Sabtu, 02 Agustus 2014

Puasa dan Kerja Cepat

                                             Puasa dan Kerja Cepat

Muhadjir Effendy  ;   Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)
JAWA POS, 29 Juli 2014



”On this road, halt is out of place,

A static condition means death,

those on the move have gone ahead,

those who tarried –even a while– got crushed!”

(Jalan ini tak ada tempat berhenti,

sikap lamban berarti mati,

siapa yang bergerak merekalah yang terdepan,

dan yang tertegun –sejenak pun– pasti tergilas!)

KATA-kata di atas adalah sebuah epigram, yaitu puisi yang berisi tentang ajaran dan tuntunan hidup. Ditulis seorang filsuf dan penyair, Muhammad Iqbal. Diksi dalam puisi tersebut menggambarkan suasana batin yang bergelora. Bahkan meledak-ledak. Sadar akan sengitnya persaingan. Meyakini bahwa untuk menjadi yang terdepan itu tidak cukup hanya bekerja keras, tetapi juga harus cepat.

Saya tidak tahu apakah moto Pak JK (Jusuf Kalla) yang fenomenal: ”Lebih cepat, lebih baik!” dulu diilhami puisi itu. Tetapi, saya yakin, saya bukan satu-satunya orang yang telah terpengaruh oleh puisi tersebut. Walaupun mungkin juga ada yang bosan karena telah mendengar puluhan kali saya mengutipnya dalam berbagai kesempatan. Terutama tatkala berbicara di depan anak-anak muda, khususnya mahasiswa.

Siapa bilang bangsa kita pemalas? Bangsa Indonesia adalah bangsa pekerja keras. Tapi, mungkin bukan pekerja cepat. Di luar negeri, tenaga kerja Indonesia (TKI) banyak disukai karena kerja kerasnya. Mereka tidak berkeberatan kalau diminta majikannya kerja lembur. Mereka tidak suka (bisa) protes meski hak-haknya dikadali. Kenapa begitu? Sebab, sejak kecil mereka hanya sedikit dibekali kemampuan berekspresi lantaran dididik dalam sistem 3D: duduk, diam, dengar. Guru tempo dulu, entah sekarang, menjadikan diam sebagai hadiah. Sebelum pulang, murid-murid harus berlomba ”anteng-antengan”, dan yang paling anteng (diam) boleh pulang duluan. Sementara yang paling tidak bisa diam mendapat hukuman membersihkan ruangan.

Yakinlah, bangsa kita adalah pekerja keras. Tetapi, produktivitasnya rendah karena sebagian besar tergolong unskilled labor. Atau pekerja rendahan. Di pasar kerja luar negeri sebagian besar TKI mengisi formasi kerja rendahan itu. Kalau mereka kelihatan bisa menyisihkan penghasilan dan mengirim ke Indonesia, itu terjadi karena kemampuan berhematnya yang luar biasa dan ditolong oleh rendahnya nilai tukar rupiah. Bukan karena gajinya memang tinggi. 

Di dalam negeri, petani buruh berangkat ke sawah setelah subuh, pukul 6.00 pulang pukul 16.00. Atau 10 jam kerja. Mereka telah bekerja keras bukan? Dengan kerjanya itu, dia mendapat upah Rp 60.000. Bahkan kurang dari itu. Kontrasnya dengan dokter yang membuka praktik mulai pukul 7.00 sampai 9.00. Hanya dalam waktu dua jam, dia memperoleh honorarium Rp 600.000 dari enam pasien yang dilayani.

Saya tidak bermaksud katakan bahwa sang dokter adalah pemalas, tetapi yang jelas dia jauh lebih produktif daripada Pak Tani. Dengan perbandingan tersebut, saya bermaksud mengatakan bahwa meningkatkan jumlah sebanyak-banyaknya lapangan kerja produktif yang bisa dimasuki oleh generasi usia produktif itulah yang menjadi tantangan bangsa ini kalau ingin bonus demografi (demographic dividend) yang diperkirakan akan terjadi pada 2020–2030 menjadi berkah. Bukan sebaliknya, menjadi musibah.

Musibah demografi juga akan terjadi apabila kita gagal membentuk mental dan membekali kemampuan yang dibutuhkan sektor pekerjaan yang produktif kepada anak-anak kita yang sedang dan akan menjadi bagian dari angkatan usia produktif itu. Semua harus diusahakan dengan keras dan cepat agar bangsa kita terhindar dari jebakan penghasilan mertanggung (the middle income trap). Berpenghasilan mertanggung itu memang sudah tidak tergolong miskin, namun juga bukan tergolong kaya, dan lebih mudah turun derajat menjadi miskin kembali ketimbang meningkat menjadi kaya.

Alhamdulillah, ibadah puasa Ramadan sudah selesai kita jalani dengan penuh kayakinan dan kesadaran (imanan wa ikhtisaaban). Arti penuh keyakinan adalah tanpa mempertanyakan. Termasuk bertanya: ”Untuk apa bersusah-susah puasa?” seperti yang didendangkan penyanyi Trio Bimbo. Ramadan juga dimaknai pembakaran dosa yang membuat orang yang berpuasa itu kembali sebagai pribadi yang bersih. Saat pribadi dalam keadaan bersih itulah, atas kehendak Tuhan –walau kita menyebut kebetulan– bangsa Indonesia menunaikan hak konstitusinya, yaitu memilih calon presiden dan wakil presiden untuk periode pemerintahan 2014–2019. Memang, hingga saat artikel ini ditulis, masih ada proses-proses ikutan yang harus dilalui, tetapi mudah-mudahan berkah Ramadan akan membuat semuanya berakhir dengan baik untuk bangsa dan melegakan untuk semua pihak.

Dalam pemilihan umum presiden dan wakil presiden, kedua pihak yang berkompetisi, yang sedang kembali sebagai pribadi yang bersih, memiliki kejernihan niat yang sama. Yaitu, akan memberikan sumbangsih terbaiknya untuk bangsa. Soal sumbangsih itu akan dilakukan melalui keterpilihannya sebagai presiden dan wakil presiden, itu soal pilihan cara saja.

Sedangkan konstitusi kita menetapkan bahwa pilihan cara itu disediakan hanya untuk sepasang presiden-wakil presiden. Banyak cara lain yang tidak kalah bernilainya untuk memberikan sumbangsih kepada negara ini, apalagi untuk putra-putra terbaik bangsa yang telah terbukti kedua pasangan tersebut sama-sama meraih kepercayaan yang nyaris berimbang besarnya dari rakyat Indonesia.

Menurut hemat kita, memasuki periode pemerintahan baru, segenap komponen bangsa ini harus memiliki semangat sebagaimana yang ada dalam puisi Iqbal tersebut di atas. Bangsa ini sudah lama bekerja sangat keras, tetapi mungkin juga sudah cukup lama berlamban-lamban. Berkat kerja keraslah, indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia terus membaik dalam beberapa tahun terakhir. Namun, karena sikap lambanlah peningkatan tersebut tidak cukup untuk mendongkrak peringkat IPM Indonesia di dunia.

Berdasar laporan UNDP tahun 2014, peringkat Indonesia tahun ini, sebagaimana tahun lalu, tetap di posisi ke-108 di antara 287 negara dan kawasan dengan besaran 0,687 (Kompas, Sabtu, 26 Juli 2014). Hal tersebut terjadi karena ketika bangsa Indonesia bekerja keras, bangsa-bangsa di dunia juga sama-sama bekerja keras.

Untuk mendongkrak peringkat IPM, usaha kerja keras tersebut harus dibarengi juga dengan bekerja cepat. Kitab suci Alquran telah mensyiratkan akan pentingnya kerja cepat tersebut: ”Waidzaa faraghta fanshab, wa ilaa Rabbika Farghab” (Apabila kamu telah selesaikan suatu urusan, maka cepat-cepatlah beralih ke urusan yang lain. Dan hanya kepada Tuhanmu hendaknya kamu berharap pertolongan (94:7, 8)). ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar