Gaduh
Arswendo Atmowiloto ; Budayawan
|
KORAN
JAKARTA, 05 September 2015
Setiap zaman memiliki kata yang menjadi popular. Sekaligus
juga,seakan, mewakili keadaan yang digambarkan. Di zaman Orde Baru, kata
“pembangunan” menjadi sangat-sangat popular. Bahkan ada yang iseng menghitung
jumlah kata itu dalam pidato Presiden. Ada juga logat kata “semangkin” untuk
semakin, yang “dari pada itu” disosialisasikan dengan heboh oleh Butet K. Di
zaman Presiden SBY kata yang banyak diucapkan adalah ‘santun”. Sampai melebar
dalam pengertian sinis. “Korupsi boleh saja, asal santun.”
Saat ini kata gaduh sedang menjadi trending topic, menjadi nggawil,
seakan menempel di bibir dan meluncur dengan sendirinya. Apalagi kalau sudah
dikaitkan dengan perpolitikan, makna tambahan menjadi bagian yang tak
terpisahkan.
Kata gaduh kali ini dikaitkan dengan pergantian Kabareskrim
Polri, dan masih berlanjut setelah pergantian. Beberapa ahli menyoba menengok
lagi makna kata gaduh. Apakah itu termasuk menggambarkan suasana yang rusuh,
ribut, pertanda adanya huru hara. Atau yang terutama siapa yang membuat
kegaduhan, yang mengharubiru keadaan hingga segenting sekarang ini?
Kata gaduh sebenarnya sudah menjadi idiom zaman Presiden BJ
Habibie ketika beliau mengeluh dengan periumpamaan yang popular ,”ibarat
pilot, bagaimana saya bisa terbang dengan baik, kalau selalu gaduh. Kalau
kursi pilot ditendang-tendang.” Kini kata gaduh itu muncul lagi dan
benar-benar menyita perhatian, dan menyiratkan adanya keributan, atau bahkan
perpecahan di kalangan Kepolisian.
Namun sebenarnya, dari segi bahasa, kata gaduh tak hanya
diartikan sebagai adanya keributan, adanya perselisihan. Justru sebaliknya
gaduh bisa berarti adanya kerja sama, adanya kerukunan berusaha, adanya rasa
saling percaya. Baik dalam budaya Jawa—termasuk bahasa Sunda, kata gaduh bisa
berarti milik, bisa berarti kepemilikan.
Teu gaduh artinya tidak punya.
Sementara gaduh dalam kosa kata kata Jawa, bisa berarti kepemilikan yang
separuh. Atau separuh memiliki. Biasanya ini terjadi dalam usaha bersama
bidang peternakan atau peternakan. Kisahnya begini. Peternak memiliki sapi
masih kecil, dijual pun harganya belum maksimal. Lalu dibesarkan oleh orang
lain.
Orang lain ini disebut penggaduh. Yang nantinya memperoleh
penghasilan ketika sapi yang layak jual ini laku. Bagian yang diterima
penggaduh, sungguh demokratis, separuh dari keuntungan. Lumayan menguntungkan
bagi pemilik dan penggaduh. Sedangkan gaduhan, barang yang diupayakan
bersama, bisa berupa sapi, kambing, kerbau, ikan di kolam, itik… atau juga
tanaman. Padi, misalnya. Atau bahkan jenis buah-buahan .
Kerja sama seperti ini masih berlaku di berbagai daerah--untuk
tidak mengatakan di setiap desa. Dan sesungguhnyalah ini merupakan jalan
budaya yang melegakan dan menyenangkan bagi “orang kaya”, dan “pekerja”.
Bukan sekadar majikan dengan pekerja. Bukan sekadar hubungan bos dengan
buruh. Karena dalam sistem gaduh, keduanya sama-sama memiliki hak atas apa
yang dicapai. Bahasa politisnya : tak ada eksploitasi manusia atas manusia yang
lain.
Dalam sistem gaduh ini, terasa adanya saling mempercayai, saling
berharap, juga saling bergantung untuk mendapat untung. Dan seharusnya tidak
saling membebani. Mungkin ini alasan saya tak terlalu khawatir dengan
menyebarkan ucapan gaduh. Di satu pihak itu terjadi karena adanya perubahan
yang agak mendadak yang memang diperlukan untuk perbaikan.
Gejolak yang muncul akan selesai ketika kembali ke sistem yang
normal. Atau seperti terucapkan para pejabat : rotasi jabatan itu hal yang
biasa. Di lain pihak dalam pengertian budaya gaduh memperlihatkan adanya
kerja sama para pihak, adanya rasa saling percaya. Gaduh yang ini tidak gaduh
sama sekali. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar