Sabtu, 23 Agustus 2014

Mereka yang Punya Kuasa

                                        Mereka yang Punya Kuasa

Dicky Pelupessy  ;   Dosen dan Mantan Ketua Pusat Krisis Fakultas Psikologi UI, Kandidat Doktor dalam Psikologi Komunitas di Victoria University Melbourne, Australia
KORAN SINDO, 22 Agustus 2014
                                                            
                                                                                                                                   

Dalam beberapa bulan belakangan ini pemilu, baik pemilu legislatif maupun pemilu presiden, sejatinya menyajikan perlombaan memperoleh kuasa (power).

Saat pemilu legislatif, para caleg dari partai-partai politik peserta pemilu bersaing untuk memperoleh kuasa dengan menjadi anggota DPRD atau DPR. Saat pemilu presiden, para capres dan cawapres bersaing untuk memperoleh kuasa dengan menjadi presiden dan wakil presiden. Baik saat pemilu legislatif maupun pemilu presiden, berbagai macam cara ditempuh para caleg dan capres dan cawapres untuk memenangkan persaingan.

Ada yang menggunakan cara-cara yang baik dan sesuai aturan, namun ada pula yang menggunakan cara-cara yang tidak baik dan tidak sesuai aturan. Semua cara yang dilakukan—apa pun itu—tertuju pada satu hal, yaitu kuasa. Karena soal kuasa ini pulalah, di salah satu partai politik yaitu Partai Golkar terjadi keributan. Keributan terjadi tatkala Partai Golkar melakukan pemecatan terhadap beberapa kadernya yang dianggap melakukan pembangkangan dengan mendukung Jokowi-JK dalam pemilu presiden. Akibat keputusan pemecatan tersebut, kaderkader yang dipecat melakukan perlawanan.

Dalam perlawanannya, tiga kader yang dipecat: Poempida Hidayatullah, Agus Gumiwang, dan Nusron Wahid berencana untuk menggugat Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie ke Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tata Usaha Negara. Ada yang menyesakkan dalam rencana gugatan tersebut, yaitu gugatan sebesar Rp1 triliun yang apabila dimenangi akan diserahkan kepada korban lumpur Lapindo. Menyesakkan karena secara tiba-tiba korban lumpur Lapindo dijadikan agenda. Namun dengan menggunakan akal sehat, kita tahu bahwa korban lumpur Lapindo sebatas sedang dijadikan permainan politis.

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membahas Partai Golkar dan ketiga individu kader Partai Golkar yang dipecat. Tulisan ini dimaksudkan untuk membahas kuasa dan mereka yang memiliki kuasa vis-à-vis mereka yang kurang kuasa (powerless) berkaca pada kasus rencana gugatan Rp1 triliun.

Wujud Kuasa

Ada banyak definisi dari kuasa di dalam khasanah ilmu sosial. Isaac Prilleltensky (2008), seorang psikolog komunitas terkemuka, mengemukakan bahwa kuasa merujuk pada kemampuan dan kesempatan yang dimiliki orang atau sekelompok orang untuk memenuhi kebutuhan personal, relasional, dan kolektifnya. Artinya, orang yang memiliki kuasa adalah orang yang memiliki kemampuan dan kesempatan untuk mewujudkan apa yang dibutuhkannya secara individual dan bersama orang lain.

Dengan kata lain, Prilleltensky menegaskan bahwa kuasa memberikan kesempatan kepada orang atau sekelompok orang untuk mendatangkan apa yang baik bagi dirinya atau diri mereka dan bagi bersama orang lain. Namun demikian, kuasa tidak selalu sama dengan membawa kebaikan. Kuasa pun bisa mendatangkan penderitaan karena kuasa memiliki tiga wujud yang berbeda, yaitu kuasa untuk melakukan penindasan (power to oppress), kuasa untuk menciptakan kesejahteraan (power to promote wellness), dan kuasa untuk melawan penindasan dan memperjuangkan pembebasan (power to resist oppression and strive for liberation).

Dalam kasus rencana gugatan Rp1 triliun di atas, korban lumpur Lapindo tidak lebih sebagai mereka yang tidak punya kuasa di hadapan mereka yang punya kuasa– Partai Golkar dan ketiga kader di atas. Cukup mudah membedakan mana yang punya kuasa: Partai Golkar yang pernah berkuasa lama, runner-up dalam pemilu legislatif 2014, dan satu dari ketiga orang di atas adalah peraih suara terbanyak di Partai Golkar dalam Pemilu Legislatif 2014; dan mana yang tidak punya kuasa: korban lumpur Lapindo (digarisbawahi: korban).

Dan, korban lumpur Lapindo saat ini sedang dipermainkan. Korban lumpur Lapindo dapat diibaratkan sebagai balon yang baru ditiup dan kemudian dilempar ke sana kemari dijadikan mainan oleh sekelompok politisi. Saat mereka yang punya kuasa masih bersekutu, kita tidak pernah mendengar ada rencana untuk mengumpulkan dan menyumbangkan uang gugatan sebesar Rp1 triliun untuk korban lumpur Lapindo. Baru saat terjadi perselisihan di antara merekalah, kita mendengar ada rencana memberikan uang hingga sebesar Rp1 triliun kepada korban lumpur Lapindo.

Rencana itu pun sekadar keinginan, bukan kemauan yang tulus untuk memperjuangkan korban lumpur Lapindo. Rencana itu terkesan hanya untuk mencari perhatian. Agenda pokok gugatan Rp1 triliun adalah tentang memenangkan kuasa di antara mereka yang punya kuasa. Mereka yang punya kuasa sedang mempertontonkan kepada publik bahwa mereka menggunakan kuasa untuk menghadapi satu sama lain dengan memanfaatkan mereka yang tidak punya kuasa.

Mereka yang punya kuasa tidak lebih sedang menunjukkan penindasan atas mereka yang tidak punya kuasa. Dan, penindasan itu bersembunyi di balik pernyataan bernada menunjukkan simpati kepada korban. Mereka yang punya kuasa tidak sedang dalam upaya serius menciptakan kesejahteraan dan memperjuangkan pembebasan bagi mereka yang nirkuasa. Menurut Nietzsche (1968), kuasa adalah kapasitas untuk mendefinisikan realitas. Kuasa menjadikan suatu kondisi terlegitimasi saat menjadikannya nyata dan bermoral.

Kasus rencana gugatan sebesar Rp1 triliun amat jelas menunjukkan kapan saat korban lumpur Lapindo dianggap sebagai realitas dan bukan realitas itu sendiri. Korban lumpur Lapindo didefinisikan sebagai realitas yang patut diperhatikan, disuarakan, dan dibantu hanya saat mereka yang punya kuasa melihatnya penting bagi kepentingannya. Dan kepentingan mereka tak lain dan tak bukan adalah kuasa itu sendiri. Kepentingan korban, yaitu mendapat perlindungan, pemulihan, dan keadilan, bukanlah kepentingan utama para pemilik kuasa yang sedang bertikai.

Korban lumpur Lapindo menjadi korban sudah sejak lama, sedangkan pertikaian para pemilik kuasa itu baru-baru ini saja terjadi. Atas dasar moral apakah korban lumpur Lapindo, baru sekarang menjadi realitas yang penting? Atas dasar moral kemanusiaan atau politik kuasakah? Pertanyaan berikutnya: sampai kapankah korban lumpur Lapindo akan dimanfaatkan sebagai permainan politik, wahai politisi? Wallahu a’lam….  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar