Kamis, 04 Desember 2014

Paket Bali dan WTO

                                                Paket Bali dan WTO

Beginda Pakpahan  ;   Analis Politik dan Ekonomi Urusan Global dari UI
KOMPAS,  03 Desember 2014

                                                                                                                       


Pada 27 November 2014, negara-negara anggota WTO mencapai kesepakatan untuk mendorong Agenda Pembangunan Doha mulai berjalan kembali. Apa saja hal-hal yang disepakati? Lalu, apa implikasi dari kesepakatan itu bagi mereka, khususnya negara berkembang?

Pada Konferensi Para Menteri WTO Ke-9, 3-7 Desember 2013 di Bali, para negosiator menghasilkan kesepakatan yang dikenal dengan Paket Bali. Paket Bali mencakup empat isu besar. Pertama, isu pertanian, seperti public stockholding for food security purposes (lumbung publik dan subsidi untuk keamanan pangan) yang dibahas WTO pada 2017, kompetisi ekspor, dan tariff rate quota. Kedua, kesepakatan atas fasilitasi perdagangan yang dibahas WTO tahun 2015. Ketiga, isu kapas (cotton). Akhirnya, perlakuan khusus dan berbeda serta dukungan bagi negara tertinggal.

Seiring berjalannya pembahasan susulan atas Paket Bali, India tak mau kesepakatan fasilitasi perdagangan dibahas lebih dulu pada 2015 dan kesepakatan atas lumbung publik dan subsidi untuk keamanan pangan dibahas dua tahun setelahnya. Situasi itu akan membuat perhatian negara-negara WTO terhadap lumbung publik dan subsidi untuk keamanan pangan menurun. Pada 31 Juli 2014, India mengeluarkan vetonya atas pembahasan hasil Paket Bali di Geneva, Swiss. India meminta negara-negara di WTO melakukan negosiasi secara bersamaan antara pembahasan kesepakatan atas fasilitasi perdagangan dan kesepakatan untuk lumbung publik dan subsidi untuk keamanan pangan di negara berkembang. India mendesak agar WTO membahas secara bersama-sama kesepakatan tentang subsidi pangan dan pembentukan lumbung publik untuk tujuan keamanan pangan dan kesepakatan fasilitasi perdagangan.

Dalam waktu empat bulan, kesepakatan Paket Bali pernah terhenti di WTO. Pada 27 November 2014, WTO mencapai kesepakatan untuk melanjutkan perundingan atas Paket Bali yang sempat tersendat. India dan AS mencapai kesepakatan saat pertemuan G-20 di Brisbane, Australia, yang menyepakati perundingan kesepakatan lumbung publik dan subsidi untuk keamanan pangan dan fasilitasi perdagangan dilakukan 2015.

Dirjen WTO Azavedo mengumumkan pelbagai capaian yang disepakati negara-negara WTO di Geneva pada 27 November 2014. Pertama, semua negara WTO berkomitmen membahas dan menyelesaikan seluruh kesepakatan Bali dan pelbagai program kerjanya yang belum mencapai titik temu, terutama yang terkait isu-isu pembangunan
Doha.

Kedua, negara-negara WTO sepakat mempercepat pembahasan atas kesepakatan lumbung publik dan subsidi untuk keamanan pangan guna mencapai solusi permanen dengan target waktu sampai Desember 2015.

Ketiga, negara-negara WTO melakukan langkah penting dengan mengadopsi perubahan protokol atas fasilitasi perdagangan. Ini titik permulaan atas proses implementasi fasilitasi perdagangan yang masih perlu waktu panjang untuk ratifikasi di setiap negara.

Implikasi

Dari uraian di atas, pelbagai implikasi bagi negara maju dan berkembang, adalah, pertama, kesepakatan atas lumbung publik dan subsidi untuk keamanan pangan masih bersifat sementara sampai tercapainya solusi permanen yang diharapkan bisa dicapai akhir 2015. Dalam waktu yang pendek ini, program-program keamanan pangan dari negara-negara berkembang dan tertinggal belum diprotes oleh negara-negara anggota WTO. Akan tetapi, pada masa itu negara-negara berkembang dan tertinggal memiliki kewajiban yang ketat untuk menyampaikan laporan yang jelas jika ada dukungan domestik (subsidi) terhadap sektor pertanian mereka.

Lebih spesifik, mereka perlu memberi tahu berapa penerima dari program dari lumbung publik dan subsidi untuk keamanan pangan, jumlah stok yang disimpan, penyaluran pangan, dan peraturan-peraturan yang dibuat untuk mengurangi distorsi perdagangan.

Kedua, negara-negara maju merespons situasi tersebut dengan cukup positif. Alasannya, pelaksanaan dari kesepakatan fasilitasi perdagangan di negara-negara berkembang akan menghapus pelbagai hambatan yang mengganggu lalu lintas ekspor dan juga menyederhanakan pelbagai peraturan bea cukai yang kompleks  di negara berkembang. Situasi ini diharapkan akan meningkatkan arus perdagangan dunia sebesar 1 triliun dollar AS dan penciptaan lapangan kerja di dunia sebanyak 21 juta. Akan tetapi, apakah situasi ini akan berimbang atau lebih banyak terealisasi bagi negara-negara berkembang dan tertinggal atau bagi negara-negara maju?

Ketiga, pelaksanaan kesepakatan fasilitasi perdagangan bagi negara-negara berkembang menjadi pisau bermata dua. Pada satu sisi, kesepakatan itu akan mendorong reformasi peraturan dan pelayanan pelbagai pelabuhan yang dimilikinya. Di sisi lain, kesepakatan itu akan membuat negara berkembang dan tertinggal mengeluarkan biaya besar untuk memodernisasi fisik dan pelayanan dari pelbagai pelabuhan yang dimiliki. Itu juga akan memudahkan proses importisasi barang dari luar negeri ke negara berkembang dan tertinggal. Situasi ini akan berdampak kepada defisit necara perdagangan mereka, pelemahan atas produksi dari produk-produk asli mereka, dan pelemahan daya saing mereka terhadap pasar yang semakin terbuka.

Pelajaran yang bisa diambil adalah pembahasan kembali agenda-agenda pembangunan Doha khususnya Paket Bali telah menghidupkan kembali proses perundingan multilateral di WTO. Tetapi, tarik ulur atas pembahasan pelbagai isu-isu pembangunan Doha masih terus berlangsung seiring pelbagai perbedaan kepentingan antara negara maju dan berkembang, waktu yang berjalan dan lingkungan dinamis yang berkembang di dalam dan di luar WTO.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar