Penentuan Presiden di
Tangan Mahkamah Konstitusi
W Riawan Tjandra ;
Pengajar Hukum Kenegaraan
Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta
|
KORAN
SINDO, 18 Agustus 2014
Tahapan pilpres di negeri ini saat ini sudah memasuki fase
persengketaan hasil pilpres di MK, sebuah fase yang memang disediakan oleh
konstitusi yang dalam banyak teori hukum ketatanegaraan disebut sebagai fase
yudisialisasi politik (political
judicialization). Fase tersebut pranata demokrasi konstitusional yang
disediakan untuk memberikan penentuan akhir di tangan para hakim konstitusi
yang sering disebut sebagai para penjaga konstitusi (the guardians of the constitution) mengenai hasil penghitungan
suara pilpres yang benar sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 24C ayat (1) UUD
Negara RI 1945 dan Pasal 77 ayat (3) UU Nomor 24 Tahun 2003 jo UU Nomor 8
Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi. Perlawanan kubu Prabowo-Hatta di aras
politik dikanalisasi melalui saluran hukum dalam persidangan MK.
Publik bisa melihat dalam persidangan di MK, yang disiarkan
secara luas baik oleh media elektronik maupun cetak, kualitas pembuktian
dalildalil sengketa pilpres yang diajukan pemohon (Prabowo-Hatta), termohon
(KPU), dan pihak terkait (pasangan Jokowi-JK). Dalam pengajuan permohonan
pemeriksaan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) terkait pelaksanaan
pilpres, Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 4 Tahun 2014 telah
menegaskan dua syarat yang harus dipenuhi oleh pemohon PHPU (pasangan capres)
agar mampu menunjukkan: (1) Ada indikasi kesalahan hasil penghitungan
perolehan suara yang diumumkan KPU secara nasional dan (2) hasil penghitungan
suara yang benar versi pemohon.
Dua hal itulah yang harus menjadi substansi dari permohonan
pihak pemohon dengan didukung bukti-bukti yang dalam ranah yuridis mampu
menguatkan permohonan tersebut. Di titik inilah sebenarnya pemeriksaan PHPU
di MK akan mengerucutkan isu hukum yang disengketakan menjadi beberapa hal
yang menurut pendapat Steven Huefner (2010) meliputi: fraud (kecurangan), mistake
(kekhilafan oleh petugas pemilu), non-fraudulent
misconduct (tindakan yang bukan kecurangan dalam pemilu, namun menurunkan
kredibilitas hasil pemilu), dan extrinsic
events (faktor-faktor alamiah di luar kemampuan manusiawi penyelenggara
pemilu).
Seluruh isu hukum tersebut dapat berujung pada kesalahan hasil
penghitungan suara dalam pilpres. Namun, kesalahan penghitungan suara
tersebut juga belum tentu berdampak signifikan yang memengaruhi hasil akhir
suara yang diperoleh para pasangan capres.
Mandat konstitusional yang diberikan kepada MK untuk memeriksa
PHPU berlandaskan prinsip kebenaran materiil pada hakikatnya memberikan
kewenangan yang komprehensif kepada para hakim di MK untuk bisa menguji
secara menyeluruh faktor-faktor yang menjadi penyebab perbedaan pendapat
antara pemohon dan KPU sebagai termohon mengenai hasil penghitungan suara
pilpres yang telah digelar. Masalah hukum yang sering mengiringi
persengketaan PHPU seringkali sangat kompleks bisa terjadi karena tindak
pidana pemilu, pelanggaran administrasi pemilu, maupun profesionalitas
institusi penyelenggara pilpres.
Sehubungan dengan hal tersebut, sejak putusan MK No
062/PHPU-B-II/ 2004 yang merupakan putusan terhadap permohonan PHPU oleh
pasangan capres pada 2004, MK tak sekadar menggunakan konsiderasi kuantitatif
(kebenaran jumlah hasil suara pilpres) terkait pemeriksaan PHPU, namun juga
menggunakan nalar/konsiderasi kualitatif dalam pemeriksaan PHPU. Artinya, MK
juga memasuki ranah konstitusionalitas hasil pilpres dalam menilai hasil
pilpres berdasarkan prinsip-prinsip pelaksanaan pilpres yang digariskan oleh
Pasal 22E ayat (1) dan (5) UUD Negara RI 1945.
Pada intinya MK mengukur kualitas pelaksanaan pilpres
berdasarkan prinsip-prinsip pemilu yang harus dilaksanakan secara langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber dan jurdil) dengan menilai
bukti-bukti yang diajukan para pihak di persidangan. Bukti-bukti yang
diajukan di persidangan MK cukup banyak yangterdiriatastujuhmacamalat bukti
dan secara garis besar bisa diklasifikasikan atas bukti-bukti tertulis (documentary evidences) dan bukti-bukti
lisan (oral evidences). Pemeriksaan
itu dibatasi harus selesai diputus oleh MK melalui sidang pleno yang bersifat
terbuka dalam waktu paling lambat 14 hari sejak permohonan perkara
didaftarkan di MK.
Perhatian publik kini terfokus pada persidangan di MK. MK
memiliki tanggung jawab ketatanegaraan untuk memberikan solusi hukum secara
adil atas PHPU yang dimohonkan oleh kubu Prabowo-Hatta mengenai dugaan ada
pelanggaran asas-asas pemilu dalam pelaksanaan pilpres. Upaya untuk
membuktikan validitas dalildalil pemohon, termohon, maupun pihak terkait akan
berimplikasi terhadap keberlanjutan proses demokrasi di negeri ini.
Hasil akhir pilpres yang diputuskan MK harus diterima sebagai
kebenaran hukum yang mengikat terhadap siapa pun warga negara yang mengaku
dirinya tunduk di bawah konstitusi. Itulah prasyarat fundamental jika negara
ini masih ingin disebut sebagai negara hukum atas siapa pun yang ”ditentukan”
oleh MK sebagai presiden ketujuh republik ini.
Apa pun yang menjadi latar belakang sengketa pilpres di MK itu
harus menjadi pembelajaran demokrasi bagi semua pihak, khususnya presiden
yang ditentukan oleh putusan MK, bahwa beratnya prosedur demokrasi untuk
menduduki kursi RI 1 saat ini semoga bisa diikuti dengan tekad yang
sungguhsungguh bagi pasangan presiden terpilih untuk mengabdikan tahta RI 1
untuk kesejahteraan rakyatnya, bukan hanya untuk kesejahteraan segelintir
orang yang berkerumun di sekitar sang presiden.
Presiden terpilih harus memulai rekonsiliasi nasional karena
selisih suara yang tak signifikan dalam skala nasional memberi sinyal
perlunya format demokrasi baru yang bersifat kolaboratif dan bisa merangkul
semua unsur di republik ini yang sempat terbelah semasa pilpres (divided nation). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar