Minggu, 03 Agustus 2014

Bangkitnya Kekuatan Geopolitik

                               Bangkitnya Kekuatan Geopolitik

Leonard F Hutabarat  ;   Pemerhati Masalah Internasional;
Alumnus Institut d’Etudes Politiques (IEP) de Paris
KOMPAS, 31 Juli 2014



Tahun 2014 ditandai dengan rivalitas kekuatan geopolitik, baik kekuatan Rusia yang menganeksasi Crimea, Tiongkok yang agresif mengklaim perairan pantainya, Jepang yang makin asertif, maupun Iran yang memanfaatkan aliansinya dengan Suriah dan Hezbollah untuk semakin berperan di Timur Tengah.

Amerika Serikat dan Uni Eropa mungkin terganggu. Harapannya menjauh dari tantangan geopolitik wilayah ini dan memusatkan diri pada tatanan dunia dalam liberalisasi perdagangan, nonproliferasi nuklir, hak asasi manusia, penegakan hukum, perubahan iklim, dan isu-isu yang bersifat low politicslainnya. Apalagi, setelah Perang Dingin, AS dan UE menggeser hubungan internasional jauh dari isuzero-sum dan mengarah pada sesuatu yang bersifat win-win.

Apakah rivalitas geopolitik benar-benar hilang? Runtuhnya Uni Soviet berarti kemenangan ideologi demokrasi kapitalis liberal atas komunisme. Apakah Rusia, Tiongkok, dan Iran tidak berupaya membalikkan perimbangan kekuatan dan mengubah dinamika politik internasional?

Rivalitas geopolitik            

Upaya perdamaian Barat setelah Perang Dingin dapat dicapai dengan menggantikan kompetisi geopolitik dengan konstruksi tatanan dunia. Francis Fukuyama meramalkan, akhir Perang Dingin adalah akhir sejarah ideologi.

Negara-negara yang ada harus mengadopsi prinsip kapitalisme liberal untuk tetap survive. Apakah fokus geopolitik telah bergeser ke arah pembangunan ekonomi dan nonproliferasi? Apakah kebijakan luar negeri lebih berpusat pada perubahan iklim dan perdagangan?

Seperempat abad setelah robohnya tembok Berlin, rivalitas UE dan Rusia berlanjut terhadap Ukraina yang berujung Moskwa menganeksasi Crimea.
Kompetisi Tiongkok dan Jepang di Asia Timur berlanjut. Konflik sektarian di Timur Tengah ternyata tidak selesai seperti yang diharapkan. Kekuatan revisionis, seperti Rusia, Tiongkok, dan Iran, tidak ingin status quo bertahan. AS dianggap penghalang bagi kekuatan revisionis ini.

Yang terjadi kemudian adalah apa yang disebut Walter R Mead (2014) sebagai bangkitnya kekuatan geopolitik. Namun, bagi G John Ikenberry (2014) hal tersebut adalah ilusi. Kekuatan revisionis tidak mengancam fondasi kepemimpinan AS dan tatanan dunia, hanya spheres of influences. Aliansi, kemitraan, multilateralisme, dan demokrasi jelas menunjukkan instrumen dari kepemimpinan AS tidak memudar.

Tahun 1904, ahli geografi Inggris, Halford Mackinder, menyatakan kekuatan besar yang menguasai jantung Eurasia akan memerintah world-island. Eurasia menjadi hadiah besar dari pertarungan geopolitik. Tiongkok, Iran, dan Rusia berupaya menyebarkan spheres of influence-nya dan menantang kepentingan AS yang mendominasi Eurasia.

Dalam era unipolar, Washington masih memiliki kekuatan teknologi dan ekonomi. Ditemukannya sumber daya gas alami baru memungkinkan AS mempertahankan kehadiran militer secara global dan memberikan komitmen keamanan. Menurut Brett A Leeds, AS memiliki kemitraan militer dengan 60 negara dibandingkan Rusia yang memiliki kemitraan dengan delapan negara saja.

Kebangkitan demokrasi juga tidak menunjukkan kemunduran demokrasi kapitalis liberal. Memang benar, demokrasi liberal mengalami masa pertumbuhan ekonomi lambat, ketimpangan sosial, dan instabilitas politik. Namun, penyebaran demokrasi liberal sejak 1970-an juga memperkuat posisi dan kekuatan geopolitik AS terhadap kekuatan revisionis Rusia dan Tiongkok.

Munculnya negara-negara middle powers demokratis, seperti Australia, Brasil, India, Indonesia, Meksiko, Korea Selatan, dan Turki yang menjadi stakeholders dalam sistem internasional, mendorong kerja sama multilateral dan menjalankan pengaruhnya melalui cara-cara damai di panggung politik internasional.

Maka, apa yang terjadi saat ini adalah refleksi kerentanan geopolitik Presiden Vladimir Putin atas Crimea. Dalam dua dekade terakhir, Barat semakin mendekati perbatasan Rusia.

Tahun 1999, Ceko, Hongaria, dan Polandia memasuki NATO. Mereka bergabung tahun 2004 dengan tujuh mantan anggota blok Soviet lainnya dan pada 2009 termasuk Albania dan Kroasia.

Meskipun Putin berhasil dalam frozen conflicts di Transnistria, Abkhazia, dan South Ossetia di kawasan Georgia, Armenia, dan Crimea terjadi kontraksi geopolitik. Tiongkok juga melakukan klaim agresif atas pulau-pulau terdekat dan mengembangkan persenjataan.

Revisionis vs liberal

Apakah yang terjadi saat ini merupakan upaya kekuatan revisionis menghadapi kekuatan liberal atau hanya refleksi penolakan atas marjinalisasi geopolitik Rusia?
Sistem geopolitik dunia saat ini masih memberikan keterbukaan dan akses terhadap perdagangan, investasi, dan teknologi. Prinsip kedaulatan negara dan nonintervensi dari Wesphalia masih menjadi dasar dari politik dunia. Rusia dan Tiongkok juga terintegrasi dengan tatanan internasional, baik DK PBB, WTO, IMF, Bank Dunia, maupun G-20.

Dalam banyak isu, baik Tiongkok maupun Rusia bertindak bukan sebagai kekuatan revisionis. Pertarungan kedua negara ini dengan AS juga masih dalam tatanan. Yang terjadi adalah memperkuat posisi dalam sistem, bukan berupaya menggantikannya.

Politik global saat ini masih didominasi negara-negara yang liberal, kapitalis, dan demokratis. Tatanan dunia masih didukung jaringan aliansi yang dipimpin AS, institusi, tawar-menawar geopolitik, dan kemitraan demokrasi.

Meskipun terdapat variasi yang luas dari model ekonomi politik yang ada dari social democratic, neoliberal, dan state capitalist, stabilitas pemerintahan masih tergantung dari tatanan ini.

Hubungan internasional saat ini adalah pencarian sumber daya dan perdagangan, proteksi kedaulatan nasional, dan jika mungkin adalah dominasi regional. Jika ini yang terjadi dalam kancah global, dunia masih akan menyaksikan strategi AS di berbagai kawasan melalui perdagangan, aliansi, institusi multilateral, dan diplomasi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar