Presidennya
Petani
Sjamsoe’oed Sadjad ;
Guru Besar Emeritus
Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
|
KOMPAS,
19 Agustus 2014
PETANI sebagai bagian dari
warga bangsa ini sepantasnya menyambut presiden terpilih hasil pemilihan
presiden dengan penuh harapan di hati. Tidak ada salahnya petani sebagai
pengelola profesi pertanian ingin dapat mengucap, ”Presiden baru pilihan
rakyat adalah ’presidennya petani’.”
Bukan saja karena suka blusukan
dan tampak merakyat, melainkan juga karena dapat benar-benar menjiwai budaya
tani. Ini berarti bukan asal memiliki program swasembada pangan yang berarti
lebih berorientasi pada makanan pokok, yaitu beras, melainkan benar-benar
membawa kesejahteraan yang sudah lama diidam-idamkan para petani.
Swasembada pangan tentu saja
bukan hanya merupakan proyek kabinet baru. Mantan Presiden Soeharto telah
membina petani dengan berbagai upaya teknis dan untuk sementara Orde Baru
berhasil menjadikan negara berswasembada beras, dengan berbagai pujian kepada
petani sebagai ”pahlawan swasembada”.
Sejak zaman kolonial Belanda
pun, petani dibina untuk menghasilkan produk pertanian, khususnya tanaman
pangan, agar produksinya meningkat.
Sepertinya upaya swasembada
otomatis dapat menyejahterakan petani. Namun, kenyataannya sampai saat ini
pun Badan Pusat Statistik masih mengeluarkan hasil analisisnya bahwa taraf
kemiskinan bangsa ini masih memprihatinkan, terutama di kalangan pedesaan
yang mayoritasnya petani. Dengan lain kata, pertanian masih merupakan profesi
yang menjadi sumber kemiskinan.
Fenomena ini juga diperkuat
dengan fakta berkurangnya masyarakat muda di pedesaan yang berminat berkarya
di bidang produksi tanaman pangan. Bagi mereka, lebih baik mencari sumber
penghidupan ke luar desa dan meninggalkan lapangan pekerjaan yang ditekuni
orangtua bergelut dengan lumpur persawahan.
Begitu pula tidak sedikit ibu
tani yang meninggalkan desa melepas milik secuil lahan pertanian warisan
nenek moyang untuk pengurusan biaya ke luar negeri dengan harapan bisa
bekerja sebagai TKI.
Mereka meyakini bekerja di luar
negeri, meski hanya jadi pekerja rumah tangga, akan mendapatkan upah yang
lebih besar dibandingkan dengan bekerja sebagai petani.
Tragedi tropis
Semua yang dikemukakan di atas
menjadi tragedi yang sangat tragis bagi profesi di sektor pertanian karena
negeri tropis dengan matahari yang bersinar sepanjang tahun seharusnya
menjadi negara agraris yang makmur sejahtera.
Semoga kondisi demikian itu
tidak mengecilkan semangat presiden baru yang akan datang, bahkan bisa
memenuhi harapan petani yang saya tulis dengan kata ”bombastis”, ”presidennya
petani”.
Presiden baru nanti tidak cukup
kalau hanya dengan pemikiran menaikkan produktivitas petani karena berpegang
pada relevansi jumlah produksi dengan kesejahteraan.
Pemikiran demikian hanya
berpegang pada penyelesaian di hulu. Padahal, banyak relevansi terjadi justru
di hilir. Untuk ini petani memang memerlukan permodalan. Dengan demikian,
presidennya petani akan mengembangkan sektor perbankan untuk kepentingan
petani.
Saat ini, masyarakat selalu
merisaukan kita banyak impor bahan baku pertanian. Hal demikian saya rasa
tidak perlu karena dalam kondisi pasar terbuka bebas memang kita tidak bisa
menolak membanjirnya produk-produk global. Yang bisa kita lakukan adalah
menguatkan daya saing para petani kita.
Selain itu, kalau bahan baku
yang diimpor itu bisa dikaitkan dengan industrialisasi pedesaan, hal itu
mungkin justru menguntungkan petani.
Petani bisa menjadi peserta
dalam proses industri kuliner modern yang target produksinya untuk ekspor.
Petani kita bisa berperan, baik sebagai penyuplai bahan baku maupun sebagai
anggota pemilik saham dalam industri itu.
Begitu juga misalnya bisa
didirikan industri lain di pedesaan yang produknya untuk ekspor dengan bahan
baku produk pertanian kita.
Apa salahnya di sawah-sawah
petani yang sampai saat ini sepertinya hanya diarahkan untuk menyejahterakan
petani, dengan kenaikan produksi padinya, bisa juga ditanami tanaman
obat-obatan di musim kering. Industri biofarma bisa berdiri di pedesaan
dengan petani sebagai penyuplai bahan baku yang lebih menguntungkan daripada
menanam padi gadu.
Tidak apalah kalau kabinet
presidennya petani mengimpor beras, jagung, kedelai, karena petani akan
terdorong lebih berpikir pragmatis dalam pengelolaan lahan pertaniannya.
Berpikir dari hilir ke hulu demikian memang memerlukan perubahan budaya di
masyarakat yang bersifat menyeluruh.
Tulisan ini pun sekadar
mengolah pikir yang barangkali siapa tahu merangsang para calon presiden
untuk lebih memikirkan pembangunan pertanian untuk masa depan. Harapan saya
dalam tulisan ini semoga juga ada benarnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar