Jumat, 22 Agustus 2014

Belajar dari Kegagalan Bayar Argentina

                   Belajar dari Kegagalan Bayar Argentina

Paul Sutaryono   ;   Pengamat Perbankan, Mantan Assistant Vice President BNI dan Anggota Pengawas Yayasan Bina Swadaya
KORAN SINDO, 21 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

Argentina dinyatakan berstatus gagal bayar (default) oleh lembaga pemeringkat terkemuka Standard & Poors (S&P). Status itu mencuat di permukaan ketika Argentina menolak untuk membayar bunga utang lebih dari nilai yang seharusnya kepada kreditor internasional.

Pelajaran apa yang patut dipetik dari peristiwa yang menggegerkan pasar keuangan global itu? Keadaan tersebut berawal dari status default Argentina pada 2001, saat negara itu menyatakan tidak mau membayar bunga dan cicilan utang. Alasan Argentina saat itu, kreditor mengenakan bunga terlalu tinggi secara sepihak saat Argentina amat tidak berdaya. Argentina saat itu menolak utang-utang lama yang tidak masuk akal oleh pemerintah lama. Namun, Argentina kemudian menawarkan perundingan ulang atas utang-utangnya dengan para kreditor pada 2005. Total utang Argentina kini sekitar USD200 miliar.

Dari jumlah itu, USD30 miliar direstrukturisasi kembali. Dengan kata lain, ada bagian utang yang dirundingkan kembali dengan pembayaran yang lebih ringan, yakni untuk utang USD30 miliar. Dari USD30 miliar utang yang direstrukturisasi, persoalan terjadi pada total utang USD13 miliar. Akan tetapi, persoalan ini hanya terjadi pada sebuah perusahaan yang memberikan pinjaman kepada Argentina, Elliot Management Corp yang dipimpin Paul Singer dan beberapa rekan kreditor.

Pelajaran Berharga

Lantas, pelajaran berharga (lesson learned) apa yang layak dipetik? Pertama, meningkatkan kewaspadaan terhadap posisi utang luar negeri Indonesia. Mari kita cermati dulu pertumbuhan ekonomi nasional. Kita patut bersyukur lantaran ekonomi Indonesia tumbuh cukup tinggi, 5,12% per kuartal II 2014, meskipun menipis dari 5,21% per kuartal I 2014. Meskipun angka itu di bawah Nigeria 7,72%, Tiongkok 7,70%, Filipina 6,50% dan Singapura 5,50%, Indonesia jauh meninggalkan negara jiran di kawasan ASEAN: Malaysia 5,10% dan Thailand 0,60%.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia bahkan jauh di atas sebagian besar negaranegara BRICS, yakni Brasil 1,90%, Rusia2,00%, India4,70% dan Afrika Selatan 2,00%. Bukan hanya itu. Rasio utang Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) pun menggembirakan 23,10% di tengah rasio ideal 60%. Coba bandingkan dengan negara ASEAN Filipina 40,10%, Thailand 44,30%, Malaysia 53,10% dan Singapura 97,90%. Tengok pula rasio utang Brasil yang baru saja menyelenggarakan Piala Dunia 2014 65,10%, juga Rusia 8,40%, India67,57%, China26,00% dan Afrika Selatan 39,90%. Sejatinya, Argentina memiliki rasio yang baik 43,20%.

Bagaimana kondisi utang Indonesia saat ini? Utang luar negeri Indonesia mencapai USD283,7 miliar (setara dengan Rp3.319 triliun dengan kurs Rp11.700 per USD1) per Mei 2014. Jumlah itu naik 9,7% dibandingkan Mei 2013. Perhatikan, utang swasta sudah mencapai USD 151,5 miliar (Rp1.772 triliun) atau 53,4% dari utang luar negeri Indonesia. Inilah yang wajib diwaspadai pemerintah dan Bank Indonesia (BI). Karena itu, utang swasta wajib dibatasi dengan menerapkan rasio utang terhadap modal inti (debt to equity) misalnya 25%.

Rasio itu bertujuan final untuk memitigasi risiko gagal bayar seperti krisis 1998. Kedua, mengendalikan utang bank nasional. Jangan alpa bahwa ternyata yang memiliki utang itu bukan hanya bank nasional kelas bawah, tetapi juga kelas kakap. Saat ini, BI menerima permohonan utang luar negeri USD6 miliar (Rp 70,2 triliun) pada 2014 yang diajukan bank nasional. Utang itu untuk apa? Bukankah bank nasional telah menghimpun dana triliunan dari masyarakat (dana pihak ketiga/DPK)? Data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menunjukkan, DPK perbankan nasional mencapai Rp2.090 triliun per Mei 2014. Angka itu meningkat Rp7,2 triliun dari April 2014.

Utang bank nasional itu antara lain untuk mengembangkan bisnis di dalam dan luar negeri bagi yang memiliki kantor di luar negeri seperti BNI, Bank Mandiri, BCA dan BRI. Selain itu, utang dapat dimanfaatkan untuk pembangunan infrastruktur berupa jaringan teknologi informasi, gedung baru, renovasi atau relokasi (pindah lokasi yang lebih menjanjikan dipandang dari sudut bisnis). Namun ingat, utang pun dapat digunakan untuk berjaga-jaga atau disebut pinjaman siaga (standby loan).

Pemerintah pun mempunyai pinjaman jenis yang satu ini. Untuk itu, lagi-lagi BI sudah semestinya mengetatkan persyaratan utang luar negeri yang diajukan bank nasional. Karena ancaman krisis global masih belum hilang hingga kini meskipun ekonomi Amerika Serikat sebagai pusat ekonomi global mulai bangkit. Ketiga, menerapkan lindung nilai (hedging). Adalah benar bahwa rasio utang nasional terhadap PDB rendah 23,10%. Tetapi jangan lupa, jumlah utang luar negeri Indonesia terus mendaki setiap tahun.

Karena itu, pemerintah dan BI wajib menetapkan peraturan lindung nilai sebagai salah satu kiat untuk memitigasi risiko utang. Aturan lindung nilai wajib diberlakukan baik untuk utang oleh badan usaha milik negara (BUMN), pemerintah daerah dan pihak swasta. Sebagai catatan, pada umumnya, bank nasional telah melakukan lindung nilai terhadap utang mereka. Keempat, melirik Undang- Undang (UU) Desa. Kini Indonesia telah memiliki UU Nomor 6/2014 tentang Desa.

Berkahnya, setiap desa akan menerima dana sekitar Rp1,4 miliar setiap tahun dari pemerintah pusat sebagai kampanye yang manis ketika berlangsung pemilihan umum presiden. Aturan ini bertujuan untuk melindungi dan memberdayakan desa agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis. Dengan demikian, pemerintahan dan pembangunan desa benar-benar menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Namun, liriklah Pasal 91 undang-undang tersebut, bahwa desa dapat mengadakan kerja sama dengan desa lain dan/atau kerja sama dengan pihak ketiga.

Terkait dengan utang tersebut, pasal itu suka tidak suka akan mendorong utang luar negeri semakin membengkak suatu saat, padahal kini kita memiliki 73.000 desa di seluruh pelosok Tanah Air. Ringkas tutur, sungguh pemerintah dan BI tidak boleh lalai untuk terus-menerus berupaya mengamankan kondisi utang luar negeri Indonesia. Berbekal aneka langkah demikian, gagal bayar yang dialami Argentina tidak akan menimpa Indonesia ke depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar