Selasa, 26 Agustus 2014

Taji Polisi Lembaga Keuangan

Taji Polisi Lembaga Keuangan

  W Riawan Tjandra  ;   Dosen Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta
SUARA MERDEKA, 25 Agustus 2014
                                                


 “Kepercayaan dan keyakinan pasar terhadap lembaga pengawas merupakan komponen utama good governance”

OTORITAS Jasa Keuangan (OJK) kini makin menunjukkan taji. Mereka memulai dari menata sistem penawaran jasa finansial lewat telepon sampai memproteksi nasabah jasa asuransi dengan cukup efektif, dalam usianya yang masih muda. Latar belakang kelahiran ’’polisi’’ lembaga keuangan bank dan nonbank itu tak bisa dilepaskan dari krisis finansial yang berulang melanda sektor jasa keuangan negeri ini. Hampir selalu pada masa pergelaran politik, ada bank mengalami krisis.

Kasus Bank Century merupakan salah satu contoh bank gagal yang terjadi pada masa pergelaran politik. Sebelumnya terjadi kasus BLBI, dan nyaris kembali terjadi hal serupa sewaktu muncul wacana akuisisi BTN. Kehadiran OJK, yang menggantikan peran BI, dalam sistem tata kelola keuangan di Indonesia (finance governance) memberikan harapan positif terhadap upaya penguatan sektor jasa keuangan

Kehadirannya bahkan bisa memenuhi fungsi mewujudkan stabilitas ekonomi sebagaimana diatur Pasal 4 UU Nomor 21 Tahun 2011, regulasi yang berlaku mulai 1 Januari 2013. Lembaga keuangan nonbank yang diawasi oleh OJK adalah asuransi, dana pensiun, bursa efek/pasar modal, modal ventura, perusahaan anjak piutang, reksadana, serta perusahaan pembiayaan, dana pensiun dan asuransi.

Krisis keuangan di Asia merupakan implikasi kelemahan kualitas sistem keuangan di benua itu. Pada Juli 1997, Indonesia mulai terkena dampaknya karena struktur ekonomi nasional masih lemah untuk menghadapi krisis global. Kurs rupiah terhadap dolar AS melemah pada 1 Agustus 1997 yang diikuti penutupan 16 bank bermasalah oleh pemerintah pada November 1997.

Kemudian, pemerintah dan BI membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) guna mengawasi 40 bank bermasalah lainnya. Selain itu, mengeluarkan beleid Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) untuk membantu beberapa bank bermasalah. Namun kebijakan itu tidak berjalan efektif karena dana bantuan disalahgunakan oleh sejumlah pihak.

Hal itu memperburuk citra perbankan dan sistem pengawasan perbankan yang waktu itu dilakukan BI. Krisis ekonomi 1997-1998 yang dialami Indonesia mengharuskan pemerintah membenahi sektor perbankan dalam rangka stabilisasi sistem keuangan dan mencegah terulangnya krisis.

Namun tahun 2008, kasus serupa kembali terjadi pada Century, hasil merger antara Bank CIC, Pikko, dan Danpac. Sebagai pengawas bank, BI mengizinkan merger tersebut meskipun terdapat pelanggaran administratif. Beberapa kasus tersebut memberikan sinyal bahwa fungsi pengawasan yang dilakukan BI masih memiliki sejumlah kelemahan. Hal itulah yang mendorong pemerintah membentuk OJK, institusi independen yang diberi atribusi wewenang mengawasi sektor jasa keuangan bank dan nonbank.

Meskipun latar belakang pembentukannya tak selalu sama, cukup banyak negara membentuk institusi semacam OJK untuk melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan sektor keuangan secara terpadu. Memang ada beberapa faktor yang memicu dilakukannya perubahan terhadap struktur kelembagaan pengawas jasa keuangan.

Konglomerasi Keuangan

Pertama;  kemunculan konglomerasi keuangan dan awal penerapan universal banking di banyak negara. Kondisi ini menyebabkan regulasi yang didasarkan atas sektor menjadi tidak efektif karena terjadi kesenjangan antara regulasi dan supervisi. Kedua; stabilitas sistem keuangan telah menjadi isu utama bagi lembaga pengawas yang awalnya belum memperhatikan stabilitas sistem keuangan, dan mereka mulai mencari struktur kelembagaan yang tepat untuk meningkatkan stabilitas sistem keuangan.

Ketiga; kepercayaan dan keyakinan pasar terhadap lembaga pengawas menjadi komponen utama good governance. Dalam konteks untuk mengakselerasi keterwujudannya pada lembaga pengawas jasa keuangan, banyak negara merevisi struktur lembaga pengawas jasa keuangannya.

Adapun kewenangan yang diatribusikan kepada OJK sebagaimana terdapat pada Pasal 7, 8 dan 9 UU Nomor 21 Tahun 2011 merupakan derivasi dari Pasal 34 Ayat (1) UU BI Nomor 3 Tahun 2004 yang mengatur bahwa tugas mengawasi bank dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk berdasarkan undang-undang.

Dengan demikian, dalam isu konstitusional, karakter constitutionally important dari UU OJK dapat ditelusuri melalui Pasal 34 UU BI yang bersumber dari Pasal 23D UUD 1945. Pasal itu mengamanatkan bahwa negara harus memiliki bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya, diatur oleh undang-undang.

Bahkan secara sistematis, dapat pula menelusuri landasan konstitusionalnya dalam Pasal 33 Ayat (4) UUD 1945. Atribusi kewenangan dalam UU tentang OJK dan pengaturan mengenai institusionalnya, merupakan manifestasi dari jiwa konstitusi. Terutama dengan memahami dialektika Pasal 23D dan Pasal 33 Ayat (4) UUD 1945. Kehadiran lembaga itu diharapkan bisa memberikan terapi terhadap penyakit kronis sistem keuangan di negeri ini. Lebih jauh, supaya sektor jasa keuangan terhindar dari moral hazard dan salah urus sebagaimana berulang kali  terjadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar