SETELAH dua tahun mengidap
kanker, Hugo Chavez meninggal pada 5 Maret pukul 16.25 waktu setempat.
Kabar kematian sosok kuat penganjur sosialisme di Amerika Latin, setelah
Che Guevara dan Fidel Castro itu mengguratkan duka yang teramat dalam dan
mengundang simpati dari pendukungnya tapi sekaligus mencurahkan rasa
gembira dari pihak opisisi, baik dalam maupun luar negeri.
Tokoh sosialis
abad ke-21 ini memang tidak sepi dari kontroversi, baik dari dalam
negaranya sendiri maupun dari luar negeri. Kita tahu Chavez menjadi
episentrum gerakan sosialisme modern dengan memimpin negara Venezuela --sejak
1999 hingga 2013-- sebagai pusaran perjuangan dan pelabuhan bagi ideologi
sosialisme.
Sebagai
negara-bangsa yang pernah punya percikan sejarah perjuangan sosialisme,
kita perlu menilik kematian Chavez sebagai momentum menghangatkan ingatan
tentang sosialisme yang mulai redup dari waktu ke waktu. Kita bisa
mempertanyakan secara kritis siapa kira-kira generasi kuat selanjutnya yang
sanggup meneruskan sisa-sisa semangat sosialisme di Amerika Latin?
Satu per satu
tokoh kunci sosialis berguguran dengan riwayat penyakit yang nyaris sama:
kanker. Setelah Che Guevara, Fidel Catro, dan Chavez, hanya ada segelintir
orang seperti Raul Castro di Kuba, Evo Morales di Bolivia, dan Lula da
Silva di Brasil. Namun dua orang terakhir belum layak menjadi ikon yang tegas
berdiri berseberangan dengan musuh ideologis mereka: kapitalisme dan
neoliberalisme.
Sejak awal saya
curiga bahwa sosialisme telah dihancurkan secara halus oleh generasi bangsa
mereka sendiri, atau bahkan oleh anak cucu penganjur gerakan ini. Mereka seperti
tidak sadar bahwa kinerja ideologi sosialisme sudah dipereteli dari dalam
dengan pendekatan ’’double speak’’
ataupun ’’double policy’’ yang dimainkan oleh musuh utama mereka, yaitu
Amerika.
Kinerja
ideologi merasuk ke dalam bentuk ingatan kolektif dan laku ketidaksadaran
sebuah masyarakat. Ingatan selalu menjadi titik tolak kesadaran imperatif
yang melekat dalam tindakan kehidupan suatu bangsa. Secara sosial
antropologis, ingatan bisa dikatakan sebagai hasil metamorfosis tentang
gejolak ideologi dalam negara secara umum, atau merupakan hasil konsensus
masyarakat yang mereka tangkap bersama sebagai buah dari proses kebudayaan.
Deskripsi itu terjadi dalam
kinerja ideologi kapitaslisme, bukan sosialisme, seperti saya alami ketika
studi jangka pendek di negara bagian South Carolina. Waktu itu saya memakai
T-shirt bergambar Che Guevara. Ternyata banyak kolega, pegawai kampus, dan
dosen menanyakan apakah saya menyukai sosok itu.
Itu pengalaman
yang sungguh menakjubkan bagi saya mengingat sosok Che benar-benar
menyita perhatian banyak generasi tua tahun1960-an yang saya temui di area
kampus University of South Carolina.
Saya menyimpulkan bahwa negara (Amerika) berhasil menancapkan jarum-jarun
ideologis dengan menempatkan musuh ideologi mereka sebagai ’’the others’’, bahkan musuh bersama
yang melekat dalam ketaksadaran bangsanya.
Proyek Palsu
Posisi negara
dan pemerintah, sebagai agen yang bergerak di dalamnya, mempunyai peran
sentral menciptakan kebijakan untuk memupuk ingatan bangsanya, seperti
disinyalir Michel Foucault, has a
finality of its own (Michel Foucault: 210, 2000). Artinya, negara telah
sempurna memolarisasi kepentingan demi kepentingan dengan mengelabui
kesadaran rakyatnya. Pemerintah suatu negara bisa benar-benar
mengubah ataupun menghapus apa pun di dalam sebuah negara, selain ingatan
kolektif itu sendiri.
Dewasa ini,
musuh-musuh hantu sosialisme pun menang dalam banyak perseteruan. Satu per
satu generasi mereka dipotong dan dicabut hingga ke akar-akarnya sehingga
tidak ada lagi sosok kuat dan berpengaruh yang bisa menggawangi suatu
negara ataupun ideologi. Saat ini pun jika makin sulit menyisir rekam-jejak
gerakan sosialisme.
Tentu, selain
tiap negara dan aktor yang bemain di dalamnya mempunyai model tersendiri
dalam mempraktikkan kitab suci mereka, sebagai rancangan dan abstraksi
teoritis, yaitu karya-karya Karl Max bersama Angles (Manifesto Communist), dan terutama Das Kapital, sisi lain yang
sangat penting adalah karena terjadi pelapukan kinerja ideologis dari dalam
dirinya. Nilai-nilai etis dalam ideologi sosialisme pun bahkan tidak
digubris.
Padahal
sosialisme etis merupakan salah satu contoh menarik, yang coba dicarikan
bentuk ’’etis’’-nya dari sosialisme dengan merunut jejak teoritik hingga ke
kitab teori etika Kant. Sosialisme etis adalah teori yang menegaskan bahwa
sosialisme hendaknya dianggap terutama sebagai totalitas prinsip-prinsip
dan norma-norma moral dan etis. Neo-Kantinisme merupakan basis teoritisnya.
Akhirnya, kita
pun harus memahami bahwa ideologi adalah sebuah proyek semu dan palsu.
Meskipun begitu, sosok Hugo Chavez harus mendapatkan tempat sebagai pejuang
dan penyeimbang yang menekan dan menentang mainstream dari negara-negara adikuasa seperti Amerika dan
sekutunya. Dengan begitu, kita layak merayakan ingatan bersama tentang ’’hantu ideologi’’ yang
diperjuangkan Chavez. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar