ISIS
dan Hidden Politik
Suhardi ;
Alumni Pasca Sarjana UKM
Malaysia
|
HALUAN,
13 Agustus 2014
Islamic State of Iraq and Syiria (
ISIS), atau ad-Daulah al-Islamiyah
fil-‘Iraq was-Syam (Da’isy), menjadi fenomena dalam pemberitaan media
akhir-akhir ini. Tak terkecuali media dalam negeri. Bermula dari karikatur
yang dimuat harian The
Jakarta Post yang
mendapat kecaman dari berbagai pihak. Yang pada akhirnya membuat harian
berbahasa Inggris tersebut meminta maaf pada umat Islam. Puncaknya adalah
beredarnya di Youtube video WNI berdurasi
delapan menit yang mengajak umat Islam untuk bergabung dalam kelompok ISIS.
Beragam pendapat muncul di
masyarakat menanggapi pergerakan yang dipimpin oleh Abu Bakr al-Baghdadi,
yang telah mendeklarasikan berdirinya Daulah Islamiyah. Marak dan masifnya
pemberitaan media mainstream dunia dan Indonesia telah menjadikan ISIS
menjadi begitu terkenal di dunia.
Padahal ISIS dulunya
adalah organisasi pecahan al-Qaeda yang tidak punya nama. Bahkan sekarang Abu
Bakr al-Baghdadi dilihat lebih berbahaya di banding Osama bin Laden. Dalam
konteks politik global yang sarat dengan power-play dan power-struggle ada indikasi hidden agenda dengan
munculnya ISIS.
Pertama,
Adanya kepentingan penguasa dunia saat ini yakni Amerika dan sekutunya
dalam konflik Timur Tengah. Untuk menjamin stabilitas kepentingannya di
lakukan berbagai upaya dan strategi. Di antaranya menggunakan teori modern condottieri dimana menggunakan
pasukan bayaran yang tidak terikat pada instansi pemerintah. Hal ini lebih
menguntungkan dalam mewujudkan agenda politiknya karena lebih mudah dan
murah. Dalam perspektif Jon Hobson (1902) aktivitas itu sebagai bentuk
Imperialisme Klasik. Apalagi penempatan tentara Amerika Serikat di Irak
dilihat gagal bahkan menelan biaya yang tidak sedikit.
Anggaran Amerika banyak
tersedot untuk biaya perang yang tidak menguntungkan. Bahkan menurut
Catherine Lutz Profesor dari Brown University bahwa biaya perang AS pasca 11
September 2001 telah menghabiskan dana 3,5 sampai 4 Triliun Dollar.
Pengalaman gagal itu membuat Amerika harus memilih second opinion dalam memelihara
kepentingannya di negara-negara Timur Tengah. Organisasi pejuang bayaran ini
dipelihara dan disuplai dengan dana yang besar. Informasi ini diperkuat oleh
keterangan Edward Snowden mantan pegawai National of Security of
America (NSA)
badan intelijen AS yang menyebutkan ISIS adalah binaan Intelijen Amerika,
Inggris dan Israel. Ini berbanding lurus dengan program AS yang disebut
dengan Millenium
Challenge Account (
MCA) yang memberi bantuan kepada negara yang di anggap lemah yang diluncurkan
pada maret 2002.
Kedua,
menciptakan imej bahwa Islam identik dengan teroris. Dalam bahasa Ketua Bidang
Luar Negeri PP Pemuda Muhammadiyah Teguh Santosa, ISIS adalah teror gaya
baru yang dikembangkan pihak-pihak anti-Islam, yang ingin mendapatkan
keuntungan dari distabilisasi kawasan Timur Tengah. Penggunaan pejuang lokal
yang semula ciptaan dan binaan Amerika dan sekutunya telah sulit
dikendalikan. Akhirnya membuat organisasi itu harus di musuhi seperti juga
terjadi pada Taliban di Afghanistan. ISIS yang awalnya adalah “anak kandungnya”
telah dilihat membangkang dan mengganggu kepentingannya harus menjadi
musuh.
Keberadaan itu juga dijadikanhidden agenda politik globalnya
dalam membuat negara-negara terutama Timur Tengah untuk menunjukkan
bahwa kedudukan mereka terancam. Satu-satunya penyelamat mereka
adalah Amerika. Jelas menjadikan Amerika sekutu dan pelindung tidak gratis.
Ibarat kata Milton Friedman tak ada makan siang gratis alias no free lunch.
Artinya harus ada komitmen yang menguntungkan Amerika dan pihak-pihak yang
berkepentingan.
Ketiga,
menjadikan umat Islam bingung dan berpecah belah. Kondisi ini terlihat adanya
polarisasi antara pro kontra di masyarakat tentang keberadaan ISIS. Gejalanya
sudah bisa dilihat dengan beredarnya video ajakan bergabung dengan ISIS.
Kondisi ini berimplikasi terhadap keutuhan Indonesia. Pada dimensi lain umat
Islam terkadang begitu mudah berpecah belah, juga mudah dipantik
sentimen agamanya. Padahal kasus ISIS adalah peristiwa politik. Yang didalamnya
sarat dengan kepentingan yang pelik dan rumit. Agama hanyalah sebagai trigger atau pemicu, pivotal factor (akar masalahnya)
adalah ekonomi dan politik. Dalam Teori politik Soekarno ini bisa disebut
sebagai imperialisme pecah belah. Untuk mencegahnya harus dilakukan kontra
imperialisme dengan menekankan pentingnya persatuan dan kesatuan bangsa.
Keempat,
menjadikan ISIS sebagai stempel untuk menekan umat Islam. Dalam percaturan
politik isu menjadi penting dan berguna. Siapa yang bisa mengolah isu dengan
baik, ia akan menjadi senjata yang ampuh dalam mewujudkan agenda-agenda
politiknya. Sehingga memunculkan kekhawatiran dikalangan organisasi Islam.
Karena bisa saja ISIS bagian dari operasi manipulasi psikologis
terhadap umat Islam. Yang bertujuan membuat Islam menjadi terbelakang dengan
konflik berkepanjangan. Oleh karena itu ISIS harus dilihat dengan objektif
tanpa tendensi apapun. Sangat relevan dan urgen kita menilik masa lalu bangsa
ini yang telah banyak meninggalkan luka akibat saling tuduh dengan stempel
berbeda.
Maraknya pemberitaan dan
penyebaran ISIS membuat pemerintah harus segera menemukan solusi agar
ideologi radikal ini tidak menjadi bom waktu yang akan merusak persatuan dan
kesatuan bangsa. Usaha itu sudah terlihat, mulai dari Presiden, Menteri,
pihak keamanan bahkan terakhir Majelis Ulama Indonesia telah menyampaikan
bahwa ISIS adalah gerakan yang radikal yang tidak sesuai dengan ajaran Islam
yang rahmatan
lil ‘alamin. Dalam pandangan Komaruddin Hidayat, ISIS
adalah romantis dan utopis tapi tidak realistis.
Cara-cara kekerasan dalam
menggapai tujuan yang dilakukan ISIS bukan hakekat ajaran Islam. Dan tidak
sesuai dengan Indonesia yang telah selesai menjelaskan hubungan agama dan
negara lewat common
platformnya Pancasila. Walaupun demikian kita juga
berharap jangan sampai keberadaan ISIS ini menjadi pendapat dengan pemerintah
dicap ISIS. Bila ini terjadi maka tercapailah hidden politik asing dalam
memecah belah bangsa ini. Semoga saja dengan pengalaman bangsa dan masyarakat
Indonesia, apapun ideologi yang merusak persatuan dan kesatuan bangsa tidak
akan mendapat tempat di hati masyarakat. Tentu dengan penanganan yang bijak
tanpa ada pula hidden agenda
politik dari penguasa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar