Presiden
Baru
M Subhan SD ;
Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
02 Agustus 2014
KETIKA
”musuhnya” yaitu Ibnu Makhluf meninggal, Ibnu Taimiyah (1263-1328) justru
bersedih. Padahal, sang murid, Ibnu Qoyyim (1292-1350), begitu girang
menyampaikan kabar kematian itu kepada Ibnu Taimiyah, sang guru. Sebab,
selama ini, tokoh yang meninggal ini termasuk yang memfitnah dan menzalimi
Ibnu Taimiyah. Karena perbuatan ”musuhnya” ini, Ibnu Taimiyah mendekam di
dalam penjara di Damaskus. Mendapati kegirangan muridnya menyampaikan kabar
kematian itu, sang guru malah menghardik muridnya. Bagi Ibnu Taimiyah,
kematian seorang ”musuh” bukanlah suatu kegembiraan.
Pemikir
politik yang menulis buku as-Siyasah
asy-Syar’iyyah itu malah berduka. Pemimpin pasukan yang ikut berperang
melawan agresi tentara Tartar itu pun melayat ke rumah duka, bertemu keluarga
Ibnu Makhluf. Bahkan, di depan istri dan anak-anak ”musuhnya” itu, Ibnu
Taimiyah mengatakan siap membantu keluarga itu. Tokoh besar itu kira-kira
berucap begini, ”Sekarang ini saya seperti bapak bagi Anda sekalian. Jikalau
kalian membutuhkan sesuatu, saya berusaha memenuhinya.”
Begitulah
Ibnu Taimiyah. Walaupun hidupnya menderita akibat fitnah, Ibnu Taimiyah tidak
pernah menyimpan dendam kepada orang yang menzaliminya. Jiwa besar Ibnu
Taimiyah melampaui emosi, amarah, dengki, dan penyakit hati lainnya.
Ibnu
Taimiyah menjadi contoh terbaik saat kita berada pada Idul Fitri 1435
Hijriah, yang hari ini (Sabtu, 2 Agustus 2014) adalah hari keenam bulan
Syawal. Pesan Idul Fitri itu adalah memaafkan, membersihkan hati, dan
membuang jauh-jauh dendam kesumat.
Tahun
ini, pesan Idul Fitri begitu sarat makna. Bukan saja secara personal, tetapi
juga terutama secara politik. Sebab, pemilu presiden (pilpres) yang digelar
pada 9 Juli 2014, tepat pada Ramadhan tahun ini, telah membelah masyarakat
secara diametral. Dua pasangan calon presiden dan wakil presiden, Prabowo
Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla, seperti menggambarkan dua
kutub keterbelahan itu. Kampanye hitam, isu, fitnah, sepertinya tak
menghormati lagi kemuliaan bulan Ramadhan. Sayangnya, pasca pilpres pun,
ketika real count KPU sudah diumumkan, amarah dan emosi sepertinya tak lantas
sirna.
Seperti
sama-sama kita ketahui hasil rekapitulasi suara yang dilakukan KPU, pasangan
Jokowi-JK meraih 70.997.833 suara (53,15 persen), sedangkan Prabowo-Hatta
meraih 62.576.444 suara (46,85 persen). Hasil real count KPU itu mirip dengan
quick count delapan lembaga survei
yang kredibel, seperti SMRC, Indikator Politik Indonesia, Lingkaran Survei
Indonesia, RRI, Litbang Kompas, Poltracking Institute, CSIS-Cyrus, dan Populi
Center, yang memenangkan pasangan Jokowi-JK. Hasil rekapitulasi KPU itu
menjawab semua keraguan terhadap hasil hitung cepat tersebut.
Namun,
ada empat lembaga survei yang menyebut pasangan Prabowo-Hatta unggul, yaitu
Puskaptis, Jaringan Suara Indonesia, Lembaga Survei Nasional, dan Indonesia
Research Centre. Belakangan pasca hasil KPU, ada lembaga survei yang mengakui
kesalahan dalam survei mereka. Hasil KPU juga menjadi pembuktian bahwa
kebenaran ilmu (metode survei) tidak perlu disangsikan. Hanya mereka yang
mempunyai kepentingan tertentu yang menolak ilmu pengetahuan. Mereka yang
waktu itu tidak percaya hasil quick count meminta agar menunggu hasil real
count yang dilakukan KPU.
Meskipun
demikian, seperti kita saksikan bersama-sama, saat hasil real count KPU
dilakukan, 22 Juli 2014, juga tetap tidak dipercaya. Pilpres dinilai ada
kecurangan secara masif, sistematis, dan terstruktur. Kemenangan Jokowi-JK
pun tertahan. Pada akhirnya, pasangan Prabowo-Hatta, yang sebelumnya menarik
diri dari proses penghitungan suara yang dilakukan KPU, kemudian mendaftarkan
gugatan sengketa hasil pilpres ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Jumat (25/7)
pekan lalu. Tanggal 6 Agustus mendatang, MK akan menggelar sidang.
Harapannya,
gugatan ke MK bukanlah dilandasi syahwat ingin berkuasa, tetapi lebih untuk
menguji suatu kebenaran. Kekuasaan sebagai presiden atau pemimpin bangsa
sejatinya adalah pelayan rakyat. Bukan ingin disanjung-sanjung, tetapi justru
dia yang menggendong rakyatnya.
Tidak turuti hawa nafsu
Saya
teringat surat-surat politik Ali bin Abi Thalib (599-661), khalifah keempat
dari zaman Khulafaur Rasyidin. Surat tersebut ditujukan kepada Muhammad Ibnu
Abu Bakar, yang baru saja diangkat sebagai Gubernur Mesir. Sepenggal surat
Ali itu tertulis, ”Rendahkanlah diri
Anda. Hadapilah umat (rakyat) dengan ramah. Temuilah mereka dengan wajah
berseri-seri. Berlakulah adil di antara mereka dalam segala hal, … dan
orang-orang miskin tidak menderita atau putus asa terhadap keadilan Anda….
Ketahuhilah Muhammad Ibnu Abu Bakar, bahwa aku telah memberi Anda kekuasaan
untuk memerintah atas penduduk Mesir. Karenanya, Anda dituntut untuk tidak
menuruti hawa nafsu….”
Kekuasaan
bukanlah segala-galanya. Pemegang kuasa justru bertindak berdasarkan mandat
yang diberikan rakyat, bukan kemauannya sendiri. Pakar politik Harold
Lasswell (1902-1978) dan filsuf Abraham Kaplan (1918-1993) menyatakan,
kekuasaan adalah suatu hubungan di mana seseorang atau sekelompok orang dapat
menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain agar sesuai dengan tujuan
dari pihak pertama. Dalam bahasa mereka, kekuasaan adalah bentuk partisipasi
dalam membuat keputusan. Paksaan atau kekerasan bukanlah cara demokrasi.
Kita
berharap presiden baru periode 2014-2019 benar-benar mau mengurus rakyat,
menanggalkan kepentingan pribadi, kelompok, atau koalisi. Kita membutuhkan
presiden yang bekerja tulus untuk membawa bangsa ini maju. Kita juga
membutuhkan pemimpin yang tegas untuk membersihkan daki-daki kotor bangsa
ini. Namun, ketegasan tidak ada kaitannya dengan bentuk fisik, apalagi dengan
teriakan lantang, tangan mengepal, atau pidato berapi-api. Ketegasan, menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, bermakna, ”kejelasan, kepastian, keterangan
yang jelas (pasti)”. Dan, MK menjadi pembuktian terhadap kebenaran akan
presiden pilihan rakyat. Presiden yang menang tentunya tidak perlu jemawa. Pihak yang kalah juga mesti
legawa. Ibnu Taimiyah telah memberikan contoh. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar