Rabu, 06 Agustus 2014

Buku K-13 dan Guru Kreatif

Buku K-13 dan Guru Kreatif

Susanto  ;   Instruktur Nasional K-13, Juara II guru prestasi Provinsi Jatim 2012
JAWA POS, 06 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

PIKIRAN-pikiran Mursyid Burhanuddin (MB) pada rubrik Opini Jawa Pos, Jumat (1/8), berjudul Pertaruhan Kurikulum Baru menarik dicermati. Intinya, MB menganalisis seputar pelaksanaan K-13 yang cenderung dipaksakan. Hal itu ditandai belum adanya buku untuk siswa karena masih bermasalah dengan percetakan, padahal buku tersebut digunakan untuk belajar siswa. Di samping itu, MB mengatakan bahwa K-13 sepertinya dipaksakan oleh pemerintah. Hal itu ditandai masih banyaknya guru yang belum paham K-13 dengan masih banyaknya yang didiklat guru implementasi K-13.

Berdasar kerangka berpikir MB tersebut, pertanyaannya adalah apakah buku itu mutlak ada dalam pelaksanaan K-13? Apakah tidak bisa digantikan yang lain? Siapa yang harus disalahkan? Apakah guru harus lebih kreatif dan inovatif?

Esensi Kurikulum

Kalau kita mau jujur, esensi kurikulum adalah sesuatu yang menuntut pemahaman yang jernih. Sebab, bagaimanapun esensi kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.

Lantas, bagaimana idealnya kurikulum bisa dikembangkan? Pertama, berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya.

Kedua, beragam dan terpadu. Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan keragaman karakteristik peserta didik, kondisi daerah, dan jenjang serta jenis pendidikan, tanpa membedakan agama, suku, budaya dan adat istiadat, serta status sosial ekonomi dan gender.

Jujur, ada hal yang spesifik bila kita merunut KTSP dan K-13 ini. KTSP lebih menekankan pada guru. Guru terlalu dominan. Sedangkan K-13 lebih memberikan pemahaman kepada peserta didik untuk berekspresi dalam memahami materi pelajaran berbasis teks. Dalam konteks yang demikian, K-13 dengan pendekatan 5 M (mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mengasosiasi, dan mengomunikasikan) sesuai dengan kebutuhan dan kondisi saat ini.

Buku Teks: Apakah Itu?                                                            

Dalam Oxford Learner’s Pocket Dictionary, ”Textbook: n (c) book giving instruction in a subject”. Buku teks pelajaran adalah buku yang memberikan instruksi atau perintah pada sebuah subjek. Bacon (dalam Henry Guntur Tarigan dan Djago Tarigan, 1986: 11) menyatakan bahwa buku teks pelajaran adalah buku yang dirancang, dipersiapkan, dan disusun oleh para pakar dalam bidangnya serta dilengkapi sarana pengajaran yang sesuai untuk digunakan di dalam kelas.

Sementara itu, berdasar Permendiknas Nomor 2 Tahun 2008, pasal 1: ”Buku teks pelajaran adalah buku acuan wajib untuk digunakan di satuan pendidikan dasar dan menengah atau perguruan tinggi yang memuat materi pembelajaran dalam rangka peningkatan keimanan, ketakwaan, akhlak mulia, dan kepribadian, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, peningkatan kepekaan dan kemampuan estetis, peningkatan kemampuan kinestetis dan kesehatan yang disusun berdasar standar nasional pendidikan.”

Pada dasarnya, buku teks pelajaran dapat berfungsi: 1) sebagai sumber pokok masalah atau subject matter yang akan dijadikan dasar bagi program-program kegiatan yang disarankan, 2) sebagai pencerminan sudut pandang mengenai pembelajaran serta aplikasinya dalam bahan pembelajaran yang disajikan, 3) sebagai bahan penyajian metode dan sarana pembelajaran, dan 4) sebagai sumber bahan evaluasi dan remedial atau perbaikan.

Guru yang Kreatif

Pertanyaannya, bagaimana keberadaan guru dalam K-13? Dalam konteks K-13, guru harus menjadi motivator dan pembimbing. Mengapa demikian? Sebab, karakteristiknya lebih berorientasi pada pengamatan yang dilakukan peserta didik sampai harus pada tataran mengomunikasikan, baik secara lisan maupun tulisan. Untuk itu, pertama, sudah saatnya guru selalu mengedepankan inovasi pembelajaran, khususnya dalam metode dan cara mengajarnya yang tertuang dalam RPP meski sampai saat ini buku dari Kemendikbud belum jadi. Dalam hal ini, guru bisa mengambil dari berbagai sumber, baik dari buku maupun internet. Jadi, apa yang dikatakan MB bahwa guru-guru belum paham K-13 itu salah besar. Saat mencari sumber bahan, bisa melihat silabus dan RPP yang telah dibuat. Nah, dalam tataran yang demikian, guru harus selalu mengubah diri dan gaya mengajarnya. Guru harus bisa merespons perkembangan dan mengembangkan metode pembelajaran yang inovatif, khususnya dalam menyiasati buku yang belum datang dari Kemendikbud.

Kedua, model pembelajaran yang disajikan tidak monoton, tetapi harus variatif. Dengan cara ini, pembelajar atau peserta didik dapat memperoleh sesuatu dengan cermat dan tidak membosankan. Saya sependapat dengan apa yang dikatakan Martha Kaufeldt (2008: 19–20) dalam bukunya yang berjudul: Wahai Para Guru, Ubahlah Cara mengajarmu. Risetnya memperlihatkan bahwa pengalaman belajar dengan metode yang jelas akan mempercepat pertumbuhan otak.

Sharp C. (2004) dalam bukunya, Developing Young Children’s Creativity: What Can We Learn from Research?, menjelaskan cara membentuk perilaku kreatif peserta didik. Beberapa di antaranya tugas yang tidak hanya memiliki satu jawaban benar; menoleransi jawaban yang nyeleneh; menekankan pada proses, bukan hanya hasil; memberanikan peserta didik untuk mencoba, menentukan sendiri yang kurang jelas/lengkap informasi, memiliki interpretasi sendiri terkait pengetahuan/kejadian, memberikan keseimbangan antara kegiatan terstruktur dan spontan/ekspresif. Memahami K-13 harus mengedepankan semangat memahami potensi diri peserta dengan segala kreativitasnya. Tentunya guru harus selalu menggunakan metode yang inovatif dalam pembelajarannya.

Lantas, bagaimana menyikapi hal tersebut? Syarat buku teks pelajaran yang baik paling tidak terdiri atas beberapa hal. Di antaranya, pertama, standar kelayakan bahasa. Kedua adalah keterbacaan. Menurut Thorndike dalam Calfee dan Drum (1984: 231), dapat diperoleh informasi bahwa keterbacaan sebuah buku teks pelajaran setidaknya akan dipengaruhi beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut adalah: a) disenangi atau tidaknya materi yang ada dalam buku, b) kosakata atau struktur kalimat.

Buku K-13 yang telah terstandar dan diterbitkan Kemendikbud tentu sudah memenuhi syarat. Di samping itu, buku tersebut paling tidak memuat beberapa hal penting bagi siswa. Terlebih lagi buku itu juga buku ”utama”. Untuk itu, guru, kepala sekolah, dan dinas pendidikan serta pemerintah selalu mengawal keberadaan buku teks yang berkualitas sesuai dengan perkembangan psikologis siswa. Sebab, bagaimanapun, buku teks yang berkualitas akan menjadi ’’gizi” bagi anak didik (siswa) yang nanti menjadi insan berkarakter kuat dan berkepribadian tangguh yang mampu menjawab problematika hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar