Selasa, 16 Desember 2014

Demokrasi Koyak di Parlemen

                                Laporan Akhir Tahun Politik, Hukum, dan Keamanan

Demokrasi Koyak di Parlemen
Anita Yossihara  ;   Wartawan Kompas
KOMPAS,  15 Desember 2014

                                                                                                                       


”BADAN permusyawaratan yang akan kita buat hendaknya bukan badan permusyawaratan politieke democratie saja, melainkan badan yang bersama dengan masyarakat dapat mewujudkan dua prinsip, yakni keadilan politik dan keadilan sosial”.

Demikian penggalan pidato Soekarno di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada 1 Juni 1945.

Setelah 69 tahun berlalu, harapan Soekarno itu masih lebih banyak berupa harapan. Lembaga perwakilan di Indonesia masih lebih mengedepankan kepentingan golongan atau kelompoknya. Berjuang untuk seluruh rakyat cenderung masih sebatas menjadi jargon yang indah.

Fenomena ini terlihat jelas jika melihat kondisi DPR periode 2014-2019 pada masa persidangan II tahun sidang 2014-2015 yang merupakan masa persidangan mereka yang pertama. Masa persidangan yang berlangsung pada 1 Oktober-5 Desember lalu habis dipakai oleh DPR untuk menyelesaikan permasalahan internal mereka, mulai dari pemilihan pimpinan hingga pembentukan alat kelengkapan DPR.

Tiga fungsi DPR, yakni pengawasan, legislasi, dan penganggaran, nyaris tak berjalan pada periode itu. DPR gagal menggelar rapat pengawasan kinerja pemerintah karena hampir semua menteri tak memenuhi undangan DPR. Alasannya, DPR masih punya masalah internal, yang dipicu oleh keberadaan dua kelompok besar, yaitu Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH).

Di bidang legislasi, DPR hanya bisa menyelesaikan pembahasan satu undang- undang. UU itu pun hanya yang mengatur internal DPR, yakni UU Perubahan atas UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).

Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015 juga belum selesai disusun oleh DPR periode 2014-2019. Upaya Badan Legislasi memulai pembahasan Prolegnas tahunan dan Prolegnas lima tahunan terhambat karena harus mendahulukan pembahasan revisi UU MD3.

Kondisi DPR 2014-2019 ini bertolak belakang dengan DPR 2009-2014 pada awal masa jabatan mereka. Pada masa persidangan pertamanya, DPR 2009-2014 sudah dapat menyusun Prolegnas 2010 dan Prolegnas 2010-2015.

Fungsi pengawasan juga langsung dijalankan DPR 2009-2014 pada awal masa persidangan mereka. Saat itu, hak angket langsung diputuskan untuk menyelidiki dugaan penyimpangan dalam pemberian dana talangan Rp 6,7 triliun untuk Bank Century.

Namun, awal yang baik itu tidak diikuti dengan kinerja yang memuaskan pada waktu-waktu sesudahnya. DPR 2009-2014 kemudian disibukkan dengan upaya memenuhi kepentingan sendiri, seperti terlihat dalam rencana pembangunan gedung baru dan dana aspirasi. Sejumlah anggota DPR 2009-2014 juga harus diproses hukum Komisi Pemberantasan Korupsi karena terlibat kasus korupsi.

Pada awal tahun 2014, ruang rapat di DPR banyak yang kosong karena para penghuninya lebih banyak ke daerah untuk mempersiapkan pemilu.

Apakah DPR 2014-2019 akan mengikuti jejak buruk pendahulunya itu? Waktu yang akan menjawabnya.

Dampak pemilu

Polemik yang muncul pada masa persidangan pertama DPR 2014-2019 dipicu oleh keberadaan KMP dan KIH, koalisi yang muncul saat pemilihan presiden lalu. Saat itu, KIH mendukung pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla dan KMP mendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.

Namun, polemik KIH dan KMP di DPR ini sebenarnya sudah terasa sejak pembahasan RUU MD3 oleh DPR periode 2009-2014. Pembahasan RUU itu banyak dilakukan setelah pemilu legislatif dan kemudian disahkan pada 8 Juli, satu hari sebelum pemilu presiden. KMP yang gagal memenangi pilpres berhasil mengegolkan sejumlah aturan dalam UU MD3 yang memungkinkan mereka dapat menguasai parlemen. Aturan itu antara lain tentang mekanisme pemilihan pimpinan DPR dan alat kelengkapan DPR yang dilakukan dengan sistem paket.

KMP dan KIH langsung berhadapan dalam pemilihan pimpinan DPR 2014-2019. Oleh karena punya lebih banyak kursi di parlemen, KMP berhasil menguasai lima kursi pimpinan DPR.

Kedua kelompok itu kembali berhadapan saat pembentukan alat kelengkapan DPR. Polemik di antara keduanya, bahkan, semakin meruncing. Lima fraksi anggota KIH, yaitu Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Fraksi Partai Nasdem, Fraksi Partai Hanura, dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, menginginkan 63 kursi pimpinan alat kelengkapan DPR ditetapkan secara proporsional berdasarkan kepemilikan kursi setiap fraksi.

Namun, lima fraksi anggota KMP, yaitu Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya, Fraksi Partai Amanat Nasional, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, dan Fraksi Partai Demokrat, tetap menginginkan pimpinan alat kelengkapan DPR ditetapkan melalui pemilihan secara paket, seperti yang diatur UU MD3.

Polemik ini membuat KIH sampai membentuk DPR tandingan dan memilih Ida Fauziah, Effendi Simbolon, Dossy Iskandar Prasetyo, Supiadin Aries Saputra, dan Syaifullah Tamliha sebagai pimpinan.

Pembentukan DPR tandingan menjadi periode terburuk perjalanan parlemen 2014-2019. Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra mengatakan, pembentukan DPR tandingan itu berbahaya bagi penyelenggaraan negara.

Berebut kue

Tak hanya pakar dan pemerhati politik, masyarakat kebanyakan juga tahu bahwa akar permasalahan di DPR adalah perebutan kekuasaan. ”DPR itu berantem karena bagi-bagi kuenya belum rata. Kalau kuenya sudah dibagi rata, ya selesai berantemnya,” tutur Basuki, seorang pengemudi taksi.

Pandangan Basuki itu tidak berlebihan. Buktinya, KIH dan KMP mau berdamai setelah ada kesepakatan penambahan kursi pimpinan alat kelengkapan DPR yang dilakukan melalui revisi UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3. Lewat revisi ini, KIH mendapat kursi 21 pimpinan alat kelengkapan DPR, terdiri dari 5 kursi ketua dan 16 kursi wakil ketua.

Bahkan, untuk memuluskan proses revisi UU MD3, DPR dan pemerintah sepakat membahas di luar Prolegnas.

Pembahasan tingkat satu dan tingkat dua revisi UU MD3 akhirnya hanya butuh waktu tujuh jam. Ini menjadikan revisi UU MD3 sebagai proses legislasi yang paling cepat di DPR pada era reformasi.

Jika dilihat sekilas, tidak ada yang istimewa dalam tugas dan wewenang pimpinan DPR atau alat kelengkapan DPR. Dalam Pasal 86 UU MD3 disebutkan, tugas pimpinan DPR antara lain memimpin dan menyimpulkan hasil sidang, menyusun rencana kerja, melakukan koordinasi, dan menjadi juru bicara DPR. Tugas hampir sama dimiliki pimpinan alat kelengkapan DPR, tentu di lingkup alat kelengkapan DPR.

Berdasarkan informasi yang dihimpun Kompas, tunjangan wakil ketua dan ketua alat kelengkapan DPR juga hanya Rp 1 juta dan Rp 2 juta. Jumlah itu tidak terlalu signifikan jika dibandingkan dengan pendapatan resmi anggota DPR sekitar Rp 60 juta setiap bulan.
Namun, dalam realitas politik sehari-hari, posisi pimpinan DPR dan alat kelengkapan DPR amat strategis. Pimpinan alat kelengkapan DPR punya peran penting untuk menentukan arah jalannya rapat yang dipimpinnya hingga keputusan yang akan diambil.

Seorang pimpinan DPR, sambil bergurau, pernah berujar seberapa penting posisinya itu. ”Dahulu, (saat masih jadi anggota DPR biasa) mau menghubungi pejabat tertentu sering kali gagal. Kini mereka yang menghubungi kami,” katanya.

Seorang anggota DPR menggambarkan pentingnya posisi pimpinan DPR dan alat kelengkapan DPR dengan istilah: posisi itu akan mengatur siapa yang dipanggil, siapa yang dibagi, dan pasal siapa yang dilindungi.

Pernyataan itu sejalan dengan tiga fungsi DPR, yaitu di bidang pengawasan (siapa yang dipanggil), anggaran (siapa yang dibagi), dan legislasi (pasal siapa yang dilindungi). Dalam politik, semua hal itu diduga tidak gratis.

Jika dugaan ini benar, berarti DPR sekarang masih sama seperti periode sebelumnya, penuh dengan politik transaksional. Kenyataan seperti ini yang membuat rakyat, seperti Basuki, kecewa. DPR lebih sibuk mengejar kekuasaan sehingga kepentingan rakyat terabaikan. Polah mereka membuat demokrasi kehilangan hakikatnya. Demokrasi terkoyak di rumah rakyat. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar