Barangkali Budi Waseso akan lebih sukses menggebrak bandar-bandar narkoba."

"Apa yang bisa dipetik dari kegaduhan ini, Romo?" tanya saya. Romo minum sebelum menjawab, "Keharmonisan harus dijaga. Ibarat konser gamelan, ada yang memukul kendang, ada yang memukul gong, ada yang meniup seruling, dan banyak lagi. Karena ada pakem yang jelas dan semuanya tak boleh menyimpang dari yang ditetapkan, muncul keharmonisan. Pakem itu datangnya dari presiden. Nah, apakah presiden memiliki pakem itu dan sudah menjelaskan dengan gamblang kepada para penabuh gamelan?"

Saya kaget, "Lo, menurut Romo, apa presiden punya pakem yang jelas untuk keharmonisan bangsa ini?" Romo tersenyum, "Saya tak mau berkomentar, nanti gaduh lagi."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar