Rabu, 06 Agustus 2014

Momentum Reformasi Riset

Momentum Reformasi Riset

Heru Susanto  ;   Guru Besar Universitas Diponegoro, Semarang;
Pengajar di Jurusan Teknik Kimia, Universitas Diponegoro
KOMPAS, 05 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

TERPILIHNYA presiden-wakil presiden baru, Jokowi-JK, bisa menjadi momentum reformasi riset. Riset berperan penting menentukan keunggulan kompetitif dan pertumbuhan ekonomi suatu bangsa karena kompetisi global tidak lagi berbasis sumber daya alam, melainkan ilmu pengetahuan.

Meski dalam debat yang bertema ”Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek)” tidak tampak adanya terobosan baru untuk meningkatkan efektivitas dan kemanfaatan riset di Indonesia, pemerintahan baru diharapkan terbuka menerima berbagai masukan untuk mereformasi riset. 

Ada beberapa hal yang dapat diadopsi ke depan. 

Pertama, peningkatan efektivitas tata kelola riset Indonesia. Saat ini, banyak lembaga, baik di bawah kementerian maupun non-kementerian, yang mengelola riset, antara lain Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Riset dan Teknologi, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertanian, dan litbang-litbang di bawah kementerian lain. Ironisnya banyaknya lembaga pengelola riset ini tidak diikuti sistem database yang terintegrasi.

Efektivitas pengelolaan

Semangat lembaga-lembaga riset memang membanggakan, tetapi efektivitas pengelolaannya belum tampak. Yang ada tumpang tindih pengelolaan, baik dalam penentuan tema penelitian, jenis penelitian, maupun skema penelitian antarlembaga pengelola riset. Juga tidak tampak adanya peta jalan (road map) pengembangan tema-tema penelitian yang menunjang pembangunan bangsa. Mereka lebih berperan sebagai ”panitia seleksi” proposal-proposal penelitian kompetitif.

Cara paling mudah mengelola riset adalah dengan ”meng-copy-paste” negara-negara yang berhasil, seperti Amerika dengan National Science Foundation (NSF) ataupun negara-negara yang kondisi awalnya tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Sebut saja Tiongkok dengan National Natural Science Foundation of China (NSFC), Korea dengan The National Research Foundation of Korea (NRF), dan Iran dengan Iran National Science Foundation (INSF). Contoh yang baik bagi Indonesia mungkin Spanyol, yang pada tahun 1989 membentuk Comisión Nacional de Evaluación de la Actividad Investigadora (National Commission for the Evaluation of Research Activity, CNEAI).

Keberhasilan Spanyol dalam riset setelah pembentukan komisi ini dapat dilihat dengan jelas, yaitu Spanyol menempati urutan ke-9 dunia dalam produktivitas saintifik (www.scimagojr.com). Secara umum dapat disimpulkan bahwa untuk meningkatkan kualitas riset perlu tata kelola terintegrasi dengan membentuk Lembaga Riset Nasional yang mengintegrasikan semua lembaga pengelola riset.
Lembaga Riset Nasional bertugas mengevaluasi pengelolaan riset saat ini dan selanjutnya menangani perencanaan, pengelolaan, pembentukan dan perluasan jaringan riset, serta pembiayaan riset dalam berbagai bidang ilmu. Dengan demikian, lembaga tersebut bertanggung jawab menyusun peta jalan, penentuan indikator, dan target keberhasilan.

Anggaran riset

Anggaran adalah salah satu urat nadi pengembangan riset. Negara-negara dengan kualitas riset baik mengeluarkan biaya riset dan pengembangan di atas 1 persen dari GDP. Sebagai contoh Malaysia dan Tiongkok berturut-turut 1,01 persen dan 1,81 persen dari GDP, sedangkan Indonesia masih berkisar 0,08 persen (Data Bank Dunia).

Selain anggaran riset, hal krusial lain yang perlu disiapkan adalah kapasitas SDM. Anggaran riset yang tidak didukung kualitas peneliti menghasilkan penelitian dengan kemanfaatan rendah. Rendahnya kualitas SDM dapat dilihat dari minimnya jumlah peneliti. Dosen berkualifikasi pendidikan doktor masih di bawah 10 persen dari jumlah keseluruhan dosen.

Peningkatan kapasitas SDM dapat dilakukan dengan mendorong para peneliti melanjutkan studi ke program doktor, penyediaan program-program postdoctoral, sabbatical, dan perluasan kerja sama riset. Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah ”memanggil” peneliti-peneliti Indonesia di luar negeri untuk pulang dengan jaminan kesejahteraan dan dukungan infrastruktur riset.

Sebuah penelitian merupakan proses panjang yang harus dijalankan dengan jujur, benar, dan mengikuti tahapan-tahapan ilmiah yang berlaku. Tentu semua orang setuju bahwa pada akhirnya suatu penelitian harus dapat diaplikasikan. Namun, riset-riset dasar di laboratorium sebagai landasan pengembangan, proses peningkatan kapasitas, dan seterusnya merupakan tahapan yang tidak boleh dihindari.

Perlu dipahami bahwa produk penelitian bukan hanya teknologi atau ilmu yang dapat diaplikasikan, melainkan juga publikasi karya ilmiah, paten, buku, ataupun pengembangan sumber daya manusia. Semua produk riset tersebut harus dikembangkan secara bersama-sama karena merupakan komponen-komponen yang tidak dapat dipisahkan untuk pengembangan iptek yang berkelanjutan.

Dalam hal produktivitas karya ilmiah yang dipublikasikan pada jurnal internasional bereputasi, Indonesia masih menempati urutan keempat di Asia Tenggara setelah Malaysia, Singapura, dan Thailand. Secara khusus, produktivitas karya ilmiah internasional Indonesia dibandingkan dengan Malaysia adalah 1:7.

Manajemen anggaran

Salah satu problem yang dihadapi peneliti Indonesia adalah manajemen anggaran. Ini sebenarnya problem klasik, tetapi belum terpecahkan. Penganggaran riset masih mengikuti pola APBN, dengan mekanisme pencairan dan pembelajaran yang tidak sesuai dengan karakteristik penelitian.

Mekanisme APBN menyebabkan pencairan dana penelitian untuk tahun anggaran tertentu selalu dilakukan di tengah tahun anggaran atau paling cepat di kuartal pertama. Sementara proses pelaporan penelitian harus dilakukan tepat waktu. Hal ini jelas berdampak pada kualitas penelitian.

Pembiayaan penelitian sering juga disamakan dengan mekanisme pengadaan barang dan jasa. Dalam hal ini, peneliti sering diposisikan sebagai pihak penyedia barang atau jasa yang harus memberikan dana talangan terlebih dulu jika ingin menjalankan penelitian. Lebih lanjut, peneliti lebih disibukkan dengan pembuatan SPJ keuangan yang sangat rumit.

Singkatnya, fungsi-fungsi riset sering termarjinalkan oleh manajemen anggaran. Sudah saatnya pemimpin negeri ini menentukan manajemen anggaran tersendiri untuk kegiatan penelitian agar produktivitas yang akuntabel dapat dicapai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar