Paket
Bali dan WTO
Beginda Pakpahan ; Analis Politik dan Ekonomi Urusan Global dari
UI
|
KOMPAS,
03 Desember 2014
Pada 27
November 2014, negara-negara anggota WTO mencapai kesepakatan untuk mendorong
Agenda Pembangunan Doha mulai berjalan kembali. Apa saja hal-hal yang
disepakati? Lalu, apa implikasi dari kesepakatan itu bagi mereka, khususnya
negara berkembang?
Pada
Konferensi Para Menteri WTO Ke-9, 3-7 Desember 2013 di Bali, para negosiator
menghasilkan kesepakatan yang dikenal dengan Paket Bali. Paket Bali mencakup
empat isu besar. Pertama, isu pertanian, seperti public stockholding for food security purposes (lumbung publik
dan subsidi untuk keamanan pangan) yang dibahas WTO pada 2017, kompetisi
ekspor, dan tariff rate quota. Kedua, kesepakatan atas fasilitasi perdagangan
yang dibahas WTO tahun 2015. Ketiga, isu kapas (cotton). Akhirnya, perlakuan
khusus dan berbeda serta dukungan bagi negara tertinggal.
Seiring
berjalannya pembahasan susulan atas Paket Bali, India tak mau kesepakatan
fasilitasi perdagangan dibahas lebih dulu pada 2015 dan kesepakatan atas
lumbung publik dan subsidi untuk keamanan pangan dibahas dua tahun
setelahnya. Situasi itu akan membuat perhatian negara-negara WTO terhadap
lumbung publik dan subsidi untuk keamanan pangan menurun. Pada 31 Juli 2014,
India mengeluarkan vetonya atas pembahasan hasil Paket Bali di Geneva, Swiss.
India meminta negara-negara di WTO melakukan negosiasi secara bersamaan antara
pembahasan kesepakatan atas fasilitasi perdagangan dan kesepakatan untuk
lumbung publik dan subsidi untuk keamanan pangan di negara berkembang. India
mendesak agar WTO membahas secara bersama-sama kesepakatan tentang subsidi
pangan dan pembentukan lumbung publik untuk tujuan keamanan pangan dan
kesepakatan fasilitasi perdagangan.
Dalam
waktu empat bulan, kesepakatan Paket Bali pernah terhenti di WTO. Pada 27
November 2014, WTO mencapai kesepakatan untuk melanjutkan perundingan atas
Paket Bali yang sempat tersendat. India dan AS mencapai kesepakatan saat
pertemuan G-20 di Brisbane, Australia, yang menyepakati perundingan
kesepakatan lumbung publik dan subsidi untuk keamanan pangan dan fasilitasi
perdagangan dilakukan 2015.
Dirjen
WTO Azavedo mengumumkan pelbagai capaian yang disepakati negara-negara WTO di
Geneva pada 27 November 2014. Pertama, semua negara WTO berkomitmen membahas
dan menyelesaikan seluruh kesepakatan Bali dan pelbagai program kerjanya yang
belum mencapai titik temu, terutama yang terkait isu-isu pembangunan
Doha.
Kedua,
negara-negara WTO sepakat mempercepat pembahasan atas kesepakatan lumbung
publik dan subsidi untuk keamanan pangan guna mencapai solusi permanen dengan
target waktu sampai Desember 2015.
Ketiga,
negara-negara WTO melakukan langkah penting dengan mengadopsi perubahan
protokol atas fasilitasi perdagangan. Ini titik permulaan atas proses
implementasi fasilitasi perdagangan yang masih perlu waktu panjang untuk
ratifikasi di setiap negara.
Implikasi
Dari
uraian di atas, pelbagai implikasi bagi negara maju dan berkembang, adalah,
pertama, kesepakatan atas lumbung publik dan subsidi untuk keamanan pangan
masih bersifat sementara sampai tercapainya solusi permanen yang diharapkan
bisa dicapai akhir 2015. Dalam waktu yang pendek ini, program-program
keamanan pangan dari negara-negara berkembang dan tertinggal belum diprotes
oleh negara-negara anggota WTO. Akan tetapi, pada masa itu negara-negara
berkembang dan tertinggal memiliki kewajiban yang ketat untuk menyampaikan
laporan yang jelas jika ada dukungan domestik (subsidi) terhadap sektor
pertanian mereka.
Lebih
spesifik, mereka perlu memberi tahu berapa penerima dari program dari lumbung
publik dan subsidi untuk keamanan pangan, jumlah stok yang disimpan,
penyaluran pangan, dan peraturan-peraturan yang dibuat untuk mengurangi
distorsi perdagangan.
Kedua,
negara-negara maju merespons situasi tersebut dengan cukup positif.
Alasannya, pelaksanaan dari kesepakatan fasilitasi perdagangan di
negara-negara berkembang akan menghapus pelbagai hambatan yang mengganggu
lalu lintas ekspor dan juga menyederhanakan pelbagai peraturan bea cukai yang
kompleks di negara berkembang. Situasi
ini diharapkan akan meningkatkan arus perdagangan dunia sebesar 1 triliun
dollar AS dan penciptaan lapangan kerja di dunia sebanyak 21 juta. Akan
tetapi, apakah situasi ini akan berimbang atau lebih banyak terealisasi bagi
negara-negara berkembang dan tertinggal atau bagi negara-negara maju?
Ketiga,
pelaksanaan kesepakatan fasilitasi perdagangan bagi negara-negara berkembang
menjadi pisau bermata dua. Pada satu sisi, kesepakatan itu akan mendorong
reformasi peraturan dan pelayanan pelbagai pelabuhan yang dimilikinya. Di
sisi lain, kesepakatan itu akan membuat negara berkembang dan tertinggal
mengeluarkan biaya besar untuk memodernisasi fisik dan pelayanan dari
pelbagai pelabuhan yang dimiliki. Itu juga akan memudahkan proses importisasi
barang dari luar negeri ke negara berkembang dan tertinggal. Situasi ini akan
berdampak kepada defisit necara perdagangan mereka, pelemahan atas produksi
dari produk-produk asli mereka, dan pelemahan daya saing mereka terhadap
pasar yang semakin terbuka.
Pelajaran yang bisa diambil adalah pembahasan kembali agenda-agenda
pembangunan Doha khususnya Paket Bali telah menghidupkan kembali proses
perundingan multilateral di WTO. Tetapi, tarik ulur atas pembahasan pelbagai
isu-isu pembangunan Doha masih terus berlangsung seiring pelbagai perbedaan
kepentingan antara negara maju dan berkembang, waktu yang berjalan dan lingkungan
dinamis yang berkembang di dalam dan di luar WTO. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar