Rabu, 20 Agustus 2014

Presidennya Petani

                                                   Presidennya Petani

Sjamsoe’oed Sadjad  ;   Guru Besar Emeritus
Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
KOMPAS, 19 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

PETANI sebagai bagian dari warga bangsa ini sepantasnya menyambut presiden terpilih hasil pemilihan presiden dengan penuh harapan di hati. Tidak ada salahnya petani sebagai pengelola profesi pertanian ingin dapat mengucap, ”Presiden baru pilihan rakyat adalah ’presidennya petani’.”

Bukan saja karena suka blusukan dan tampak merakyat, melainkan juga karena dapat benar-benar menjiwai budaya tani. Ini berarti bukan asal memiliki program swasembada pangan yang berarti lebih berorientasi pada makanan pokok, yaitu beras, melainkan benar-benar membawa kesejahteraan yang sudah lama diidam-idamkan para petani.

Swasembada pangan tentu saja bukan hanya merupakan proyek kabinet baru. Mantan Presiden Soeharto telah membina petani dengan berbagai upaya teknis dan untuk sementara Orde Baru berhasil menjadikan negara berswasembada beras, dengan berbagai pujian kepada petani sebagai ”pahlawan swasembada”.
Sejak zaman kolonial Belanda pun, petani dibina untuk menghasilkan produk pertanian, khususnya tanaman pangan, agar produksinya meningkat.

Sepertinya upaya swasembada otomatis dapat menyejahterakan petani. Namun, kenyataannya sampai saat ini pun Badan Pusat Statistik masih mengeluarkan hasil analisisnya bahwa taraf kemiskinan bangsa ini masih memprihatinkan, terutama di kalangan pedesaan yang mayoritasnya petani. Dengan lain kata, pertanian masih merupakan profesi yang menjadi sumber kemiskinan.

Fenomena ini juga diperkuat dengan fakta berkurangnya masyarakat muda di pedesaan yang berminat berkarya di bidang produksi tanaman pangan. Bagi mereka, lebih baik mencari sumber penghidupan ke luar desa dan meninggalkan lapangan pekerjaan yang ditekuni orangtua bergelut dengan lumpur persawahan.
Begitu pula tidak sedikit ibu tani yang meninggalkan desa melepas milik secuil lahan pertanian warisan nenek moyang untuk pengurusan biaya ke luar negeri dengan harapan bisa bekerja sebagai TKI.

Mereka meyakini bekerja di luar negeri, meski hanya jadi pekerja rumah tangga, akan mendapatkan upah yang lebih besar dibandingkan dengan bekerja sebagai petani.

Tragedi tropis

Semua yang dikemukakan di atas menjadi tragedi yang sangat tragis bagi profesi di sektor pertanian karena negeri tropis dengan matahari yang bersinar sepanjang tahun seharusnya menjadi negara agraris yang makmur sejahtera.

Semoga kondisi demikian itu tidak mengecilkan semangat presiden baru yang akan datang, bahkan bisa memenuhi harapan petani yang saya tulis dengan kata ”bombastis”, ”presidennya petani”.

Presiden baru nanti tidak cukup kalau hanya dengan pemikiran menaikkan produktivitas petani karena berpegang pada relevansi jumlah produksi dengan kesejahteraan.

Pemikiran demikian hanya berpegang pada penyelesaian di hulu. Padahal, banyak relevansi terjadi justru di hilir. Untuk ini petani memang memerlukan permodalan. Dengan demikian, presidennya petani akan mengembangkan sektor perbankan untuk kepentingan petani.

Saat ini, masyarakat selalu merisaukan kita banyak impor bahan baku pertanian. Hal demikian saya rasa tidak perlu karena dalam kondisi pasar terbuka bebas memang kita tidak bisa menolak membanjirnya produk-produk global. Yang bisa kita lakukan adalah menguatkan daya saing para petani kita.

Selain itu, kalau bahan baku yang diimpor itu bisa dikaitkan dengan industrialisasi pedesaan, hal itu mungkin justru menguntungkan petani.

Petani bisa menjadi peserta dalam proses industri kuliner modern yang target produksinya untuk ekspor. Petani kita bisa berperan, baik sebagai penyuplai bahan baku maupun sebagai anggota pemilik saham dalam industri itu.

Begitu juga misalnya bisa didirikan industri lain di pedesaan yang produknya untuk ekspor dengan bahan baku produk pertanian kita.

Apa salahnya di sawah-sawah petani yang sampai saat ini sepertinya hanya diarahkan untuk menyejahterakan petani, dengan kenaikan produksi padinya, bisa juga ditanami tanaman obat-obatan di musim kering. Industri biofarma bisa berdiri di pedesaan dengan petani sebagai penyuplai bahan baku yang lebih menguntungkan daripada menanam padi gadu.

Tidak apalah kalau kabinet presidennya petani mengimpor beras, jagung, kedelai, karena petani akan terdorong lebih berpikir pragmatis dalam pengelolaan lahan pertaniannya. Berpikir dari hilir ke hulu demikian memang memerlukan perubahan budaya di masyarakat yang bersifat menyeluruh.

Tulisan ini pun sekadar mengolah pikir yang barangkali siapa tahu merangsang para calon presiden untuk lebih memikirkan pembangunan pertanian untuk masa depan. Harapan saya dalam tulisan ini semoga juga ada benarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar