Kamis, 04 Desember 2014

Tinggalkan Mental Priayi

                                         Tinggalkan Mental Priayi

Bandung Mawardi  ;   Pengelola Jagat Abjad Solo
JAWA POS,  03 Desember 2014

                                                                                                                       


DI Jakarta, 1 Desember 2014, Joko Widodo di hadapan ribuan orang memberikan pesan berkaitan dengan etos kerja Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri). Zaman dan penguasa telah berganti. Indonesia 2014–2019 diinginkan menjadi episode kerja. Jokowi berseru agar para pegawai meninggalkan mental priayi, bermaksud mengutamakan ejawantah tugas pokok dan fungsi. Kerja itu mulia ketimbang ’’mengemis’’ kehormatan mengacu kelas sosial. Pegawai adalah predikat bagi orang bermental meladeni dan mengabdi kepentingan bangsa serta negara. Pegawai bekerja demi publik tanpa pamrih imbalan atau popularitas.

Pesan Jokowi gamblang, mengandung ingatan historis dan pemaknaan priayi pada zaman mutakhir. Sang presiden mungkin tidak berniat ’’mengejek’’ atau ’’meremehkan’’ priayi, tapi menjelaskan kesigapan menanggapi situasi hidup. Priayi itu kelas sosial, beraroma feodal-kolonial dan masa lalu. Indonesia hari ini tidak memerlukan orang-orang bermental disembah atau dikultuskan berdalih kelas sosial, berlatar kosmologi Jawa, dan sisa-sisa nalar birokrasi kolonial. Kita bisa menerima penjelasan Jokowi sebagai perintah agar Indonesia bergerak dan bekerja.

Semula, julukan priayi memiliki ambiguitas makna pada awal abad XX. Di Jawa, priayi menjadi tema pelik. Kalangan sarjana telah melakukan pelbagai studi tentang sejarah dan perkembangan kelas sosial bercap priayi. Cliffor Geertz (1981) menganggap pembentukan tatanan hidup kaum priayi berlangsung selama ribuan tahun. Priayi menampilkan diri dengan busana, makanan, kesenian, bahasa, dan profesi. Semua itu menentukan etiket serta pandangan hidup. Di Jawa, pembentukan etiket priayi mengesahkan kehormatan dan kemuliaan. Priayi adalah manusia hebat!

Kaum priayi memiliki kedudukan penting, bergantung kekuasaan kerajaan dan kolonial. Pada awal abad XX, kelas priayi berada di impitan pengabdian. Surat kabar Darmo Kondo edisi 6 Januari 1908 memuat penjelasan jenis-jenis priayi. Di Jawa, priayi yang bekerja pada raja dan kerajaan memperoleh sebutan ’’abdi dalem’’ atau hamba raja. Priayi juga diekspresikan melalui intelektualitas alias priayi terpelajar. Dulu, kelompok itu sering disebut ’’bangsawan pikiran’’.

Kaum priayi menganggap diri sebagai pembawa kemajuan bagi Jawa (Kuntowijoyo, 2004). Kita bisa menilik sejarah peran kaum priayi mengawali agenda perubahan menuju kemajuan saat membentuk Boedi Oetomo (1908). Organisasi pribumi itu khas bernalar priayi. Mereka tampil sebagai pemuka untuk menggerakkan Jawa ke terang atau kemajuan. Peran sosial-kultural juga memungkinkan kaum priayi berseru nasionalisme serta kemodernan.

Priayi memang ungkapan bergelimang makna. Di dunia jurnalistik dan politik, Tirto Adhi Soerjo membuat gebrakan dengan menerbitkan Medan Prijaji, 1907. Priayi untuk nama surat kabar menerangkan pengaruh besar kalangan priayi di Jawa atau Hindia Belanda dalam urusan sosial, ekonomi, pendidikan, serta kesenian.

Edisi-edisi Medan Prijaji sering memberitakan hal-hal kepegawaian sebagai jenis profesi kaum priayi. Pembentukan organisasi, ekspresi profesi, dan terbitan surat kabar menguak etos kerja kaum priayi. Pengabdian mereka cenderung mengarah ke raja dan masuk ke jajaran birokrasi kolonial. Pengabdian ke dua pusat kekuasaan memungkinkan mereka memupuk kehormatan.

Pola itu berubah pada masa 1920-an. Kaum priayi mulai memahami kerja berkonsekuensi sandang dan pangan ketimbang melulu kehormatan (Sartono Kartodirdjo, A. Sudewa, dan Suhardjo Hatmosuprobo, 1987). Orientasi gaji dipentingkan dan diharapkan. Etos kerja mesti diekspresikan ketimbang menanggung ilusi kehormatan dan karisma.

Sejak abad XIX, pribumi memang bersaing mendambakan menjadi priayi melalui jalur profesi serta birokrasi kolonial, tidak bergantung keturunan. Koentjaraningrat (1984) menjelaskan, kesejarahan pekerjaan baru pada masa kolonial turut membentuk ciri kelas priayi. Dulu priayi terpenting adalah orang dengan kedudukan sebagai pegawai pamong praja dan kepala daerah administrasi.

Semula, sebutan untuk mereka adalah pangreh praja yang berarti golongan memerintah negara. Sebutan berubah menjadi pamong praja berarti golongan mengelola negara. Jenis-jenis pekerjaan priayi mendapat penjelasan lugas di majalah Pewarta Priyayi, 1900. Pekerjaan modern mendefinisikan orang sebagai priayi dan menjelaskan orientasi kemajuan.

Selama puluhan tahun, kaum priayi mendefinisikan diri secara eksklusif. Sejarah itu berubah setelah berakhirnya Perang Dunia II. Orang-orang mementingkan kerja dan gaji dalam situasi kemerdekaan Indonesia. Priayi mulai jadi julukan mengandung ejekan atau satire. Kaum priayi bermental feodal dan kolonial pun jatuh gengsi oleh kemunculan kaum terpelajar dan birokrat yang mengacu ke pemaknaan bangsa dan negara.

Situasi politik mulai mengubah definisi priayi. Di Jawa, orang-orang masih mendambakan menjadi priayi, tapi berisiko mendapat tuduhan-tuduhan sebagai pendamba kehormatan, pemalas, dan kaum usang-lawas. Priayi pada masa Orde Lama tetap menanggung risiko ’’diremehkan’’ saat Indonesia menjalankan revolusi.

Kelas priayi agak ’’terhormat’’ lagi saat Soeharto berkuasa. Priayi di jajaran birokrasi perlahan mendefinisikan ulang sebagai orang terhormat. Mereka adalah tukang perintah, minta diladeni, dan manja kehormatan. Di Indonesia, kita mengenali mereka sebagai pegawai pemerintah, tapi tidak mengabdi atau meladeni kepentingan-kepentingan publik.

Sekarang, Jokowi memimpin Indonesia bermisi revolusi mental. Warisan mental priayi, sejak masa kolonial sampai Orde Baru, dianggap menghambat perubahan dan capaian pembangunan di Indonesia. Mental harus berubah, berpihak kepada kerja ketimbang mabuk kehormatan bercap priayi. Mental berkuasa di kalangan pegawai juga harus diganti menjadi mental melayani rakyat (Jawa Pos, 2 Desember 2014).

Jokowi berseru untuk meninggalkan mental priayi yang menjadi ’’keharusan’’ saat melihat birokrasi bergerak lambat. Dulu kita memberikan sebutan priayi mengikuti makna-makna feodal dan kolonial. Sekarang sebutan pegawai tampak mentereng, meski masih mengandung kemalasan. Sang presiden pun tidak ingin Indonesia lungkrah karena kemalasan jutaan pegawai. Etos kerja mesti diwujudkan demi pemuliaan bangsa dan negara. Kerja itu penting dan utama ketimbang berilusi kehormatan. Sebutan pegawai berasal dari bahasa Jawa: gawe yang berarti kerja. Pegawai pun berarti orang yang melakukan kerja. Begitu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar