Rabu, 06 Agustus 2014

Simalakama Subsidi BBM

Simalakama Subsidi BBM

Joko Tri Haryanto  ;   Bekerja di Kementerian Keuangan
KORAN JAKARTA, 05 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

Demi menjaga realisasi BBM bersubsidi tidak melebihi kuota 2014 sebesar 46 juta kiloliter (kl), pemerintah terus berupaya mengendalikan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.

Bukan hanya solar di sektor transportasi, mulai 4 Agustus kemarin, alokasi solar bersubsidi untuk Lembaga Penyalur Nelayan (SPBB/SPBN/SPDN/APMS) dipotong 20 persen dan penyalurannya mengutamakan kapal nelayan di bawah 30 gross ton (gt).

Mulai 6 Agustus besok, seluruh SPBU di pinggir tol tidak boleh menjual premium bersubsidi. Mereka hanya menjual Pertamax series. Sebelum pemerintah mengeluarkan kebijakan tersebut, subsidi BBM selalu membebani APBN, dan hingga kini, belum ada solusi.

Pemerintah malah terkesan gamang atas beberapa kebijakan sebelumnya. Pelarangan konsumsi BBM bersubsidi di kalangan PNS, BUMN/BUMD, pemasangan RFID, dual price BBM, dual fuel kendaraan, mekanisme subsidi tetap BBM, dan gagasan lainnya, menguap. Semua sebatas wacana, tak pernah terealisasikan secara optimal.

Sebelumnya, Kementerian ESDM juga pernah menggulirkan ide pengendalian BBM bersubsidi dengan melarang konsumsi pada akhir pekan dan hari libur. Asumsinya, langkah itu akan menghemat 25 triliun rupiah (sekitar 6,5 juta kl).

Masyarakat mempertanyakan dasar hukumnya, praktik di lapangan, serta dampaknya, seperti peningkatan jumlah pedagang eceran dan sektor informal. Langkah tersebut juga berpotensi menurunkan kunjungan wisatawan dan pendapatan pemerintah, daerah, serta swasta. Jadi, ini bertentangan dengan imbauan pemerintah untuk berwisata.

Jika ditelusuri, sejujurnya, hal itu tak sepenuhnya salah pemerintah. BBM terkait dengan banyak isu, apalagi pada tahun politik dan menjelang pergantian kepemimpinan nasional. Bersama beras, gula, dan sembako lainnya, BBM telanjur menempati posisi sebagai komoditas politik kelas wahid. Hal itu tak lepas dari persoalan subsidi BBM sebagai representasi keberpihakan pemerintah pada masyarakat miskin meskipun di sisi lain justru menimbulkan distorsi ekonomi.

Akibatnya, subsidi BBM bertranformasi bak simalakama: maju kena, mundur kena. Dihapus bisa menimbulkan prahara, sementara bila dibiarkan membebani anak cucu. Lalu, kapan APBN terbebas subsidi BBM? Tak dapat diketahui. Isu subsidi BBM sudah terlalu mengakar dalam spektrum dimensi yang begitu luas. Nasionalisme, sensitivitas publik, dan berbagai isu kronis lainnya telanjur menyatu.

Pemerintah hanya mungkin bisa meningkatkan keefektifan dan efisiensi alokasi sehingga error distribusi, penyelewengan, serta berbagai bentuk pelanggaran lainnya dapat diminimalkan.

Definisi

Berdasarkan teori dan literatur ilmiah, sebetulnya ada beberapa pendekatan dalam mendefinisikan subsidi. Para penganut ekonomi liberal (klasik dan neoklasik) selalu melihat subsidi sebagai bentuk intervensi pemerintah karena kegagalan pasar. Meski begitu, mereka tetap beranggapan mekanisme pasar akan selalu sempurna. Faktanya, dominasi kekuatan pasar berbentuk monopoli, inefisiensi birokrasi, serta informasi yang sifatnya terbatas menjadi sebab kegagalan pasar tersebut.

Teori lainnya juga mendefinisikan subsidi sebagai profit loss dan cost loss. Profit loss biasanya diterapkan sebagai kebijakan penentuan harga jual yang besarannya sama dengan harga pokok. Sebaliknya, pendekatan cost loss justru memandang kebijakan subsidi sebagai alat menekan penjualan di bawah harga umum. Pendekatan profit loss banyak digunakan dalam perspektif ilmu ekonomi mikro, sedang lainnya untuk kebijakan publik.

Mendasarkan pada sistem penganggaran, subsidi BBM termasuk di dalam pos belanja pemerintah pusat. Secara umum, alokasi subsidi BBM ini senantiasa meningkat secara signifikan. Tahun 2005, subsidi BBM sudah mencapai 95,6 triliun rupiah atau 79,2 persen total belanja subsidi. Tahun 2008 mencapai 139,1 triliun atau 50,1 persen total belanja subsidi. APBNP Tahun 2013 menjadi 129,7 triliun. Jumlah ini naik lagi pada APBNP tahun ini menjadi 199,9 triliun rupiah.

Pelemahan nilai tukar rupiah, kenaikan konsumsi BBM domestik, serta kegagalan target lifting migas selalu menjadi biang permasalahan. Potensi pembengkakan konsumsi domestik sepertinya akan menjadi kenyataan seturut keterangan Badan Pelaksana Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas) yang diprediksi mencapai 48,97 juta kl.

Rata-rata penggunaan konsumsi tahun 2013 naik 2,5 persen dibanding 2012. Dari pagu subsidi dalam APBN-P 2011 sebesar 129,7 triliun, realisasinya melonjak menjadi 165,2 triliun rupiah. Kenaikan juga terjadi pada tahun berikutnya. Jatah tahun 2012 sebesar 137,4 triliun, kenyataannya 219,9 triliun rupiah. Hal yang sama terjadi pada tahun lalu, dari pagu 199,9 triliun menjadi 210 triliun rupiah.

Wacana penghapusan subsidi BBM seperti yang selalu disampaikan beberapa kalangan juga bukan alternatif yang mudah untuk dijalankan. Sebab laju pertumbuhan ekonomi yang pesat saat ini justru menyisakan berbagai persoalan kemiskinan dan kemasyarakatan yang masih relatif tinggi. Maka, subsidi BBM jelas menjadi solusi terbaik, asal tepat sasaran.

Pertumbuhan ekonomi tidak berdampak pada masyarakat. Efek rembesan hanya terbatas di level teori tanpa dapat diimplementasikan. Padahal hasil beberapa survei dan studi menunjukkan korelasi antara masyarakat miskin dan alokasi subsidi BBM.

Ke depan, beberapa fakta tersebut harus diperhatikan. Jangan sampai APBN yang dihimpun dari berbagai sumber aktivitas ekonomi bangsa justru habis sia-sia hanya untuk membiayai subsidi BBM yang tidak bermanfaat bagi masyarakat dan perekonomian. Jangan sampai jargon yang muncul pemerintah justru menyubsidi kemacetan dengan terus menambah alokasi subsidi BBM di APBN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar