Koordinasi Imperatif
dan Skenario Tujuan Negara
Laode Ida ; Sosiolog di Departemen Sosiologi FIS UNJ Jakarta;
Mantan Wakil Ketua DPD
RI periode 2004–2009; 2009–2014
|
JAWA
POS, 02 Desember 2014
KETIKA diwawancarai tim kajian dari Lemhanas medio September 2014
tentang Skenario Indonesia 2045, saya mengingatkan agar setiap elemen
pemerintahan pada era Jokowi-JK lebih memperhatikan koordinasi sinergis.
Tidak lagi berjalan sendiri-sendiri seperti yang cenderung terjadi pada
pemerintahan sebelumnya. Inti yang saya kemukakan, antara lain, pemerintah pusat (setiap instansi) harus selalu aktif
dan proaktif berkoordinasi dengan pemerintah daerah (pemda) ’’secara paksa’’.
Pernyataan itu mungkin terkesan mengagetkan atau ingin mengembalikan
sistem sentralistis dalam penyelenggaraan pemerintahan. Padahal, pada era
reformasi ini, kita sudah menerapkan kebijakan desentralisasi otonomi daerah
(otoda). Tentu saja tidak. Apalagi saya punya latar belakang sebagai bagian
dari (katakanlah semacam) ’’pejuang otonomi daerah’’. Niscaya saya tidak akan
pernah berpikir mundur, termasuk terkait dengan kemajuan demokrasi yang
dipraktikkan dalam pemilihan kepala daerah secara langsung.
Gagasan untuk melakukan ’’koordinasi yang memaksa daerah’’ itu lebih
dimaksudkan untuk memastikan bahwa daerah memiliki dan menjalankan
agenda-agenda pembangunan yang bisa secara bertahap mengarah pada pencapaian
tujuan pembangunan nasional seperti yang eksplisit tertulis dalam konstitusi.
Pada era otoda, pemda dikonsepsikan berperan sebagai ujung tombak pencapaian
tujuan negara itu. Atau, aktor-aktor di daerahlah yang paling menentukan maju
tidaknya suatu daerah, meningkat tidaknya kesejahteraan dan kualitas hidup
rakyat.
Namun, jika jujur diakui, faktanya selama ini dan bahkan hingga saat
ini, kita belum bisa berharap banyak dari pemda untuk kerja idealis dalam
rangka mewujudkan tujuan negara itu. Sebab, setiap pemda cenderung berjalan
dengan agenda sendiri-sendiri, cenderung ’’gambar suka-suka’’, termasuk
mengusulkan berbagai kegiatan yang berorientasi proyek pragmatis (pragmatically project oriented) untuk
dibiayai pemerintah pusat melalui APBN, termasuk melalui jaringan mafia
proyek di parlemen.
Sementara itu, pemerintah pusat beserta stakeholders terkait, selain tidak lagi mau repot-repot melakukan
verifikasi terhadap program-program daerah, sebagian sudah saling memahami
atau tahu sama tahu dengan harapan sebagian oknumnya akan kecipratan secara
’’tidak halal’’ anggaran yang digelontorkan.
Pemerintah pusat hanya membutuhkan laporan administrasi keuangan
pelaksanaan proyek-proyek di daerah yang diharapkan bisa dinyatakan ’’baik
dan berhasil’’. Maklum, administrator pemerintahan negara ini sudah merasa
senang dan puas apabila laporan atau berkas administrasi proyek tampak rapi
yang berisi catatan keberhasilan, kendati sebagian lebih bersifat kamuflase.
Itulah yang dijadikan acuan untuk menunjukkan capaian pembangunan setiap
tahun dari berbagai daerah di tanah air.
Jika kondisi pola hubungan pusat-daerah tersebut tidak diubah pada era
kepemimpinan Jokowi-JK ini, jangan heran jika kita tetap mengelola negara
tanpa sadar ke mana kita mengarah. Hanya akan menghabiskan waktu untuk
periode rezim tertentu, sedangkan yang merasakan banyak manfaatnya adalah
para elite di kekuasaan dan jaringan pebisnisnya.
Sangat minim aktor penting di pemda, terutama kepala daerah dan
politisi lokal di DPRD, jika jujur diakui, yang memiliki agenda strategis
berjangka panjang (multiyear) dengan skenario pada pencapaian tujuan kita
bernegara itu. Mereka umumnya sibuk mengejar target, layaknya pebisnis yang
sudah berkorban banyak materi (finansial dan sejenisnya) dalam proses-proses
pemilihan mereka (pilkadasung) dan pileg (anggota DPRD). Karena itu, tidak
heran, waktu terus berganti, kini kita sudah memasuki tahun ke-70 Indonesia
merdeka, belum terbayang kapan tujuan negara kita itu tercapai.
Bahkan, dari segi pendapatan per kapita, warga bangsa ini justru sudah
tertinggal dari bangsa Timor Leste, negara baru yang memisahkan diri dari
Indonesia pada 1999. Atau, karena perasaan terabaikan dari segi ekonomi dan
sosial (pendidikan dan kesehatan), sejumlah warga negara Indonesia yang
bermukim di wilayah perbatasan (Nunukan, Kalimantan Utara) dikabarkan pindah
status menjadi warga negara Malaysia –atau di antara mereka ada yang memiliki
dua kartu identitas kependudukan (KTP Indonesia dan KTP Malaysia).
Kalaupun terjadi peningkatan kesejahteraan, hal itu lebih dirasakan
kelompok kelas menengah yang memang tumbuh pesat lantaran memperoleh banyak
akses bisnis dan ekonomi dari pihak penguasa. Di sini pulalah kesenjangan
sosial sangat tampak menganga lebar antara yang kaya dan miskin di satu pihak
serta di lain pihak antara kota-kota besar dan daerah-daerah, khususnya di
luar Jawa.
Yang ingin ditekankan di sini, pemerintah pusat tidak sekadar
memfasilitasi permintaan daerah, lalu menggelontorkan anggaran setiap tahun
dari APBN. Melainkan, haruslah pula dipastikan bahwa dana yang
didesentralisasikan itu digunakan untuk membiayai rencana dalam koridor
skenario pencapaian tujuan bernegara dalam konstitusi itu. Pemerintah pusat
diharapkan berperan sebagai pemandu yang efektif dan memaksa yang gerakannya
berlangsung sepanjang tahun, mulai perencanaan program, pelaksanaan, sampai pada
evaluasinya.
Aparat instansi pemerintah di Jakarta, dengan sendirinya, akan begitu
aktif dan tahu persis berbagai masalah di daerah sesuai dengan bidang
masing-masing. Pemda tidak akan begitu mudah lagi membuat atau mengusulkan
program sesuai dengan kehendak mereka dan hanya berorientasi proyek.
Setidaknya ada tiga syarat: (1) figur-aktor dari pemerintah pusat itu harus
menguasai bidang mereka, (2) memiliki komitmen dan dedikasi yang tinggi
tentang gerakan kemajuan bangsa, serta (3) memiliki derajat integritas yang
tinggi sehingga tak mudah terpengaruh tawaran-tawaran pragmatis dari
oknum-oknum tertentu di daerah.
Instrumen untuk ’’koordinasi yang memaksa’’ itu sebenarnya sebagian
sudah tersedia. Proses-proses musyawarah pembangunan mulai desa (apalagi sejak
2015 akan digelontorkan dana alokasi desa/ADD), musrenbang kecamatan,
kabupaten/kota sampai provinsi, bahkan hingga tingkat nasional) merupakan
media untuk identifikasi dan evaluasi kebutuhan pembangunan masyarakat dan
daerah secara umum. Dari segi administrasi keuangan, juga sudah ada instrumen
evaluasi. Yakni, RAPBD baru bisa disetujui menjadi APBD apabila sudah
dievaluasi pejabat pemerintah berlevel di atasnya.
Apalagi posisi Jakarta sangat kuat terhadap daerah karena anggaran
pembangunan daerah memang sangat tergantung pada alokasi dana dari APBN
(sekitar 85% APBD umumnya bersumber dari dana APBN). Dalam konteks ini,
mungkin gagasan Mendagri Tjahjo Kumolo yang akan memperketat evaluasi atas
RAPBD provinsi yang sudah disetujui bersama oleh gubernur dan DPRD perlu
dikonkretkan dengan dikaitkan pada skenario tahap pencapaian tujuan negara
itu. Bukan sekadar formalitas berdasar kesepakatan antara kepala daerah dan
DPRD yang umumnya merupakan hasil negosiasi kepentingan ’’untuk memperoleh cipratan dari dana APBD/APBN’’ itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar