Proliferasi
NIIS
Zuhairi Misrawi ; Ketua Middle East Institute
|
KOMPAS,
06 Agustus 2014
MUNCULNYA video di Youtube berisi sejumlah WNI yang terlibat
gerakan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS)/Negara Islam Irak dan Suriah
(NIIS) mengundang perhatian publik. Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin
menyebut NIIS sebagai gerakan yang harus ditangani serius oleh pemerintah
karena ideologi yang diusung bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, Negara
Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika. Sikap Menteri Agama
mendapat dukungan kuat dari publik dalam rangka menyelamatkan negeri ini dari
para pembajak nilai-nilai luhur Pancasila yang sudah mendarah daging dalam
sanubari warga.
Kesigapan pemerintah dalam menyikap fenomena NIIS perlu
diapresiasi sekaligus disikapi secara kritis. Kita patut memberikan apresiasi
karena terkuaknya sejumlah orang yang terlibat dalam NIIS langsung mendapat
respons. Namun, ada yang patut disikapi kritis karena Kementerian Komunikasi
dan Informatika tidak langsung mengambil tindakan atas beredarnya video NIIS
di Youtube.
Kementerian ini berdalih, karena belum ada laporan dari
masyarakat, video tersebut tidak bisa ditarik dari peredaran. Muncul anggapan
bahwa Kementerian Komunikasi dan Informatika tak punya sensitivitas atas
gerakan NIIS. Oleh karena itu, pemerintah terbilang lamban dalam membaca dan
menganalisis dimensi geopolitik, terutama terkait maraknya gerakan
transnasional di negeri ini. Pemerintah terkesan sebagai pemadam api
kebakaran ekstremisme daripada menanamkan nilai-nilai kemanusiaan dan
kebangsaan. Radikalisasi Pancasila telah gagal dan digantikan radikalisasi
fundamentalisme agama.
Fenomena NIIS
Sebagai sebuah gerakan, NIIS sudah lama menjadi bahan
perbincangan publik internasional. Sejak berdiri pada 2013, NIIS langsung
menjadi kelompok yang kontroversial di dunia Arab dan dunia Barat. Pasalnya,
NIIS menjelma sebagai gerakan politik yang solid dan punya sokongan dana yang
kuat. Eksistensi NIIS ditengarai lebih berbahaya daripada jaringan
internasional Al Qaeda karena mereka mempunyai ”tanah air” dan basis yang
punya legitimasi politik. NIIS hadir pada momentum yang tepat, saat
negara-negara Arab sedang mengalami transisi demokrasi akibat angin kencang
revolusi.
Sebagaimana dikenal dalam tesis ”jebakan demokrasi”, NIIS
menyelinap dalam suasana transisi demokrasi yang tidak mulus, terutama di
Irak dan Suriah. Mereka telah menjadikan kedua negara itu sebagai
laboratorium untuk mengukuhkan ideologi kekerasan dengan mengatasnamakan
”Negara Islam”. Berbekal persenjataan modern dan pasukan militer yang solid,
NIIS menguasai beberapa wilayah di Irak dan Suriah. Dengan dana yang
berlimpah, mereka mulai memperluas jaringannya di dunia Islam lain, termasuk
di Indonesia.
Tak sulit bagi NIIS mendapat pengikut karena sel-sel radikalisme
dan ekstremisme selalu hidup di dunia Islam. Bahkan, para pengikut NIIS
banyak dari kalangan Muslim yang bermukim di Barat. Mereka rela berjuang
untuk mendirikan negara Islam.
Ada banyak argumentasi yang digunakan untuk menjustifikasi
gerakan NIIS, di antaranya, imperialisme dunia Barat atas dunia Islam, baik
aspek politik maupun ekonomi. Invasi Israel terhadap warga Palestina di Jalur
Gaza dan Tepi Barat menjadi alasan utama di balik proliferasi NIIS di dunia
Islam. NIIS menganggap demokrasi
sebagai sistem ala Barat yang dapat melemahkan umat Islam.
Faktanya, demokrasi justru lebih menguntungkan dunia Barat
daripada dunia Islam sendiri karena para elite politiknya kerap tunduk pada
tekanan Barat daripada tekanan rakyatnya sendiri. Apalagi, demokrasi di dunia
Arab kerap melahirkan otoritarianisme yang membuat rakyat mulai apatis dan
frustrasi terhadap demokrasi.
Jadi, menguatnya kembali ideologi ”Negara Islam” di dunia Arab
dan dunia Islam lainnya terkait faktor ketidakadilan global dan ketidakadilan
sosial yang menjerat mereka. NIIS hadir pada saat tatanan transisi demokrasi
belum menemukan bentuk terbaiknya di Irak dan Suriah.
Keberhasilan mereka menguasai beberapa wilayah di Irak dan
Suriah telah memacu spirit mereka untuk melakukan perekrutan dan pengaderan
di sejumlah negara-negara Arab dan negara yang mayoritas penduduknya Muslim,
seperti Indonesia.
Tantangan
Meskipun NIIS mulai mendapat sambutan positif dari para
simpatisannya dengan maraknya pihak-pihak yang mau berbaiat, masa depan NIIS
tidak akan cerah. Pertama, NIIS mendapat resistensi yang kuat dari publik.
Penampilan NIIS yang kerap menebarkan teror dan kekerasan terhadap minoritas
serta merampok fasilitas publik telah menimbulkan ketakutan dan trauma yang
amat mendalam.
NIIS dianggap akan mendirikan ”Negara Islam”, tetapi sama sekali
tidak mencerminkan nilai-nilai luhur Islam yang menjunjung tinggi kedamaian,
keadilan, dan kemanusiaan.
Kedua, NIIS menjadi musuh utama negara yang berdaulat. NIIS
ingin membangun ”negara” dalam negara. Mereka hanya bisa bertahan di dalam
sebuah negara yang sedang mengalami guncangan politik, seperti Irak dan
Suriah. Namun, dalam sebuah negara yang relatif stabil, NIIS akan menjadi
bulan-bulanan.
Kemunculan NIIS di negeri ini menjadi contoh terbaik, bagaimana
publik dan pemerintah bersatu padu menentang eksistensi NIIS. Artinya, di
bumi Pancasila, NIIS akan menjadi gerakan yang kering kerontang karena
mendapat respons negatif dari mayoritas publik.
Ketiga, NIIS sebagai sebuah gerakan sangat bergantung pada figur
dan penyokong dana. Kini, mereka masih punya figur yang relatif kuat, Abu
Bakar al-Baghdadi, dan sokongan dana dari negara-negara Teluk. Namun, ketika
NIIS diidentifikasi sebagai ”musuh bersama”, tak bisa dipastikan lagi mereka
akan mempunyai sumber dana yang kuat. Apalagi, setelah ”khalifah” mereka
tiada, gerakan mereka akan mengalami degradasi, sebagaimana dialami Al Qaeda
setelah Osama bin Laden tewas.
Pelajaran berharga dari terkuaknya jaringan NIIS di negeri ini
adalah pemerintah dan masyarakat mesti mempunyai kewaspadaan yang ekstra
untuk memoderasi paham-paham ekstremis dan radikal melalui dialog,
pendidikan, dan pengentasan ekonomi. Radikalisasi Pancasila perlu ditanamkan
sejak dini di sekolah-sekolah dan dijadikan sebagai ”nilai yang hidup” (living value). Tidak hanya dihafalkan,
tetapi juga diamalkan dalam laku hidup sehari-hari. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar