Sabtu, 02 Agustus 2014

Belajar Alquran kepada Izutsu

                                  Belajar Alquran kepada Izutsu

Ahmad Sahidah  ;   Penulis buku Izutsu (2014), Dosen Universitas Utara Malaysia
JAWA POS, 30 Juli 2014
                                                            


RAMADAN telah usai. Catatan yang mungkin perlu digenggam adalah pemahaman buku pedoman agar semangat Ramadan tidak hilang, mengingat kitab suci yang pertama turun dalam bulan tersebut. Lalu, bagaimana membaca kembali kitab suci pada era baru?

Betapa pun para ahli akan merujuk pada tafsir standar yang ditulis para ulama terdahulu, kehadiran pengkaji bukan Muslim kadang perlu ditimbang. Mereka tidak saja menepis pandangan bahwa orang luar dengan sendirinya berpandangan sumir terhadap kitab suci. Memang, mesti diakui, begitu banyak sarjana orientalis yang berusaha mengungkap kelemahan Alquran secara ’’ilmiah’’. Jangankan menjernihkan makna, sarjana Barat tersebut hanya meneruskan kehendak imperialisme melalui pengetahuan.

Di sinilah kehadiran Toshihiko Izutsu, seorang sarjana terkemuka Jepang, menjadi penting. Berbeda dengan para orientalis yang mempunyai agenda tersembunyi, yaitu kehendak dominasi dan konfrontasi, Izutsu secara simpatik telah mendudukkan kitab suci sebagai wahyu Tuhan, bukan halusinasi yang dialami Nabi Muhammad sebagaimana dituduhkan beberapa sarjana Barat. Izutsu benar-benar menggambarkan apa yang diungkapkan Ziauddin Sardar bahwa dia telah berhasil menghentikan langkah imperialisme sarjana Eropa dengan menyatakan bahwa hermeneutik sebagai tradisi Injil tidak bisa digunakan untuk menafsirkan Alquran.

Daya Ungkap Diri

Mungkinkah Alquran menyampaikan makna dengan teksnya sendiri? Izutsu menukas jelas bahwa kitab suci mungkin dipahami dengan merujuk pada ayatnya seraya menggunakan pendekatan semantik. Hakikatnya, pendekatan itu tidak menafikan tradisi ilmu-ilmu Alquran. Sejauh ini analisis tersebut digunakan untuk mengomunikasikan pesan kitab suci dengan pembaca umum yang terbiasa dengan cara berpikir pembaca (komunikan), yang terbiasa dengan strategi berpikir analitis, yang identik dengan tradisi berpikir Barat. Jelas, dengan serampang dua mata, Izutsu menyadari pentingnya tradisi Islam dan pada waktu yang sama menggunakan warisan filsafat Barat untuk meyakinkan pembaca.

Sebagaimana diungkapkan dalam salah satu karya terbaiknya, God and Man in the Qur’an: Semantics of Quranic Weltanschauung, sarjana Jepang itu merumuskan pembacaan kitab suci sebagai berikut: Untuk memahami sebuah konsep, misalnya Islam, pembaca mesti memulai pencarian kata atau istilah kunci. Dari situ, kita bisa mengungkap makna dasar, lalu dilanjutkan dengan relasional. Tentu, sebuah kata bisa dipahami secara utuh dalam kaitannya dengan kata-kata lain yang menjelaskannya atau disebut medan semantik. Betapa pun makna telah diraih, bagaimanapun kata itu mengandaikan maksud yang khas karena berada dalam situasi dan kondisi sosial serta psikologis tertentu (Weltanchauung). Di sinilah, syair Arab menjadi penting karena sebuah arti kata bisa ditinjau secara sinkronis dan diakronis yang menggambarkan pandangan dunia Arab dan Alquran, baik semasa dan pasca pewahyuannya.

Akhirnya, dari kerja analisis semantik tersebut, pembaca kitab suci akan memperoleh pesan utama. Ia merupakan kerja linguistik yang mengandaikan penghubungan antara kata kunci dan medan semantik di ayat lain. Hal yang sama dengan tradisi ilmu Alquran, munasabah ayat bil ayat. Pendek kata, ada kesamaan cara kerja untuk mendapatkan makna dalam kitab suci. Malahan, Nasr Abu Zayd yang dianggap sarjana liberal mengandaikan bahwa Ulumul Quran masih memadai untuk menafsirkan Alquran. Namun, pembahasan baru memungkinkan pesannya lebih mungkin disampaikan pada khalayak pada masa kini.



Tuhan, Manusia, dan Alam

Ketika Izutsu menulis hubungan Tuhan dengan manusia dalam Alquran, tema itu mengandaikan isu utama dari keseluruhan kitab suci. Dengan mengurai hubungan keduanya, persoalan kemanusiaan akan menemukan pijakan yang kukuh untuk diteliti dan dicermati. Sebagaimana diungkapkan dalam God and Man in the Qur’an, hubungan khaliq dan makhluk bermatra empat, ontologi, komunikatif, tuan-hamba, dan etika. Tentu, di sini saya tidak akan mengurai semua dimensi tersebut, tetapi menumpukan pada isu etika. Namun, setiap dimensi mengandaikan hubungan yang tunggal karena hakikat pandangan dunia Alquran bersifat teosentris.

Dengan jelas Izutsu menegaskan, terdapat tiga kategori etika yang berbeda dalam Alquran. Yaitu, terkait dengan sifat Tuhan, aspek fundamental hubungan Tuhan dengan manusia, dan terakhir prinsip-prinsip serta aturan-aturan tingkah laku yang menjadi milik dan hidup dalam masyarakat Islam (2004: 18). Implikasi akhlak manusia pada Tuhan terwujud antara sesama manusia dengan seperangkat prinsip moral beserta semua kata turunannya. Akhirnya, peraturan itu menjadi etika sosial yang selanjutnya dalam zaman pasca Alquran dikembangkan menjadi sistem hukum Islam berskala besar. Dari sini, Izutsu berpandangan bahwa Islam tidak hanya berkutat pada masalah etik, tetapi juga praktik. Undang-Undang Islam menjadi mungkin.

Lebih jauh, cara pandang Izutsu terhadap sebuah konsep menarik ditimbang. Misalnya, pengertian kafir yang sering digunakan segelintir orang menghardik musuhnya dan digunakan sebagai legitimasi untuk melakukan kekerasan. Pada mulanya, kafir bermakna tidak berterima kasih, lalu bergeser menjadi tidak beriman. Lagi-lagi, ia tidak hanya berkaitan dengan ketidakpercayaan kepada Tuhan semata-mata. Namun, ia terkait dengan sikap manusia yang menolak sekeras-kerasnya untuk berserah diri kepada Allah. Akibatnya, mereka menghabiskan waktu dengan bersenda gurau dan bermain, tertawa, serta riang gembira sehingga melupakan akhirat.

Dari pengertian kafir tersebut, jelas label itu tidak hanya ditujukan kepada orang yang bukan Islam, tetapi juga muslim itu sendiri. Betapa penyerahan diri kepada Tuhan mendorong hamba untuk tidak leka sehingga membuat orang tidak beriman. Jadi, pengingkaran pada Khaliq bukan semata-mata penafsiran kewujudannya, tetapi sikap abai terhadap kehidupan akhirat. Tentu saja, akhirat tidak hanya dipahami sebagai ’’alam lain’’ semata-mata, tetapi sebuah keadaan pesona duniawi yang tidak membuat manusia lupa pada hakikat eksistensinya, hamba Tuhan dan penjaga bumi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar