Antisemitisme
dan Yahudi Pro Palestina
Tom Saptaatmaja ; Alumnus
Seminari St Vincent de Paul
dan STFT Widya Sasana, Malang
|
SINAR
HARAPAN, 24 Agustus 2014
Sejak
agresi Israel ke Gaza, Selasa (8/7), yang disebut "Operation Protective Edge", jumlah korban tewas dan
luka-luka pada warga Palestina sudah mencapai ribuan jiwa. Ratusan ribu warga
pun mengungsi.
Jumlah
korban di pihak Palestina akan terus bertambah, apalagi sejak Jumat (18/7),
Israel melancarakan serangan darat ke Gaza. Beberapa kali Mesir sudah
mengajukan proposal gencatan senjata. Disetujui, tetapi dengan mudah gencatan
senjata dilanggar. Jadi dahulu, Yahudi yang menjadi korban pembantaian Hitler
menjelang Perang Dunia II, kini justru menjadi penindas bangsa lain (dalam
hal ini Palestina).
Bahkan
yang brutal, tempat ibadah, rumah sakit, sekolah termasuk sekolah PBB juga
menjadi sasaran serdadu Israel. Menurut pemerintah Israel, serangan ke Gaza
merupakan hak Israel untuk membela diri karena serangan roket yang terus dilancarkan Hamas. Namun, banyak kalangan
menyebut pembelaan diri Israel sudah tidak proporsional.
Jadi,
serangan ke Gaza merupakan perang yang tidak adil, apalagi banyak korban di
kalangan sipil. Bahkan Amnesti Internasional dan sebagian kalangan menyebut
itu merupakan kejahatan perang Israel
atas Gaza. Namun, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, hanya
menganggap penilaian itu sebagai lelucon.
Anti-Yahudi
Namun
yang pasti, agresi Israel kian menumbuhkan kebencian dunia pada orang Yahudi.
Seperti kita ketahui, kebencian pada Yahudi atau antisemitisme punya jejak
panjang dalam sejarah, khususnya di dunia Kristen. Pasalnya, Yahudi dianggap
telah membunuh Yesus.
Suasana
kebencian itu, misalnya, tampak dari tradisi di setiap Jumat Agung dalam
Gereja Katolik Eropa untuk “menjewer” kuping orang Yahudi di dalam gereja
sebagai balasan atas penghinaan mereka yang menyebabkan Yesus disalib
(P.G.Aring, Christlichen Judenmission, Neukirchen, 1980, hlm 20 dan 21).
Untunglah tradisi itu kini sudah tidak ada.
Namun
yang lebih kejam, Yahudi yang punya kuping juga sering dibunuh. Di Eropa
tengah, di Jerman tepatnya, pernah ada tuduhan “tumbal darah”. Klaim bahwa
Yahudi mempraktikkan ritus pengorbanan anak-anak Kristen. Rumor semacam itu
sering berakhir dengan serangan pada orang-orang Yahudi. Kebencian pada
Yahudi terus berlanjut.
Kebencian
itu memuncak ketika Adolf Hitler dengan Nazi-nya yang membantai 6,5 juta
orang Yahudi menjelang Perang Dunia II. Lalu, rasa bersalah negara-negara
Eropa atas tragedi memilukan ini adalah sebuah negara bagi warga Yahudi,
sesuai tuntutan gerakan Zionisme.
Zionisme
adalah sebuah gerakan politik kaum Yahudi yang tersebar di seluruh dunia untuk
mendirikan negara Yahudi. Doktrin Zionisme dimaklumkan dalam Kongres Zionis
Sedunia pertama di Basel, Swiss, tahun 1897.
Deklarasi Balfour pada 1917, membantu merealisasikan hal itu. Seperti
diketahui, Deklarasi Balfour merupakan surat dari James Arthur Balfour, Menlu
Inggris ketika itu, pada seorang Yahudi Amerika bernama Baron Rothchild.
Isi
deklarasi itu adalah jaminan pemerintah Inggris untuk berdirinya negara
Yahudi di bumi Palestina. Negara Israel akhirnya berdiri pada 15 Mei 1948, dengan mengusir banyak
orang Palestina dari kampung halaman mereka. Jadi, dahulu yang menjadi korban
(Yahudi), akhirnya menjadi penindas bangsa lain (dalam hal ini Palestina).
Karena itu, para tokoh dunia, mulai dari Paus Fransiskus dan Presiden SBY
sudah mengecam serangan itu.
Berbagai
unjuk rasa terus digelar di seluruh dunia di berbagai kota besar agar Israel
menghentikan agresinya ke Gaza. Hal yang menarik, di antara pendemo adalah
para rabi atau ulama Yahudi Ortodoks dengan pakaian khasnya. Kebencian pada Yahudi akibat agresi Israel
ke Gaza, hendaknya tidak sampai membuat kita berlaku tidak adil pada kaum itu. Pasalnya, tidak setiap orang
Yahudi setuju dengan kebijakan pemerintah Israel terhadap bangsa Palestina.
Meski
beberapa rabi Yahudi mendukung serangan itu, kelompok Yahudi yang lain justru
mengecam. Contohnya adalah Neturei Karta. Kelompok Yahudi Ortodoks
anti-Zionisme yang bermarkas di New York ini sering kali memasang iklan di
koran New York Times. Isinya agar orang bisa melihat bahwa apa yang dilakukan
pemerintah Zionis Israel adalah jahat. Karena selain menginjak-injak martabat
bangsa Palestina, pemerintah Israel mengorbankan nilai-nilai luhur Yudaisme
yang sudah diwariskan Nabi Musa.
Apalagi
menurut Taurat, orang Yahudi pemeluk Yudaisme
dilarang menumpahkan darah, merendahkan atau menjajah bangsa lain,
seperti yang dilakukan pemerintah Israel terhadap Palestina. Dengan demikian,
para politikus Zionis dan para
pendukungnya tidak boleh mengatasnamakan bangsa Yahudi. Jadi, menurut
kelompok ini, menjadi Yahudi harus tunduk pada ketentuan Taurat yang
merupakan ketentuan Yahwe (Allah) dan berani menolak Zionisme yang merupakan
rekayasa manusia belaka.
Selain
aktif di bidang dakwah, Neturei Karta aktif menggalang demo-demo
anti-Israel. Bukan cuma kelompok
agama, para pemikir besar Yahudi pun
banyak yang jengah dengan langkah serta kebijakan yang diambil pemerintah
sejak kemerdekaan Israel pada 1948. Albert Einstein, misalnya, pernah menulis
bahwa dia lebih setuju dengan prinsip saling menghormati dengan bangsa-bangsa
Arab daripada terus memperluas negara Israel.
Bagi
ilmuwan terbesar abad XX versi majalah Time
(27/12/99), hakikat dari Yudaisme sebenarnya sangat bertentangan dengan
prinsip berdirinya negara Israel. Karena bagi fisikawan yang menolak
dicalonkan jadi presiden Israel pada 1952 itu, Yudaisme selalu tanpa batas,
sedangkan negara Israel selalu terbatas.
Profesor Erich Fromm, penulis dan pemikir Yahudi ternama juga
menyatakan, kaidah hukum internasional telah dilanggar pemerintah Israel. Itu
karena mereka telah merampas tanah dan hak milik orang-orang Arab/Palestina.
Bagi
Fromm, orang-orang Palestina lebih memiliki legitimasi atas tanah mereka
daripada orang-orang Israel yang baru datang kemudian. George Steiner, seorang kritikus sastra
terkenal di dunia, mempertanyakan hak hidup negara Israel. Eric Hobsbawm,
ahli sejarah terkemuka, mendukung gerakan Intifada kedua dan membenarkan
alasan Palestina untuk merdeka. Begitu pula sejarawan Amerika keturunan
Yahudi, Profesor Norman Finkelstein, berkali-kali menulis dan muncul di
televisi membela Palestina.
Jika
tulisan ini dianggap tendensius, silakan baca buku berjudul Gilad Aztmon yang diberi kata
pengantar oleh Buya Syafi'i Ma'arif.
Tulisan
ini hanya hendak membawa pesan bahwa tekanan dari semua penjuru, termasuk
dari warga Yahudi yang berpikiran jernih dan bermoral, diperlukan untuk
menyadarkan pemerintah Israel akan hak hidup bangsa Palestina. Sekaligus di tengah agresi Israel kali
ini, kita bisa terus berbela rasa dengan Palestina.
Namun
lebih dari itu, kita harus mendesak agar status negara Palestina segera
dinaikkan statusnya dari setengah merdeka menjadi merdeka penuh. Inilah
solusi yang rasional.
Pada
29 November 1947 PBB menerapkan resolusi 181 (II) atau Partition Resolution.
Resolusi ini mengatur pembagian Palestina menjadi dua negara, yakni negara
Israel dan Palestina. Dalam pidato kenegaraan peringatan 69 tahun
kemerdekaan, Presiden SBY juga menyetujui solusi dua negara ini. Kita tahu
negara Israel sudah berdiri dan berdaulat penuh, sedangkan Otoritas Palestina
belum.
Selama
belum merdeka penuh, Israel bisa bertindak seenaknya, seperti serangan ke
Gaza kali ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar