Perangi
Korupsi
Ari Wirya Dinata ; Peneliti Muda Pusat Studi Konstitusi (Pusako)
Fakultas Hukum
Universitas Andalas
|
MEDIA
INDONSIA, 10 Desember 2014
"Para pelayan bangsa harus memberikan
pelayanan mereka tanpa menerima hadiah, mereka yang membangkang harus dibunuh
tanpa upacara jika memang terbukti bersalah" (Plato: 427-347 SM)
JIHAD
dalam memberantas korupsi di negeri ini seakan perjuangan yang tiada akan
pernah berakhir. Korupsi yang telah menggurita dalam multidimensi kehidupan,
layaknya keabadian kultur masyarakat Indonesia, mendarah daging, menggumpal,
dan menyatu erat dalam rutinitas sehari-hari. Tak pelak situasi yang demikian
tersebut membingungkan kita untuk membedakan apakah suatu tindakan itu dapat
dikatakan koruptif atau tidak. Acap kali itu telah menjelma menjadi kebiasaan
yang lumrah ditemui dalam kehidupan atau telah diselubungi selimut
intelektual yang dibungkus apik tak kentara dengan hal biasa lainnya.
Seperti
menilik dari benang merah historis, perilaku koruptif di Indonesia merupakan
warisan (legacy) kaum kolonial
Belanda. Perilaku koruptif itu telah bermetamorfosis sejak zaman kerajaan
Indonesia, yakni kita mengenal istilah upeti yang harus dibayar masyarakat
kepada raja sebagai jaminan kelancaran usaha. Hal itu ialah cikal bakal
tindakan penyuapan. Selanjutnya, pada masa-masa awal pemerintahan Presiden
Suharto, mantan Wakil Presiden Indonesia yang pertama, Mohammad Hatta,
ditunjuk menjadi Penasihat Presiden dalam upaya pemberantasan korupsi.
Dalam
kapasitasnya sebagai seorang Penasihat Presiden, Hatta pernah mengungkapkan
bahwa “Korupsi telah membudaya di Indonesia“. Pernyataan Bung Hatta itu
diungkapkan pada 1970 ketika usia Indonesia sebagai bangsa merdeka genap 25
tahun. Hal itu menunjukkan bahwa Indonesia telah memiliki reputasi sebagai
bangsa yang korup jauh sebelum transparansi internasional menempatkan
Indonesia sebagai salah satu negara terkorup di Asia Tenggara pada 1998.
Jika
berbicara parameter pencapaian pemberantasan korupsi di Indonesia, terdapat
sebuah studi menarik tentang pencapaian pemberantasan korupsi dengan usaha
yang bertungkus lumus untuk memberantasnya melalui survei yang dilakukan Transparency International Indonesia
(Baca: TII). TII meluncurkan corruption
perception index (CPI) (Baca: indeks persepsi korupsi atau IPK), pada 3
Desember.
Dari
data yang dipublikasikan itu menunjukkan bahwa tidak ada peningkatan yang
signifikan atas indeks persepsi korupsi Indonesia dari tahun ke tahun. Sebagaimana
dilansir TII pada 2014 Indonesia menempati peringkat 107 dari 175 negara
dengan skor 34. Pada 2013 Indonesia berada pada peringkat 114 dari 177 negara
dengan bobot 32. Kondisi itu lebih buruk jika dibandingkan dengan negara
tetangga lainnya. Dapat kita lihat, Malaysia bertengger pada posisi 50 dari
175 dengan nilai 52, Thailand d Filipina pada peringkat 85 dari 175 dengan
bobot nilai 38, Jepang menempati peringkat 15 dari 175 dengan skor 76, dan
Singapura bertengger di peringkat 7 dari 175 dengan nilai 84.
Salah
satu faktor penyebab mengapa Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tidak mengalami
perubahan yang berarti, yaitu dari skor 32 menjadi 34. Itu karena masih
suburnya praktik-praktik korupsi di segala lini. Paradigma penulis tentang
permasalahan uang pelicin (facilitation
payment) yang terjadi dalam pemberian pelayanan publik oleh pemerintah,
baik pusat maupun daerah merupakan salah satu elemen penyebab mandek dan
stagnannya indeks persepsi korupsi. Hal itu terjadi karena lemahnya pelayanan
yang prima bagi masyarakat jika tidak disertai dengan uang pelicin. Seakan-akan
aparatur negara baru akan melayani masyarakat dengan baik, ramah, dan cepat
bila disokong dengan uang pelicin. Tanpa hal itu, masyarakat harus berpuas
diri dengan pelayanan kelas inferior yang berbelit-belit, menyita waktu lama,
dan tidak ramah.
Tindakan
itu memang sulit dibuktikan sebagai akar stagnannya indeks persepsi korupsi
Indonesia. Bahkan, itu dikatakan sebagai tindak pidana korupsi karena tidak
secara langsung merugikan keuangan negara dan dilakukan dalam jumlah kecil
meskipun masif. Namun, akibat praktik yang demikian akan menjadi pintu masuk
terjadinya perilaku koruptif lainnya. Oleh sebab itu, pemerintah perlu serius
menanganinya dengan grand desain reformasi birokrasi secara holistis agar
akar permasalahan korupsi bertopeng uang pelicin dapat dibumihanguskan.
Aparatur
sipil negara harus profesional dalam bekerja dan memberikan pelayanan terbaik
tanpa embel-embel uang pelincin serta bekerja cepat dan sigap sebab sudah
kodratnya aparatur sipil negara sebagai pelayan negara memberikan pelayanan
yang prima. Jika tata kelola pemerintahan telah merujuk kepada pemerintahan
yang baik dan bersih (good and clean
governance), tidak mustahil Indeks Persepsi Korupsi Indonesia akan melejit
lebih baik lagi.
Korupsi
sebagai kejahatan yang luar biasa (extraordinary
crime). Dalam upaya memberangusnya pun diperlukan usaha yang luar biasa (special treatment). Tidak hanya
bergantung pada substansi hukum yang lengkap dan mumpuni serta aparatur penegak
hukum yang profesional dan berintegritas, tetapi juga perlu rasanya
merevolusi mental masyarakat yang telah nyaman dengan kebiasaan-kebiasaan
koruptif, membangun kesadaran, serta menginjeksi virus kebencian atas
perilaku koruptif kepada mereka. Pada akhirnya, itu menimbulkan suatu budaya
baru untuk anti dengan perilaku yang koruptif.
Semoga momentum hari korupsi
internasional ini dapat menjadi refleksi dan batu loncatan bagi semua dalam
membasmi virus yang bernama `korupsi'. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar