Idul
Fitri dalam Filsafat Waktu
Satrio Wahono ;
Alumnus Magister Filsafat
UI
|
JAWA
POS, 30 Juli 2014
TANPA
terasa kita sudah merayakan Idul Fitri atau Lebaran. Namun, di tengah suasana
perayaan 1 Syawal ini, mulai berbelanja sampai kegiatan mudik, sebenarnya ada
hikmah filosofis terkait waktu yang acap terlupa.
Sebagaimana
diyakini semua kaum muslimin, agama Islam diturunkan sebagai tuntunan untuk
menyempurnakan kehidupan manusia. Maka, puasa yang berpuncak pada Idul Fitri
termasuk salah satu ibadah yang mengandung panduan luhur untuk membimbing
manusia menjadi insan kamil (manusia paripurna).
Filsafat Waktu
Ditinjau
dari perspektif waktu, perjalanan manusia dalam rangkaian ibadah puasa
sejatinya terbagi menjadi tiga fase waktu: pagi, siang, dan malam. Atau lebih
spesifik lagi, ibadah berpuasa itu sendiri, kemenangan Idul Fitri, dan
pasca-Idul Fitri. Tak kurang Alquran juga mengakui tiga fase penggalan waktu
ini dalam tiga surat di juz terakhir Alquran yang akrab disebut Juz ’Amma.
Pertama,
surat Al Fajr (Pagi). Jika fase puasa disepadankan dengan pagi, ayat 4-5
dalam surat Al Fajr cukup relevan untuk kita renungkan. Yakni, ”tetapi
manusia apabila Tuhannya mengujinya, yakni dengan memberinya kemuliaan dan
kenikmatan, maka ia pun berkata, ’Tuhan memuliakan aku.’ Tetapi apabila
Tuhannya mengujinya, yakni dengan menyempitkan (rezekinya), maka ia pun
berkata ’Tuhanku menghinakan aku.’” Dua ayat surat Pagi itu menyampaikan
watak dasar manusia yang hanya berbaik sangka kepada Tuhan di saat senang,
tapi berburuk sangka kepada Tuhan kala kesempitan.
Dari
perspektif ini, ibadah puasa yang memberikan kesempitan dan kepayahan fisik
–tidak makan dan minum– seakan mengajak manusia berbaik sangka, bahkan
bergembira, bahwa keadaan sempit itu sebenarnya merupakan sebuah instrumen
yang diberikan Allah untuk memuliakan manusia asalkan manusia menjalani
ibadah tersebut dengan konsisten dan khusyuk. Kemuliaan inilah yang dalam
ayat 27 surat yang sama disebut wahai jiwa yang tenang. Fase puasa jadinya
merupakan ibadah di mana manusia berpayah-payah menanggung cobaan demi
mengangkat derajatnya sebagai makhluk berjiwa tenang.
Kedua,
Adh Dhuha (Pertengahan Hari atau Siang). Jika fase pertama di atas dilalui
dengan sukses, menyusullah fase kedua, Idul Fitri. Ayat 5–11 surat ini
mengatakan, ”Dan sungguh kesudahan itu lebih baik bagimu daripada permulaan.
Dan sungguh kelak Tuhanmu akan memberikan karunia-Nya kepadamu, maka kamu
menjadi puas. Bukankah dia mendapatimu dalam keadaan yatim, lalu dia
menunjukimu. Dan Dia mendapatimu dalam keadaan bingung, lalu dia menunjukimu.
Dan dia mendapatimu dalam keadaan miskin, lalu Dia mencukupimu. Karena itu,
terhadap anak yatim janganlah kautindas. Dan terhadap orang-orang
meminta-minta janganlah kauhardik. Dan terhadap nikmat Tuhanmu ceritakanlah
dengan bersyukur.” Artinya, fase siang atau Idul Fitri adalah titik final
yang seyogianya membuat manusia yang berpuasa menjadi lebih baik daripada
sebelum ia berpuasa. Pada hari kemenangan itu, manusia diharapkan menjadi
juara yang penuh kebijaksanaan karena telah mendapatkan petunjuk Tuhan.
Juga,
manusia diharapkan sudah mendapatkan nilai-nilai luhur yang terwujud dalam
ketetapan sikap untuk mengatasi masalah-masalah konkret seperti kemiskinan
(peminta-minta) dan ketiadaan keteladanan (anak yatim yang tidak memiliki
ayah). Fase ini boleh dibilang hanya menginjak tahap pembentukan komitmen
karena ayat-ayat dalam surat Adh Dhuha baru sebatas negasi (penolakan)
terhadap keadaan yang ingin diubah –ditandai dengan kata jangan. Kebulatan
komitmen berkata tidak pada keadaan yang buruk inilah kriteria bagi manusia
yang berpuasa untuk layak merasakan fase ”siang” kemenangan dan pantas
menyandang predikat makhluk yang bersyukur.
Ketiga,
Al Lail (Malam). Secara logis, kebulatan sikap harus diikuti aksi konkret
untuk mengatasi permasalahan riil secara berkesinambungan dan sistematis.
Masuklah kemudian kita pada fase ketiga, yaitu fase sesudah Idul Fitri alias
fase malam. Dalam fase ini manusia tidak boleh berhenti pada merayakan
kemenangan dan mencanangkan tekad semata. Yang lebih penting adalah
pertanyaan: tindakan nyata apa yang bisa kita perbuat sepanjang sebelas bulan
ke depan sebelum kita berjumpa kembali dengan bulan Ramadan berikutnya?
Surat
Al Lail memberikan jawabannya pada ayat 5–7, ”Akan halnya orang-orang yang
mendermakan hartanya di jalan Allah dan bertakwa. Dan membenarkan kebaikan.
Maka akan kami lapangkan dia kepada jalan yang mudah.” Dalam surat ini, kita
bisa lihat perubahan dari sikap pasif fase ”siang’ yang sekadar menegasikan
menjadi amal aktif, seperti mendermakan harta dan mendorong kebaikan. Pendek
kata, niat haruslah disertai amal untuk dapat membuat perubahan yang positif
pada diri sendiri dan pada lingkungan sekitar atau bahkan lingkungan yang
lebih luas lagi.
Dengan
begini, fase puasa, Idul Fitri, dan pasca-Idul Fitri menjadi satu rangkaian
proses yang benar-benar akan membantu manusia menjadi khalifah bumi yang
bijak dan mampu memelihara serta mewujudkan dunia yang senantiasa lebih baik
ke depan.
Akhirul
kalam, Idul Fitri seyogianya jangan berhenti pada tataran seremonial belaka:
baju baru, menyantap ketupat, wira-wiri ke sanak famili, dan sebagainya.
Sebaliknya, kita akan memetik manfaat lebih dengan memandang Idul Fitri
sebagai satu titik dalam rangkaian ibadah tiga fase waktu: cobaan, komitmen,
dan tindakan. Tujuannya, supaya manusia menjadi makhluk Allah yang lebih
baik, berempati, dan sigap dalam menghadapi berbagai masalah konkret. Selamat
Idul Fitri. Mohon maaf lahir dan batin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar