Belajar
dari Kegagalan Bayar Argentina
Paul Sutaryono ;
Pengamat Perbankan, Mantan Assistant Vice President BNI dan
Anggota Pengawas Yayasan Bina Swadaya
|
KORAN
SINDO, 21 Agustus 2014
Argentina dinyatakan berstatus gagal bayar (default) oleh lembaga pemeringkat terkemuka Standard & Poors
(S&P). Status itu mencuat di permukaan ketika Argentina menolak untuk
membayar bunga utang lebih dari nilai yang seharusnya kepada kreditor
internasional.
Pelajaran apa yang patut dipetik dari peristiwa yang
menggegerkan pasar keuangan global itu? Keadaan tersebut berawal dari status default Argentina pada 2001, saat
negara itu menyatakan tidak mau membayar bunga dan cicilan utang. Alasan
Argentina saat itu, kreditor mengenakan bunga terlalu tinggi secara sepihak
saat Argentina amat tidak berdaya. Argentina saat itu menolak utang-utang
lama yang tidak masuk akal oleh pemerintah lama. Namun, Argentina kemudian
menawarkan perundingan ulang atas utang-utangnya dengan para kreditor pada
2005. Total utang Argentina kini sekitar USD200 miliar.
Dari jumlah itu, USD30 miliar direstrukturisasi kembali. Dengan
kata lain, ada bagian utang yang dirundingkan kembali dengan pembayaran yang
lebih ringan, yakni untuk utang USD30 miliar. Dari USD30 miliar utang yang
direstrukturisasi, persoalan terjadi pada total utang USD13 miliar. Akan
tetapi, persoalan ini hanya terjadi pada sebuah perusahaan yang memberikan
pinjaman kepada Argentina, Elliot Management Corp yang dipimpin Paul Singer
dan beberapa rekan kreditor.
Pelajaran Berharga
Lantas, pelajaran berharga (lesson
learned) apa yang layak dipetik? Pertama, meningkatkan kewaspadaan
terhadap posisi utang luar negeri Indonesia. Mari kita cermati dulu
pertumbuhan ekonomi nasional. Kita patut bersyukur lantaran ekonomi Indonesia
tumbuh cukup tinggi, 5,12% per kuartal II 2014, meskipun menipis dari 5,21%
per kuartal I 2014. Meskipun angka itu di bawah Nigeria 7,72%, Tiongkok
7,70%, Filipina 6,50% dan Singapura 5,50%, Indonesia jauh meninggalkan negara
jiran di kawasan ASEAN: Malaysia 5,10% dan Thailand 0,60%.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia bahkan jauh di atas sebagian besar
negaranegara BRICS, yakni Brasil 1,90%, Rusia2,00%, India4,70% dan Afrika
Selatan 2,00%. Bukan hanya itu. Rasio utang Indonesia terhadap produk
domestik bruto (PDB) pun menggembirakan 23,10% di tengah rasio ideal 60%.
Coba bandingkan dengan negara ASEAN Filipina 40,10%, Thailand 44,30%,
Malaysia 53,10% dan Singapura 97,90%. Tengok pula rasio utang Brasil yang
baru saja menyelenggarakan Piala Dunia 2014 65,10%, juga Rusia 8,40%,
India67,57%, China26,00% dan Afrika Selatan 39,90%. Sejatinya, Argentina
memiliki rasio yang baik 43,20%.
Bagaimana kondisi utang Indonesia saat ini? Utang luar negeri
Indonesia mencapai USD283,7 miliar (setara dengan Rp3.319 triliun dengan kurs
Rp11.700 per USD1) per Mei 2014. Jumlah itu naik 9,7% dibandingkan Mei 2013.
Perhatikan, utang swasta sudah mencapai USD 151,5 miliar (Rp1.772 triliun)
atau 53,4% dari utang luar negeri Indonesia. Inilah yang wajib diwaspadai
pemerintah dan Bank Indonesia (BI). Karena itu, utang swasta wajib dibatasi
dengan menerapkan rasio utang terhadap modal inti (debt to equity) misalnya 25%.
Rasio itu bertujuan final untuk memitigasi risiko gagal bayar
seperti krisis 1998. Kedua, mengendalikan utang bank nasional. Jangan alpa
bahwa ternyata yang memiliki utang itu bukan hanya bank nasional kelas bawah,
tetapi juga kelas kakap. Saat ini, BI menerima permohonan utang luar negeri
USD6 miliar (Rp 70,2 triliun) pada 2014 yang diajukan bank nasional. Utang
itu untuk apa? Bukankah bank nasional telah menghimpun dana triliunan dari
masyarakat (dana pihak ketiga/DPK)? Data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
menunjukkan, DPK perbankan nasional mencapai Rp2.090 triliun per Mei 2014.
Angka itu meningkat Rp7,2 triliun dari April 2014.
Utang bank nasional itu antara lain untuk mengembangkan bisnis
di dalam dan luar negeri bagi yang memiliki kantor di luar negeri seperti
BNI, Bank Mandiri, BCA dan BRI. Selain itu, utang dapat dimanfaatkan untuk
pembangunan infrastruktur berupa jaringan teknologi informasi, gedung baru, renovasi
atau relokasi (pindah lokasi yang lebih menjanjikan dipandang dari sudut
bisnis). Namun ingat, utang pun dapat digunakan untuk berjaga-jaga atau
disebut pinjaman siaga (standby loan).
Pemerintah pun mempunyai pinjaman jenis yang satu ini. Untuk itu,
lagi-lagi BI sudah semestinya mengetatkan persyaratan utang luar negeri yang
diajukan bank nasional. Karena ancaman krisis global masih belum hilang
hingga kini meskipun ekonomi Amerika Serikat sebagai pusat ekonomi global
mulai bangkit. Ketiga, menerapkan lindung nilai (hedging). Adalah benar bahwa rasio utang nasional terhadap PDB
rendah 23,10%. Tetapi jangan lupa, jumlah utang luar negeri Indonesia terus
mendaki setiap tahun.
Karena itu, pemerintah dan BI wajib menetapkan peraturan lindung
nilai sebagai salah satu kiat untuk memitigasi risiko utang. Aturan lindung
nilai wajib diberlakukan baik untuk utang oleh badan usaha milik negara
(BUMN), pemerintah daerah dan pihak swasta. Sebagai catatan, pada umumnya,
bank nasional telah melakukan lindung nilai terhadap utang mereka. Keempat,
melirik Undang- Undang (UU) Desa. Kini Indonesia telah memiliki UU Nomor
6/2014 tentang Desa.
Berkahnya, setiap desa akan menerima dana sekitar Rp1,4 miliar
setiap tahun dari pemerintah pusat sebagai kampanye yang manis ketika
berlangsung pemilihan umum presiden. Aturan ini bertujuan untuk melindungi
dan memberdayakan desa agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis.
Dengan demikian, pemerintahan dan pembangunan desa benar-benar menuju
masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Namun, liriklah Pasal 91
undang-undang tersebut, bahwa desa dapat mengadakan kerja sama dengan desa
lain dan/atau kerja sama dengan pihak ketiga.
Terkait dengan utang tersebut, pasal itu suka tidak suka akan
mendorong utang luar negeri semakin membengkak suatu saat, padahal kini kita
memiliki 73.000 desa di seluruh pelosok Tanah Air. Ringkas tutur, sungguh
pemerintah dan BI tidak boleh lalai untuk terus-menerus berupaya mengamankan
kondisi utang luar negeri Indonesia. Berbekal aneka langkah demikian, gagal
bayar yang dialami Argentina tidak akan menimpa Indonesia ke depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar