Kamis, 11 Desember 2014

Perangi Korupsi

                                                       Perangi Korupsi

Ari Wirya Dinata ;   Peneliti Muda Pusat Studi Konstitusi (Pusako)
Fakultas Hukum Universitas Andalas
MEDIA INDONSIA,  10 Desember 2014

                                                                                                                       


"Para pelayan bangsa harus memberikan pelayanan mereka tanpa menerima hadiah, mereka yang membangkang harus dibunuh tanpa upacara jika memang terbukti bersalah"   (Plato: 427-347 SM)

JIHAD dalam memberantas korupsi di negeri ini seakan perjuangan yang tiada akan pernah berakhir. Korupsi yang telah menggurita dalam multidimensi kehidupan, layaknya keabadian kultur masyarakat Indonesia, mendarah daging, menggumpal, dan menyatu erat dalam rutinitas sehari-hari. Tak pelak situasi yang demikian tersebut membingungkan kita untuk membedakan apakah suatu tindakan itu dapat dikatakan koruptif atau tidak. Acap kali itu telah menjelma menjadi kebiasaan yang lumrah ditemui dalam kehidupan atau telah diselubungi selimut intelektual yang dibungkus apik tak kentara dengan hal biasa lainnya.

Seperti menilik dari benang merah historis, perilaku koruptif di Indonesia merupakan warisan (legacy) kaum kolonial Belanda. Perilaku koruptif itu telah bermetamorfosis sejak zaman kerajaan Indonesia, yakni kita mengenal istilah upeti yang harus dibayar masyarakat kepada raja sebagai jaminan kelancaran usaha. Hal itu ialah cikal bakal tindakan penyuapan. Selanjutnya, pada masa-masa awal pemerintahan Presiden Suharto, mantan Wakil Presiden Indonesia yang pertama, Mohammad Hatta, ditunjuk menjadi Penasihat Presiden dalam upaya pemberantasan korupsi.

Dalam kapasitasnya sebagai seorang Penasihat Presiden, Hatta pernah mengungkapkan bahwa “Korupsi telah membudaya di Indonesia“. Pernyataan Bung Hatta itu diungkapkan pada 1970 ketika usia Indonesia sebagai bangsa merdeka genap 25 tahun. Hal itu menunjukkan bahwa Indonesia telah memiliki reputasi sebagai bangsa yang korup jauh sebelum transparansi internasional menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara terkorup di Asia Tenggara pada 1998.

Jika berbicara parameter pencapaian pemberantasan korupsi di Indonesia, terdapat sebuah studi menarik tentang pencapaian pemberantasan korupsi dengan usaha yang bertungkus lumus untuk memberantasnya melalui survei yang dilakukan Transparency International Indonesia (Baca: TII). TII meluncurkan corruption perception index (CPI) (Baca: indeks persepsi korupsi atau IPK), pada 3 Desember.

Dari data yang dipublikasikan itu menunjukkan bahwa tidak ada peningkatan yang signifikan atas indeks persepsi korupsi Indonesia dari tahun ke tahun. Sebagaimana dilansir TII pada 2014 Indonesia menempati peringkat 107 dari 175 negara dengan skor 34. Pada 2013 Indonesia berada pada peringkat 114 dari 177 negara dengan bobot 32. Kondisi itu lebih buruk jika dibandingkan dengan negara tetangga lainnya. Dapat kita lihat, Malaysia bertengger pada posisi 50 dari 175 dengan nilai 52, Thailand d Filipina pada peringkat 85 dari 175 dengan bobot nilai 38, Jepang menempati peringkat 15 dari 175 dengan skor 76, dan Singapura bertengger di peringkat 7 dari 175 dengan nilai 84.

Salah satu faktor penyebab mengapa Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tidak mengalami perubahan yang berarti, yaitu dari skor 32 menjadi 34. Itu karena masih suburnya praktik-praktik korupsi di segala lini. Paradigma penulis tentang permasalahan uang pelicin (facilitation payment) yang terjadi dalam pemberian pelayanan publik oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah merupakan salah satu elemen penyebab mandek dan stagnannya indeks persepsi korupsi. Hal itu terjadi karena lemahnya pelayanan yang prima bagi masyarakat jika tidak disertai dengan uang pelicin. Seakan-akan aparatur negara baru akan melayani masyarakat dengan baik, ramah, dan cepat bila disokong dengan uang pelicin. Tanpa hal itu, masyarakat harus berpuas diri dengan pelayanan kelas inferior yang berbelit-belit, menyita waktu lama, dan tidak ramah.

Tindakan itu memang sulit dibuktikan sebagai akar stagnannya indeks persepsi korupsi Indonesia. Bahkan, itu dikatakan sebagai tindak pidana korupsi karena tidak secara langsung merugikan keuangan negara dan dilakukan dalam jumlah kecil meskipun masif. Namun, akibat praktik yang demikian akan menjadi pintu masuk terjadinya perilaku koruptif lainnya. Oleh sebab itu, pemerintah perlu serius menanganinya dengan grand desain reformasi birokrasi secara holistis agar akar permasalahan korupsi bertopeng uang pelicin dapat dibumihanguskan.

Aparatur sipil negara harus profesional dalam bekerja dan memberikan pelayanan terbaik tanpa embel-embel uang pelincin serta bekerja cepat dan sigap sebab sudah kodratnya aparatur sipil negara sebagai pelayan negara memberikan pelayanan yang prima. Jika tata kelola pemerintahan telah merujuk kepada pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean governance), tidak mustahil Indeks Persepsi Korupsi Indonesia akan melejit lebih baik lagi.

Korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa (extraordinary crime). Dalam upaya memberangusnya pun diperlukan usaha yang luar biasa (special treatment). Tidak hanya bergantung pada substansi hukum yang lengkap dan mumpuni serta aparatur penegak hukum yang profesional dan berintegritas, tetapi juga perlu rasanya merevolusi mental masyarakat yang telah nyaman dengan kebiasaan-kebiasaan koruptif, membangun kesadaran, serta menginjeksi virus kebencian atas perilaku koruptif kepada mereka. Pada akhirnya, itu menimbulkan suatu budaya baru untuk anti dengan perilaku yang koruptif. 
Semoga momentum hari korupsi internasional ini dapat menjadi refleksi dan batu loncatan bagi semua dalam membasmi virus yang bernama `korupsi'.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar