Bangkitnya
Kekuatan Geopolitik
Leonard F Hutabarat ;
Pemerhati Masalah
Internasional;
Alumnus
Institut d’Etudes Politiques (IEP) de Paris
|
KOMPAS,
31 Juli 2014
Tahun 2014 ditandai dengan
rivalitas kekuatan geopolitik, baik kekuatan Rusia yang menganeksasi Crimea,
Tiongkok yang agresif mengklaim perairan pantainya, Jepang yang makin
asertif, maupun Iran yang memanfaatkan aliansinya dengan Suriah dan Hezbollah
untuk semakin berperan di Timur Tengah.
Amerika Serikat dan Uni
Eropa mungkin terganggu. Harapannya menjauh dari tantangan geopolitik wilayah
ini dan memusatkan diri pada tatanan dunia dalam liberalisasi perdagangan,
nonproliferasi nuklir, hak asasi manusia, penegakan hukum, perubahan iklim,
dan isu-isu yang bersifat low politicslainnya. Apalagi, setelah Perang
Dingin, AS dan UE menggeser hubungan internasional jauh dari isuzero-sum dan
mengarah pada sesuatu yang bersifat win-win.
Apakah rivalitas
geopolitik benar-benar hilang? Runtuhnya Uni Soviet berarti kemenangan
ideologi demokrasi kapitalis liberal atas komunisme. Apakah Rusia, Tiongkok,
dan Iran tidak berupaya membalikkan perimbangan kekuatan dan mengubah
dinamika politik internasional?
Rivalitas
geopolitik
Upaya perdamaian Barat
setelah Perang Dingin dapat dicapai dengan menggantikan kompetisi geopolitik
dengan konstruksi tatanan dunia. Francis Fukuyama meramalkan, akhir Perang
Dingin adalah akhir sejarah ideologi.
Negara-negara yang ada
harus mengadopsi prinsip kapitalisme liberal untuk tetap survive. Apakah fokus geopolitik telah bergeser ke arah
pembangunan ekonomi dan nonproliferasi? Apakah kebijakan luar negeri lebih
berpusat pada perubahan iklim dan perdagangan?
Seperempat abad setelah
robohnya tembok Berlin, rivalitas UE dan Rusia berlanjut terhadap Ukraina
yang berujung Moskwa menganeksasi Crimea.
Kompetisi Tiongkok dan
Jepang di Asia Timur berlanjut. Konflik sektarian di Timur Tengah ternyata
tidak selesai seperti yang diharapkan. Kekuatan revisionis, seperti Rusia,
Tiongkok, dan Iran, tidak ingin status
quo bertahan. AS dianggap penghalang bagi kekuatan revisionis ini.
Yang terjadi kemudian
adalah apa yang disebut Walter R Mead (2014) sebagai bangkitnya kekuatan
geopolitik. Namun, bagi G John Ikenberry (2014) hal tersebut adalah ilusi.
Kekuatan revisionis tidak mengancam fondasi kepemimpinan AS dan tatanan
dunia, hanya spheres of influences. Aliansi, kemitraan, multilateralisme, dan
demokrasi jelas menunjukkan instrumen dari kepemimpinan AS tidak memudar.
Tahun 1904, ahli geografi
Inggris, Halford Mackinder, menyatakan kekuatan besar yang menguasai jantung
Eurasia akan memerintah world-island. Eurasia menjadi hadiah besar dari
pertarungan geopolitik. Tiongkok, Iran, dan Rusia berupaya menyebarkan
spheres of influence-nya dan menantang kepentingan AS yang mendominasi
Eurasia.
Dalam era unipolar,
Washington masih memiliki kekuatan teknologi dan ekonomi. Ditemukannya sumber
daya gas alami baru memungkinkan AS mempertahankan kehadiran militer secara
global dan memberikan komitmen keamanan. Menurut Brett A Leeds, AS memiliki
kemitraan militer dengan 60 negara dibandingkan Rusia yang memiliki kemitraan
dengan delapan negara saja.
Kebangkitan demokrasi juga
tidak menunjukkan kemunduran demokrasi kapitalis liberal. Memang benar,
demokrasi liberal mengalami masa pertumbuhan ekonomi lambat, ketimpangan
sosial, dan instabilitas politik. Namun, penyebaran demokrasi liberal sejak
1970-an juga memperkuat posisi dan kekuatan geopolitik AS terhadap kekuatan
revisionis Rusia dan Tiongkok.
Munculnya negara-negara
middle powers demokratis, seperti Australia, Brasil, India, Indonesia,
Meksiko, Korea Selatan, dan Turki yang menjadi stakeholders dalam sistem
internasional, mendorong kerja sama multilateral dan menjalankan pengaruhnya melalui
cara-cara damai di panggung politik internasional.
Maka, apa yang terjadi
saat ini adalah refleksi kerentanan geopolitik Presiden Vladimir Putin atas
Crimea. Dalam dua dekade terakhir, Barat semakin mendekati perbatasan Rusia.
Tahun 1999, Ceko, Hongaria,
dan Polandia memasuki NATO. Mereka bergabung tahun 2004 dengan tujuh mantan
anggota blok Soviet lainnya dan pada 2009 termasuk Albania dan Kroasia.
Meskipun Putin berhasil
dalam frozen conflicts di Transnistria, Abkhazia, dan South Ossetia di kawasan
Georgia, Armenia, dan Crimea terjadi kontraksi geopolitik. Tiongkok juga
melakukan klaim agresif atas pulau-pulau terdekat dan mengembangkan
persenjataan.
Revisionis
vs liberal
Apakah yang terjadi saat
ini merupakan upaya kekuatan revisionis menghadapi kekuatan liberal atau
hanya refleksi penolakan atas marjinalisasi geopolitik Rusia?
Sistem geopolitik dunia
saat ini masih memberikan keterbukaan dan akses terhadap perdagangan,
investasi, dan teknologi. Prinsip kedaulatan negara dan nonintervensi dari
Wesphalia masih menjadi dasar dari politik dunia. Rusia dan Tiongkok juga
terintegrasi dengan tatanan internasional, baik DK PBB, WTO, IMF, Bank Dunia,
maupun G-20.
Dalam banyak isu, baik
Tiongkok maupun Rusia bertindak bukan sebagai kekuatan revisionis. Pertarungan
kedua negara ini dengan AS juga masih dalam tatanan. Yang terjadi adalah
memperkuat posisi dalam sistem, bukan berupaya menggantikannya.
Politik global saat ini
masih didominasi negara-negara yang liberal, kapitalis, dan demokratis.
Tatanan dunia masih didukung jaringan aliansi yang dipimpin AS, institusi,
tawar-menawar geopolitik, dan kemitraan demokrasi.
Meskipun terdapat variasi
yang luas dari model ekonomi politik yang ada dari social democratic,
neoliberal, dan state capitalist, stabilitas pemerintahan masih tergantung
dari tatanan ini.
Hubungan internasional saat ini adalah
pencarian sumber daya dan perdagangan, proteksi kedaulatan nasional, dan jika
mungkin adalah dominasi regional. Jika ini yang terjadi dalam kancah global,
dunia masih akan menyaksikan strategi AS di berbagai kawasan melalui
perdagangan, aliansi, institusi multilateral, dan diplomasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar