Simalakama
Subsidi BBM
Joko Tri Haryanto ; Bekerja di Kementerian Keuangan
|
KORAN
JAKARTA, 05 Agustus 2014
Demi menjaga realisasi BBM bersubsidi tidak melebihi kuota 2014 sebesar
46 juta kiloliter (kl), pemerintah terus berupaya mengendalikan konsumsi
bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.
Bukan hanya solar di sektor transportasi, mulai 4 Agustus
kemarin, alokasi solar bersubsidi untuk Lembaga Penyalur Nelayan
(SPBB/SPBN/SPDN/APMS) dipotong 20 persen dan penyalurannya mengutamakan kapal
nelayan di bawah 30 gross ton (gt).
Mulai 6 Agustus besok, seluruh SPBU di pinggir tol tidak boleh
menjual premium bersubsidi. Mereka hanya menjual Pertamax series. Sebelum
pemerintah mengeluarkan kebijakan tersebut, subsidi BBM selalu membebani
APBN, dan hingga kini, belum ada solusi.
Pemerintah malah terkesan gamang atas beberapa kebijakan
sebelumnya. Pelarangan konsumsi BBM bersubsidi di kalangan PNS, BUMN/BUMD,
pemasangan RFID, dual price BBM, dual fuel kendaraan, mekanisme subsidi tetap
BBM, dan gagasan lainnya, menguap. Semua sebatas wacana, tak pernah
terealisasikan secara optimal.
Sebelumnya, Kementerian ESDM juga pernah menggulirkan ide
pengendalian BBM bersubsidi dengan melarang konsumsi pada akhir pekan dan
hari libur. Asumsinya, langkah itu akan menghemat 25 triliun rupiah (sekitar
6,5 juta kl).
Masyarakat mempertanyakan dasar hukumnya, praktik di lapangan,
serta dampaknya, seperti peningkatan jumlah pedagang eceran dan sektor informal.
Langkah tersebut juga berpotensi menurunkan kunjungan wisatawan dan
pendapatan pemerintah, daerah, serta swasta. Jadi, ini bertentangan dengan
imbauan pemerintah untuk berwisata.
Jika ditelusuri, sejujurnya, hal itu tak sepenuhnya salah
pemerintah. BBM terkait dengan banyak isu, apalagi pada tahun politik dan
menjelang pergantian kepemimpinan nasional. Bersama beras, gula, dan sembako
lainnya, BBM telanjur menempati posisi sebagai komoditas politik kelas wahid.
Hal itu tak lepas dari persoalan subsidi BBM sebagai representasi
keberpihakan pemerintah pada masyarakat miskin meskipun di sisi lain justru
menimbulkan distorsi ekonomi.
Akibatnya, subsidi BBM bertranformasi bak simalakama: maju kena,
mundur kena. Dihapus bisa menimbulkan prahara, sementara bila dibiarkan
membebani anak cucu. Lalu, kapan APBN terbebas subsidi BBM? Tak dapat
diketahui. Isu subsidi BBM sudah terlalu mengakar dalam spektrum dimensi yang
begitu luas. Nasionalisme, sensitivitas publik, dan berbagai isu kronis
lainnya telanjur menyatu.
Pemerintah hanya mungkin bisa meningkatkan keefektifan dan
efisiensi alokasi sehingga error distribusi, penyelewengan, serta berbagai
bentuk pelanggaran lainnya dapat diminimalkan.
Definisi
Berdasarkan teori dan literatur ilmiah, sebetulnya ada beberapa
pendekatan dalam mendefinisikan subsidi. Para penganut ekonomi liberal
(klasik dan neoklasik) selalu melihat subsidi sebagai bentuk intervensi
pemerintah karena kegagalan pasar. Meski begitu, mereka tetap beranggapan
mekanisme pasar akan selalu sempurna. Faktanya, dominasi kekuatan pasar
berbentuk monopoli, inefisiensi birokrasi, serta informasi yang sifatnya
terbatas menjadi sebab kegagalan pasar tersebut.
Teori lainnya juga mendefinisikan subsidi sebagai profit loss
dan cost loss. Profit loss biasanya diterapkan sebagai kebijakan penentuan
harga jual yang besarannya sama dengan harga pokok. Sebaliknya, pendekatan
cost loss justru memandang kebijakan subsidi sebagai alat menekan penjualan
di bawah harga umum. Pendekatan profit loss banyak digunakan dalam perspektif
ilmu ekonomi mikro, sedang lainnya untuk kebijakan publik.
Mendasarkan pada sistem penganggaran, subsidi BBM termasuk di
dalam pos belanja pemerintah pusat. Secara umum, alokasi subsidi BBM ini
senantiasa meningkat secara signifikan. Tahun 2005, subsidi BBM sudah
mencapai 95,6 triliun rupiah atau 79,2 persen total belanja subsidi. Tahun
2008 mencapai 139,1 triliun atau 50,1 persen total belanja subsidi. APBNP
Tahun 2013 menjadi 129,7 triliun. Jumlah ini naik lagi pada APBNP tahun ini menjadi
199,9 triliun rupiah.
Pelemahan nilai tukar rupiah, kenaikan konsumsi BBM domestik,
serta kegagalan target lifting migas selalu menjadi biang permasalahan.
Potensi pembengkakan konsumsi domestik sepertinya akan menjadi kenyataan
seturut keterangan Badan Pelaksana Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas) yang
diprediksi mencapai 48,97 juta kl.
Rata-rata penggunaan konsumsi tahun 2013 naik 2,5 persen
dibanding 2012. Dari pagu subsidi dalam APBN-P 2011 sebesar 129,7 triliun,
realisasinya melonjak menjadi 165,2 triliun rupiah. Kenaikan juga terjadi
pada tahun berikutnya. Jatah tahun 2012 sebesar 137,4 triliun, kenyataannya
219,9 triliun rupiah. Hal yang sama terjadi pada tahun lalu, dari pagu 199,9
triliun menjadi 210 triliun rupiah.
Wacana penghapusan subsidi BBM seperti yang selalu disampaikan
beberapa kalangan juga bukan alternatif yang mudah untuk dijalankan. Sebab
laju pertumbuhan ekonomi yang pesat saat ini justru menyisakan berbagai
persoalan kemiskinan dan kemasyarakatan yang masih relatif tinggi. Maka,
subsidi BBM jelas menjadi solusi terbaik, asal tepat sasaran.
Pertumbuhan ekonomi tidak berdampak pada masyarakat. Efek
rembesan hanya terbatas di level teori tanpa dapat diimplementasikan. Padahal
hasil beberapa survei dan studi menunjukkan korelasi antara masyarakat miskin
dan alokasi subsidi BBM.
Ke depan, beberapa fakta tersebut harus diperhatikan. Jangan
sampai APBN yang dihimpun dari berbagai sumber aktivitas ekonomi bangsa
justru habis sia-sia hanya untuk membiayai subsidi BBM yang tidak bermanfaat
bagi masyarakat dan perekonomian. Jangan sampai jargon yang muncul pemerintah
justru menyubsidi kemacetan dengan terus menambah alokasi subsidi BBM di
APBN. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar