Sabtu, 23 Agustus 2014

Memaknai Kemerdekaan dan Kesejahteraan

             Memaknai Kemerdekaan dan Kesejahteraan

Imaduddin Abdullah  ;   Peneliti
pada Institute for Development of Economics and Finance (Indef)
MEDIA INDONESIA, 19 Agustus 2014


                                                                                                                                   

PADA Agustus 1945, para pendiri Indonesia membentuk pemerintah negara Indonesia dengan janji untuk memajukan kesejahteraan umum. Janji tersebut telah 69 tahun berlalu disematkan kepada pemerintah dan bangsa Indonesia sebagai penerima hadiah kemerdekaan untuk dapat memenuhinya. Selama bertahun-tahun, pemerintah menerjemahkan makna kesejahteraan umum dengan berbagai indikator ekonomi seperti pertumbuhan ekonomi, besaran produk domestik bruto (PDB), dan tingkat kemiskinan.

Tidak mengherankan jika setiap tahun presiden selalu melaporkan perkembangan indikator tersebut serta target dalam satu tahun ke depan di setiap ritual pembacaan nota keuangan. Pemerintah selalu berbangga bahwa kesejahteraan masyarakat Indonesia terus meningkat yang dapat di lihat dari pertumbuhan ekonomi beberapa tahun terakhir dan turunnya angka kemiskinan. Namun, kita patut untuk bertanya apakah memang berbagai indikator tersebut sudah cukup untuk menggambarkan situasi kesejahteraan di Indonesia saat ini?

Memang selama ini, perdebatan mengenai indikator ekonomi mana yang paling dapat menggambarkan kondisi kesejahteraan masyarakat di suatu daerah selalu menghiasi ruang diskusi baik di kalangan akademisi ataupun di kalangan praktisi pembangunan. Selama bertahun-tahun, pertumbuhan PDB selalu dijadikan sebagai patokan dalam memotret pembangunan suatu daerah, sedangkan standar hidup masyarakat ditentukan dari PDB per kapita (Thirlwall, 2008).

Dalam konteks kemiskinan, biaya hidup minimal menjadi standar menentukan garis kemiskinan untuk mengukur jumlah penduduk miskin. Penggunaan indikator seperti itu ditujukan untuk dapat membandingkan seberapa besar peningkatan kesejahteraan masyarakat sebagai tujuan pembangunan sekaligus untuk membandingkan prestasi pembangunan negara lain. Persoalannya, Indonesia menggunakan garis kemiskinan rata-rata hanya sekitar Rp260 ribu per bulan, sedangkan standar internasional menggunakan US$2 per hari.

Di samping terdapat perbedaan penggunaan indikator kuantitatif tersebut, banyak kalangan mengkritisi penggunaan indikator itu. Amartya Sen, seorang ekonom asal India yang juga peraih Nobel Ekonomi 1998, mengkritik indikator moneter tidak cukup untuk menggambarkan kondisi kesejahteraan suatu daerah. Sen menilai mengukur kesejahteraan hanya menggunakan indikator moneter seperti tingkat pendapatan tidak akan mampu menggambarkan kondisi kesejahteraan sesungguhnya.

Betul bahwa tingkat pendapatan merupakan salah satu indikator penting, tetapi indikator bukanlah sebuah tujuan, melainkan sekadar alat untuk mencapai tujuan utama yaitu kebebasan. Pembangunan, menurut Sen, merupakan proses untuk memperluas kebebasan sehingga kemiskinan tidak hanya diu kur dari pendapatan yang rendah, tetapi juga dilihat dari absennya kapabilitas dasar manusia. Tidak adanya kapabilitas dasar dari manusia dapat tergambar dalam berbagai hal seperti kematian prematur, minimnya pendidikan, dan kekurangan gizi (Sen, 1999).

Pemikiran Amartya Sen itu mendorong disusunnya indeks pembangunan manu sia (IPM) oleh UNDP, sebuah badan di bawah naungan PBB.Sejak 1990, UNDP mengeluarkan laporan mengenai IPM dari negara-negara di dunia.Indikator IPM itu dianggap sebagai sebuah alternatif dari indikator konvensional seperti PDB per kapita dalam mengukur tingkat pembangunan dan kesejahteraan.

Lantas, bagaimana situasi kesejahteraan di Indonesia jika menggunakan indikator yang dikeluarkan UNDP? Berdasarkan laporan UNDP yang dikeluarkan akhir Juli 2014, Indonesia memiliki nilai IPM sebesar 0,684 dan berada di posisi 108 dari 287 negara.Posisi Indonesia masih tertinggal jika dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN dan rata-rata negara Asia Timur dan Pasifik. Lebih dari itu, sejak 2000, IPM di Indonesia berada di bawah rata-rata kategori medium human development. Padahal, pada 1995, IPM Indonesia masih di atas rata-rata kategori tersebut. Walaupun IPM Indonesia terus meningkat, peningkatannya tidak secepat negaranegara lain di dunia sehingga secara peringkat Indonesia sulit untuk menembus peringkat 100 besar dunia.

Peran aktif negara

Menilik masih rendahnya nilai IPM Indonesia, maka diperlukan berbagai langkah untuk mengatasi ketertinggalan tersebut. Dalam konteks ini, dibutuhkan goodwill dan peran pemerintah yang konkret, aktif, dan kuat. Pentingnya peran pemerintah yang aktif juga diakui UNDP. Pada laporan 2013, UNDP menyatakan negara pembangunan yang aktif ialah penggerak utama dalam pembangunan manusia di suatu negara.

Negara perlu hadir untuk memastikan bahwa kebutuhan manusia yang dasar seperti kesehatan dan pendidikan dapat dinikmati seluruh lapisan masyarakat. Negara yang berkomitmen pada pembangunan yang berorientasi pada manusia harus memiliki strategi yang jelas dalam pembangunan manusia jangka panjang dan birokrasi yang kompeten. Dua hal itu tidak terlihat dari pemerintah kita saat ini. 

Tidaklah ada artinya jika pemerintah selalu membanggakan anggaran pendidikan 20% dari belanja negara jika uang tersebut justru habis untuk belanja rutin dan tidak dibelanjakan untuk investasi pendidikan akibat nihilnya strategi jangka panjang dan rendahnya kompetensi birokrat di Indonesia.

Selain itu, peran negara yang kuat dibutuhkan dalam menguatkan institusi di dalam negeri. Lemahnya institusi formal memiliki kecenderungan untuk memberikan ruang terhadap terbentuknya kelompok-kelompok yang bermain dalam aktivitas ilegal seperti jaringan koruptor. Jika itu terjadi, yang akan menjadi korban ialah kelompok miskin dan pembangunan manusia di Indonesia.

Namun, di atas itu semua, satu hal yang perlu diingat ialah IPM merupakan sebuah indikator yang perubahannya memerlukan waktu yang panjang, berbeda dengan pertumbuhan ekonomi yang perubahannya dapat dilihat dalam jangka pendek.Oleh sebab itu, ini menjadi tantangan bagi pemerintah selanjutnya untuk terus konsisten dalam mengeluarkan kebijakan yang berorientasi pada pembangunan manusia sehingga pada akhirnya janji kemerdekaan untuk memajukan kesejahteraan umum dapat terbayarkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar