Rabu, 03 Desember 2014

Koordinasi Imperatif dan Skenario Tujuan Negara

    Koordinasi Imperatif dan Skenario Tujuan Negara

Laode Ida  ;   Sosiolog di Departemen Sosiologi FIS UNJ Jakarta;
Mantan Wakil Ketua DPD RI periode 2004–2009; 2009–2014
JAWA POS,  02 Desember 2014

                                                                                                                       


KETIKA diwawancarai tim kajian dari Lemhanas medio September 2014 tentang Skenario Indonesia 2045, saya mengingatkan agar setiap elemen pemerintahan pada era Jokowi-JK lebih memperhatikan koordinasi sinergis. Tidak lagi berjalan sendiri-sendiri seperti yang cenderung terjadi pada pemerintahan sebelumnya. Inti yang saya kemukakan, antara lain, pemerintah pusat (setiap instansi) harus selalu aktif dan proaktif berkoordinasi dengan pemerintah daerah (pemda) ’’secara paksa’’.

Pernyataan itu mungkin terkesan mengagetkan atau ingin mengembalikan sistem sentralistis dalam penyelenggaraan pemerintahan. Padahal, pada era reformasi ini, kita sudah menerapkan kebijakan desentralisasi otonomi daerah (otoda). Tentu saja tidak. Apalagi saya punya latar belakang sebagai bagian dari (katakanlah semacam) ’’pejuang otonomi daerah’’. Niscaya saya tidak akan pernah berpikir mundur, termasuk terkait dengan kemajuan demokrasi yang dipraktikkan dalam pemilihan kepala daerah secara langsung.

Gagasan untuk melakukan ’’koordinasi yang memaksa daerah’’ itu lebih dimaksudkan untuk memastikan bahwa daerah memiliki dan menjalankan agenda-agenda pembangunan yang bisa secara bertahap mengarah pada pencapaian tujuan pembangunan nasional seperti yang eksplisit tertulis dalam konstitusi. Pada era otoda, pemda dikonsepsikan berperan sebagai ujung tombak pencapaian tujuan negara itu. Atau, aktor-aktor di daerahlah yang paling menentukan maju tidaknya suatu daerah, meningkat tidaknya kesejahteraan dan kualitas hidup rakyat.

Namun, jika jujur diakui, faktanya selama ini dan bahkan hingga saat ini, kita belum bisa berharap banyak dari pemda untuk kerja idealis dalam rangka mewujudkan tujuan negara itu. Sebab, setiap pemda cenderung berjalan dengan agenda sendiri-sendiri, cenderung ’’gambar suka-suka’’, termasuk mengusulkan berbagai kegiatan yang berorientasi proyek pragmatis (pragmatically project oriented) untuk dibiayai pemerintah pusat melalui APBN, termasuk melalui jaringan mafia proyek di parlemen.

Sementara itu, pemerintah pusat beserta stakeholders terkait, selain tidak lagi mau repot-repot melakukan verifikasi terhadap program-program daerah, sebagian sudah saling memahami atau tahu sama tahu dengan harapan sebagian oknumnya akan kecipratan secara ’’tidak halal’’ anggaran yang digelontorkan.

Pemerintah pusat hanya membutuhkan laporan administrasi keuangan pelaksanaan proyek-proyek di daerah yang diharapkan bisa dinyatakan ’’baik dan berhasil’’. Maklum, administrator pemerintahan negara ini sudah merasa senang dan puas apabila laporan atau berkas administrasi proyek tampak rapi yang berisi catatan keberhasilan, kendati sebagian lebih bersifat kamuflase. Itulah yang dijadikan acuan untuk menunjukkan capaian pembangunan setiap tahun dari berbagai daerah di tanah air.

Jika kondisi pola hubungan pusat-daerah tersebut tidak diubah pada era kepemimpinan Jokowi-JK ini, jangan heran jika kita tetap mengelola negara tanpa sadar ke mana kita mengarah. Hanya akan menghabiskan waktu untuk periode rezim tertentu, sedangkan yang merasakan banyak manfaatnya adalah para elite di kekuasaan dan jaringan pebisnisnya.

Sangat minim aktor penting di pemda, terutama kepala daerah dan politisi lokal di DPRD, jika jujur diakui, yang memiliki agenda strategis berjangka panjang (multiyear) dengan skenario pada pencapaian tujuan kita bernegara itu. Mereka umumnya sibuk mengejar target, layaknya pebisnis yang sudah berkorban banyak materi (finansial dan sejenisnya) dalam proses-proses pemilihan mereka (pilkadasung) dan pileg (anggota DPRD). Karena itu, tidak heran, waktu terus berganti, kini kita sudah memasuki tahun ke-70 Indonesia merdeka, belum terbayang kapan tujuan negara kita itu tercapai.

Bahkan, dari segi pendapatan per kapita, warga bangsa ini justru sudah tertinggal dari bangsa Timor Leste, negara baru yang memisahkan diri dari Indonesia pada 1999. Atau, karena perasaan terabaikan dari segi ekonomi dan sosial (pendidikan dan kesehatan), sejumlah warga negara Indonesia yang bermukim di wilayah perbatasan (Nunukan, Kalimantan Utara) dikabarkan pindah status menjadi warga negara Malaysia –atau di antara mereka ada yang memiliki dua kartu identitas kependudukan (KTP Indonesia dan KTP Malaysia).

Kalaupun terjadi peningkatan kesejahteraan, hal itu lebih dirasakan kelompok kelas menengah yang memang tumbuh pesat lantaran memperoleh banyak akses bisnis dan ekonomi dari pihak penguasa. Di sini pulalah kesenjangan sosial sangat tampak menganga lebar antara yang kaya dan miskin di satu pihak serta di lain pihak antara kota-kota besar dan daerah-daerah, khususnya di luar Jawa.

Yang ingin ditekankan di sini, pemerintah pusat tidak sekadar memfasilitasi permintaan daerah, lalu menggelontorkan anggaran setiap tahun dari APBN. Melainkan, haruslah pula dipastikan bahwa dana yang didesentralisasikan itu digunakan untuk membiayai rencana dalam koridor skenario pencapaian tujuan bernegara dalam konstitusi itu. Pemerintah pusat diharapkan berperan sebagai pemandu yang efektif dan memaksa yang gerakannya berlangsung sepanjang tahun, mulai perencanaan program, pelaksanaan, sampai pada evaluasinya.

Aparat instansi pemerintah di Jakarta, dengan sendirinya, akan begitu aktif dan tahu persis berbagai masalah di daerah sesuai dengan bidang masing-masing. Pemda tidak akan begitu mudah lagi membuat atau mengusulkan program sesuai dengan kehendak mereka dan hanya berorientasi proyek. Setidaknya ada tiga syarat: (1) figur-aktor dari pemerintah pusat itu harus menguasai bidang mereka, (2) memiliki komitmen dan dedikasi yang tinggi tentang gerakan kemajuan bangsa, serta (3) memiliki derajat integritas yang tinggi sehingga tak mudah terpengaruh tawaran-tawaran pragmatis dari oknum-oknum tertentu di daerah.

Instrumen untuk ’’koordinasi yang memaksa’’ itu sebenarnya sebagian sudah tersedia. Proses-proses musyawarah pembangunan mulai desa (apalagi sejak 2015 akan digelontorkan dana alokasi desa/ADD), musrenbang kecamatan, kabupaten/kota sampai provinsi, bahkan hingga tingkat nasional) merupakan media untuk identifikasi dan evaluasi kebutuhan pembangunan masyarakat dan daerah secara umum. Dari segi administrasi keuangan, juga sudah ada instrumen evaluasi. Yakni, RAPBD baru bisa disetujui menjadi APBD apabila sudah dievaluasi pejabat pemerintah berlevel di atasnya.

Apalagi posisi Jakarta sangat kuat terhadap daerah karena anggaran pembangunan daerah memang sangat tergantung pada alokasi dana dari APBN (sekitar 85% APBD umumnya bersumber dari dana APBN). Dalam konteks ini, mungkin gagasan Mendagri Tjahjo Kumolo yang akan memperketat evaluasi atas RAPBD provinsi yang sudah disetujui bersama oleh gubernur dan DPRD perlu dikonkretkan dengan dikaitkan pada skenario tahap pencapaian tujuan negara itu. Bukan sekadar formalitas berdasar kesepakatan antara kepala daerah dan DPRD yang umumnya merupakan hasil negosiasi kepentingan ’’untuk memperoleh cipratan dari dana APBD/APBN’’ itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar