Kurikulum
Kembali ke Asal
Dedi Mulyadi ; Bupati Purwakarta
|
KORAN
SINDO, 15 Desember 2014
Setiap
sekolah pasti menginginkan tumbuh dan berkembangnya peserta didik menjadi
sosok yang mampu mewujudkan seluruh harapan, baik harapan orang tua, guru
atau bahkan negara.
Seluruh
harapan tersebut dikelola dalam sistem pembelajaran yang dipandu dengan
metodologi yang disebut dengan kurikulum. Kurikulum menurut Undang-Undang No
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah seperangkat rencana
dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang
digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk
mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Nah,
inilah yang disebut dengan kurikulum, yang hari ini menjadi kalimat yang
menghebohkan jagat pendidikan Indonesia dengan bumbu penyedap yang beraroma
politik, bisnis, psikologi guru dan murid, antara sedih, bimbang dan senang.
Hebohnya
kurikulum disebabkan oleh pernyataan resmi dari Menteri Kebudayaan,
Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia yang secara tegas
menghentikan penggunaan Kurikulum 2013 mulai semester genap tahun ajaran ini
dan kembali memberlakukan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006.
Saya
tidak akan masuk dalam ranah perdebatan tentang mana yang lebih berkualitas
antara KTSP 2006 atau Kurikulum 2013, karena saya tidak memiliki kapasitas untuk
melakukan penilaian secara akademik dan ilmiah mengenai kedua hal tersebut.
Apabila
kita berangkat dari filosofi dasar bahwa pendidikan nasional itu memiliki
tujuan utama mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya sebagaimana dua tulisan
saya terdahulu, maka fokus sekolah adalah membentuk karakter dasar setiap
anak didiknya. Karakter dasar tersebut meliputi pemahaman anak didik tentang
dirinya, tentang alamnya, tentang kebudayaannya secara utuh dan menyeluruh,
baik dari sisi aspek ontologis, kosmologis maupun antropologis.
Kalau
dalam bahasa kakek saya, pembentukan watak kemanusiaan yang utuhadalah manusa
nuweruhka semuna, apal ka basana, rancingas rasana, rancagé haténa, cageur,
bageur, bener, pinter jeung singer. Hal tersebut menunjukkan dalam kerangka
ideologis Bangsa Indonesia memiliki konsep pendidikan yang paripurna
dibanding mazhab pendidikan lainnya di dunia.
Konsepsi
tersebut mengarah pada upaya menghadirkan pendidikan yang hidup dan
menghidupkan di tengah perjalanan manusia menuju kesempurnaan hidup yang
esensial. Pendidikan harus mampu menghadirkan anak didik tentang pengetahuan
mengenai dirinya, siapa aku, dari mana aku, sedang di mana aku, akan ke mana
aku.
Dalam hal yang sederhana, pendidikan harus
mengajarkan hal tentang dirinya, tentang lingkungannya, tentang
kesemestaannya yang pada akhirnya akan bermuara pada pengetahuan Kemahaluasan
Tuhan dan Kesemestaan penciptaan-Nya.
Kebijakan
pendidikan sifatnya general, tidak mengatur hal-hal yang bersifat teknis
karena aspek-aspek yang bersifat teknis dan spesifik itu merupakan kewenangan
guru yang harus hadir mengartikulasikan diri dan lingkungannya berdasarkan
nalar dan rasa yang bersifat dinamis.
Pelajaran
pertama yang harus diberikan kepada para murid adalah melakukan pembelajaran
yang meliputi membaca, menulis dan menghitung.
Membaca
mengajarkan kepada murid untuk memiliki pengetahuan tentang huruf yang dieja
dan tentang diri yang tersusun dan terstruktur secara sempurna, dua mata saya
hidung saya satu, dua telinga saya yang kiri dankanan, diajarkanpula membaca
alam,pelangi-pelangi alangkah indahmu, merah kuning hijau di langit yang
biru, kemudian anak-anak diajarkan untuk mengenal huruf, membaca sebuah nama,
walaupun pengajaran tersebut sering kali tidak selaras dengan realitas budaya
di suatu wilayah.
Saya
ingat ketika saya kelas satu SD dulu, saya diajari untuk membaca “Ini Budi” .
Nama Budi menjadi nama yang asing bagi kami karena di kelas dan di kampung
saya tidak ada yang namanya Budi. Itu bagi kami yang orang Sunda, bagaimana
pula bagi orang Jawa, Bali, Sumatera, Papua, Aceh, Sulawesi, mereka akan
semakin asing dengan nama ini.
Di
Bali tidak ada nama Budi, yang ada Wayan, Made, Nyoman dan Ketut, atau di
Aceh yang lebih akrab dengan Cut dan Teuku. Nama Budi mah kebanyakan orang
Jakarta. Dari situ saja, kita memang tidak diajarkan untuk mengenal diri
kita. Setelah itu saya harus membaca lagi, kalimat “Ibu pergi ke pasar, Ibu
pergi ke pasar” berulang-ulang.
Padahal
saya memanggil ibu saya “Emi” dan Emi saya jarang ke pasar, paling sebulan
sekali kalau bapak saya dapat uang pensiun dari kantor pos. Dalam
kesehariannya, kebanyakan Emi pergi ke sawah dan ke ladang, bukan ke pasar.
Terus ada kalimat lagi, Bu Ani guru Budi. Guru saya kan bukan Bu Ani, tapi Bu
Epon. Haduuh, makin tidak mengenal saya sama guru saya, makin jauh saja ini
pelajaran. Itu dulu tahun 1977, yang sekarang lebih parah lagi.
Kelas
1 SD tidak lagi belajar membaca dan menulis, karena rata-rata mereka sudah
harus bisa membaca dan menulis sebelum masuk kelas 1 SD. Kalau seperti itu,
ada pembebanan pelajaran pada anak-anak TK, jangan disalahkan kalau saat ini
anak usia 14 tahun bahkan 10 tahun perilakunya sudah dewasa, karena mereka
mengalami proses pendewasaan sebelum waktunya.
Karena
hilangnya fase kehidupan sebagai anak yang merdeka dari berbagai tekanan pendidikan
formal yang mereka alami, sehingga ketika mereka menginjak usia remaja bahkan
dewasa mereka masih berperilaku seperti anak-anak.
Perilaku
tersebut terlihat dari pola hidup yang manja, kadang manja dalam sikap,
kadang “manja” mandi jarang, pendidikannya memang tinggi tetapi hidup
bergantung pada orang tua secara total dari mulai jajan, biaya pakaian, biaya
beli rokok, beli premium, beli pertamax, beli solar, beli pulsa, bahkan
sampai biaya nikah dan biaya untuk melahirkan anak hasil pernikahannya.
Bahkan
biaya pendidikan anaknya pun dibebankan kepada orang tuanya. Sifat kekanak-kanakan lainnya, diwujudkan dengan menggalang komunitas yang sering kali
memicu aksi solidaritas, hidup bergerombol, tawuran yang terorganisir.
Sifat
kekanak-kanakan pada usia remaja dan dewasa tersebut, salah satu faktornya
disebabkan hilangnya masa-masa indah mereka sebagai anak-anak. Selain
melakukan transformasi ruang budaya, pendidikan juga semestinya membuat ruang
bagi pertumbuhan dan perkembangan fase-fase kehidupan anak.
Selain
problem pembelajaran yang semakin menjauhkan pendidikan pada pembentukan
karakter anak didiknya, lingkungan saat ini semakin menjauhkan anakanak kita
dari kegundahan diri yang dialaminya. Pembentukan karakter sangat dipengaruhi
oleh suara yang didengar setiap saat.
Musik
yang didengar oleh anak-anak kita hari ini sudah tidak lagi melambangkan
keriangan anak secara alami. Karya cipta lagu yang didengar dalam setiap saat
lebih melambangkan kegundahan kaum-kaum muda dewasa terhadap berbagai problem
yang dihadapinya, baik problem cinta, rumah tangga, sejujurnya ku tak bisa
hidup tanpa ada kamu aku gila..., atau terlarut dalam jiwa wanita yang
ditinggalkan berselingkuh oleh suaminya, “Bang, SMS siapa ini Bang...,” atau
pria yang ditinggalkan oleh istrinya yang selingkuh, “O ow, kamu ketahuan
pacaran lagi....”
Karena
itu anak-anak kita hanyut dalam romantika yang belum waktunya. Mereka tidak
lagi ada yang mewakili untuk mengekspresikan kekecewaan diri karena kesibukan
ibu dan bapaknya, kehilangan ruang bermainnya, kehilangan berbagai binatang
kesayangannya.
Tidak
ada lagi yang mewakili mereka yang gundah karena hilangnya cicak-cicak di
dinding, nyaris tak terdengar lagi tik-tik bunyi hujan di atas genting,
hilangnya burung kutilang yang berbunyi, bahkan papatong nu konéng teu
témbong deui... leungit indit teu pamit. Di tengah-tengah keheningan dan
kegundahan anak-anak kita, untung saja masih ada para politisi yang mau
mewakili mereka dengan bermain petak umpet palu sidang paripurna.
Bahkan
kebahagiaan anak-anak untuk bermain mobil-mobilan, kapal-kapalan,
anjang-anjangan , bobonekaan, hari ini disuguhkan dengan manis dengan
permainan komisi-komisian, ketuaketuaan, wakil-wakilan, partai-partaian, dan
gubernur-gubernuran. ● ( Bersambung
)
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar