Senin, 15 Desember 2014

Demi Keindonesiaan yang Sejati

                                Demi Keindonesiaan yang Sejati

L Murbandono Hs  ;   Peminat Peradaban,
Tinggal di Ambarawa, Kabupaten Semarang
SUARA MERDEKA,  15 Desember 2014

                                                                                                                       


KABINET Joko Widodo telah mulai memimpin negara kita sejak Oktober lalu. Di luar aneka macam kritik dari siapa pun, rakyat yang berakal sehat tetap berharap kepada Presiden Jokowi semoga dengan kekuasaannya berani mereparasi keindonesiaan sejati yang sudah dan masih rusak.

Keindonesiaan sejati itu rusak karena dirusak oleh kekuasaan-kekuasaan sebelum Oktober 2014 di mana sebagian penguasa adalah orang-orang jelek yang berakal budi picik.

Kerusakan itu diawali sejak 5 Juli 1959, rusak parah pada zaman Orde Baru, dan tak kunjung diperbaiki secara tuntas pada zaman yang disebut reformasi. Keindonesiaan yang sejati adalah ”menjadi Indonesia” seperti dicita-citakan para ibu-bapak bangsa kita. Itu adalah Indonesia ketika Bhinneka Tunggal Ika dihayati sebagai warna-warni pelangi yang utuh tanpa satu warna pun diabaikan, atau apalagi dibinasakan.

Ini sejatinya pernah diupayakan oleh Gus Dur, semasa menjabat presiden namun gagal, dijegal para penguasa yang brengsek. Kegagalan itu menandai keindonesiaan yang sejati sebagai puncak kehidupan berbangsa dan bernegara tidak dihayati dengan jujur secara menyeluruh oleh rezim-rezim kekuasaan pada zaman yang disebut reformasi. Itulah sebabnya harapan rakyat kepada Presiden Jokowi bukan sekadar cita-cita tingkat biasa melainkan cita-cita tingkat raya.

Cita-cita raya ini agaknya tidak mudah tercapai dan bahkan mungkin sukar sekali, atau mendekati kemustahilan. Itu terjadi karena negara kita sampai saat ini masih dijajah kawanan penjahat yang sangat kuat, solid, dan penuh rahasia mekanisme kerjanya yang hanya diketahui pihak-pihak terkait.

Mereka berada di dalam lingkaran semua pilar kekuasaan dengan jiwa orbaisme yang fanatik bersama turunan kebermasalahannya yang nyanthel laten semisal nakal, licik, melecehkan akal sehat, manipulatif, doyan suap dan senang disogok, kejam, rasis, fasis, feodal, merasa benar sendiri, mau menangnya sendiri, lihai kongkalikong, sewenang-wenang, munafik, dan rakus. Dalam konteks karakter kebermasalahan semacam itu, lahirlah dua budaya barbar dalam diri kawanan tersebut. Pertama; pelanggaran HAM menjadi sekadar kinderspel alias mainan bocah dan korupsi menjadi menu harian belaka bagi mereka.

Kedua; mereka terus bekerja menjegal reformasi, mengaburkan dosa-dosa orbaisme, dengan cara membuat bingung rakyat. Pasalnya, hanya dengan cara inilah mereka bisa terus menguasai segala hasil penjarahan dari merampok harta raya Republik Indonesia (milik rakyat Indonesia) selama lebih 30 tahun.

Dasar Rekonsiliasi

Artinya, cita-cita tingkat raya dari rakyat ini bakal menjadi pekerjaan amat berat bagi Presiden Jokowi dan kabinetnya apabila mereka yang akan berkuasa selama lima tahun mendatang ini memang benar-benar prorakyat dengan berlandaskan spirit keindonesiaan yang sejati.

Di samping dalam tataran praktis dan teknis agenda kerja amat berat, cita-cita raya ini juga menuntut sikap batin yang bijak adalah mindset berdasar kasih (kejahatan jangan dibalas dengan kejahatan) sebagai dasar untuk rekonsiliasi segenap warga bangsa.

Sebesar apa pun dosa kaum penjajah orbais, mereka tetap bangsa Indonesia. Mereka bukan penjajah Belanda, Jepang atau penjajah luar negeri mana pun. Apalagi, kaum orbais itu tidak lebih hanya wayang-wayang yang dimainkan oleh para dalang dalam Perang Dingin antarblok Barat dan Timur.

Tanpa Perang Dingin, di negara kita tidak akan pernah lahir orbaisme yang sarat masalah. Di luar rasa hormat dan apresiasi saya atas berbagai kinerja Kabinet Kerja Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam tempo yang amat singkat, kiranya seluruh kinerja yang positif itu akan sirna kepositifannya apabila Jokowi mengabaikan keindonesiaan yang sejati sebagai pendasar seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara yang menjadi cita-cita para ibu-bapak bangsa kita.

Alhasil, sekalipun konon politik cenderung korup dan kata orang kekuasaan cenderung akrab dengan penyalahgunaan, kita berdoa agar Presiden Jokowi dan kabinetnya merdeka dari hal-hal kotor dan mampu menjalankan tugas nasional dan internasional dengan benar, baik, dan terutama jujur sehingga negara dan bangsa Indonesia raya dalam arti yang sebenar-benarnya sungguh-sungguh terwujud.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar