Senin, 25 Agustus 2014

Antisemitisme dan Yahudi Pro Palestina

Antisemitisme dan Yahudi Pro Palestina

Tom Saptaatmaja  ; Alumnus Seminari St Vincent de Paul
dan STFT Widya Sasana, Malang
SINAR HARAPAN, 24 Agustus 2014
                                                


Sejak agresi Israel ke Gaza, Selasa (8/7), yang disebut "Operation Protective Edge", jumlah korban tewas dan luka-luka pada warga Palestina sudah mencapai ribuan jiwa. Ratusan ribu warga pun mengungsi.  

Jumlah korban di pihak Palestina akan terus bertambah, apalagi sejak Jumat (18/7), Israel melancarakan serangan darat ke Gaza. Beberapa kali Mesir sudah mengajukan proposal gencatan senjata. Disetujui, tetapi dengan mudah gencatan senjata dilanggar.   Jadi dahulu,  Yahudi yang menjadi korban pembantaian Hitler menjelang Perang Dunia II, kini justru menjadi penindas bangsa lain (dalam hal ini Palestina).  

Bahkan yang brutal, tempat ibadah, rumah sakit, sekolah termasuk sekolah PBB juga menjadi sasaran serdadu Israel. Menurut pemerintah Israel, serangan ke Gaza merupakan hak Israel untuk membela diri karena serangan roket yang terus  dilancarkan Hamas. Namun, banyak kalangan menyebut pembelaan diri Israel sudah tidak proporsional.

Jadi, serangan ke Gaza merupakan perang yang tidak adil, apalagi banyak korban di kalangan sipil. Bahkan Amnesti Internasional dan sebagian kalangan menyebut itu merupakan  kejahatan perang Israel atas Gaza. Namun, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, hanya menganggap penilaian itu sebagai lelucon.  

Anti-Yahudi

Namun yang pasti, agresi Israel kian menumbuhkan kebencian dunia pada orang Yahudi. Seperti kita ketahui, kebencian pada Yahudi atau antisemitisme punya jejak panjang dalam sejarah, khususnya di dunia Kristen. Pasalnya, Yahudi dianggap telah membunuh Yesus.

Suasana kebencian itu, misalnya, tampak dari tradisi di setiap Jumat Agung dalam Gereja Katolik Eropa untuk “menjewer” kuping orang Yahudi di dalam gereja sebagai balasan atas penghinaan mereka yang menyebabkan Yesus disalib (P.G.Aring, Christlichen Judenmission, Neukirchen, 1980, hlm 20 dan 21). Untunglah tradisi itu kini sudah tidak ada. 

Namun yang lebih kejam, Yahudi yang punya kuping juga sering dibunuh. Di Eropa tengah, di Jerman tepatnya, pernah ada tuduhan “tumbal darah”. Klaim bahwa Yahudi mempraktikkan ritus pengorbanan anak-anak Kristen. Rumor semacam itu sering berakhir dengan serangan pada orang-orang Yahudi. Kebencian pada Yahudi terus berlanjut.  

Kebencian itu memuncak ketika Adolf Hitler dengan Nazi-nya yang membantai 6,5 juta orang Yahudi menjelang Perang Dunia II. Lalu, rasa bersalah negara-negara Eropa atas tragedi memilukan ini adalah sebuah negara bagi warga Yahudi, sesuai tuntutan gerakan Zionisme.  

Zionisme adalah sebuah gerakan politik kaum Yahudi yang tersebar di seluruh dunia untuk mendirikan negara Yahudi. Doktrin Zionisme dimaklumkan dalam Kongres Zionis Sedunia pertama di Basel, Swiss, tahun 1897.   Deklarasi Balfour pada 1917, membantu merealisasikan hal itu. Seperti diketahui, Deklarasi Balfour merupakan surat dari James Arthur Balfour, Menlu Inggris ketika itu, pada seorang Yahudi Amerika bernama Baron Rothchild.
Isi deklarasi itu adalah jaminan pemerintah Inggris untuk berdirinya negara Yahudi di bumi Palestina. Negara Israel akhirnya berdiri  pada 15 Mei 1948, dengan mengusir banyak orang Palestina dari kampung halaman mereka. Jadi, dahulu yang menjadi korban (Yahudi), akhirnya menjadi penindas bangsa lain (dalam hal ini Palestina). Karena itu, para tokoh dunia, mulai dari Paus Fransiskus dan Presiden SBY sudah mengecam serangan itu.

Berbagai unjuk rasa terus digelar di seluruh dunia di berbagai kota besar agar Israel menghentikan agresinya ke Gaza. Hal yang menarik, di antara pendemo adalah para rabi atau ulama Yahudi Ortodoks dengan pakaian khasnya.   Kebencian pada Yahudi akibat agresi Israel ke Gaza, hendaknya tidak sampai membuat kita berlaku tidak adil pada  kaum itu. Pasalnya, tidak setiap orang Yahudi setuju dengan kebijakan pemerintah Israel terhadap bangsa Palestina.

Meski beberapa rabi Yahudi mendukung serangan itu, kelompok Yahudi yang lain justru mengecam. Contohnya adalah Neturei Karta. Kelompok Yahudi Ortodoks anti-Zionisme yang bermarkas di New York ini sering kali memasang iklan di koran New York Times. Isinya agar orang bisa melihat bahwa apa yang dilakukan pemerintah Zionis Israel adalah jahat. Karena selain menginjak-injak martabat bangsa Palestina, pemerintah Israel mengorbankan nilai-nilai luhur Yudaisme yang sudah diwariskan Nabi Musa. 

Apalagi menurut Taurat, orang Yahudi pemeluk Yudaisme  dilarang menumpahkan darah, merendahkan atau menjajah bangsa lain, seperti yang dilakukan pemerintah Israel terhadap Palestina. Dengan demikian, para politikus Zionis  dan para pendukungnya tidak boleh mengatasnamakan bangsa Yahudi. Jadi, menurut kelompok ini, menjadi Yahudi harus tunduk pada ketentuan Taurat yang merupakan ketentuan Yahwe (Allah) dan berani menolak Zionisme yang merupakan rekayasa manusia belaka.

Selain aktif di bidang dakwah, Neturei Karta aktif menggalang demo-demo anti-Israel.   Bukan cuma kelompok agama, para pemikir besar  Yahudi pun banyak yang jengah dengan langkah serta kebijakan yang diambil pemerintah sejak kemerdekaan Israel pada 1948. Albert Einstein, misalnya, pernah menulis bahwa dia lebih setuju dengan prinsip saling menghormati dengan bangsa-bangsa Arab daripada terus memperluas negara Israel.

Bagi ilmuwan terbesar abad XX versi majalah Time (27/12/99), hakikat dari Yudaisme sebenarnya sangat bertentangan dengan prinsip berdirinya negara Israel. Karena bagi fisikawan yang menolak dicalonkan jadi presiden Israel pada 1952 itu, Yudaisme selalu tanpa batas, sedangkan negara Israel selalu terbatas.   Profesor Erich Fromm, penulis dan pemikir Yahudi ternama juga menyatakan, kaidah hukum internasional telah dilanggar pemerintah Israel. Itu karena mereka telah merampas tanah dan hak milik orang-orang Arab/Palestina.

Bagi Fromm, orang-orang Palestina lebih memiliki legitimasi atas tanah mereka daripada orang-orang Israel yang baru datang kemudian.   George Steiner, seorang kritikus sastra terkenal di dunia, mempertanyakan hak hidup negara Israel. Eric Hobsbawm, ahli sejarah terkemuka, mendukung gerakan Intifada kedua dan membenarkan alasan Palestina untuk merdeka. Begitu pula sejarawan Amerika keturunan Yahudi, Profesor Norman Finkelstein, berkali-kali menulis dan muncul di televisi membela Palestina.

Jika tulisan ini dianggap tendensius, silakan baca buku berjudul Gilad Aztmon yang diberi kata pengantar oleh Buya Syafi'i Ma'arif.

Tulisan ini hanya hendak membawa pesan bahwa tekanan dari semua penjuru, termasuk dari warga Yahudi yang berpikiran jernih dan bermoral, diperlukan untuk menyadarkan pemerintah Israel akan hak hidup bangsa Palestina.   Sekaligus di tengah agresi Israel kali ini, kita bisa terus berbela rasa dengan Palestina.

Namun lebih dari itu, kita harus mendesak agar status negara Palestina segera dinaikkan statusnya dari setengah merdeka menjadi merdeka penuh. Inilah solusi yang rasional.  

Pada 29 November 1947 PBB menerapkan resolusi 181 (II) atau Partition Resolution. Resolusi ini mengatur pembagian Palestina menjadi dua negara, yakni negara Israel dan Palestina. Dalam pidato kenegaraan peringatan 69 tahun kemerdekaan, Presiden SBY juga menyetujui solusi dua negara ini. Kita tahu negara Israel sudah berdiri dan berdaulat penuh, sedangkan Otoritas Palestina belum.

Selama belum merdeka penuh, Israel bisa bertindak seenaknya, seperti serangan ke Gaza kali ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar