Jumat, 22 Maret 2013

Mengamati Prabowo dari Dekat


Mengamati Prabowo dari Dekat
Syafiq Basri Assegaff ;  Konsultan Komunikasi;
Ketua Bidang Pengembangan Cabang, BPP Perhumas
INILAH.COM, 21 Maret 2013


Nama Prabowo Subianto kian ramai dibicarakan orang. Sebagai bakal calon presiden RI 2014-2019 yang dianggap punya peluang besar, nama mantan Danjen Kopassus dan pengusaha kaya itu belakangan ini makin santer diberitakan. Yang terakhir, misalnya, ia diterima Presiden SBY pada 11 Maret 2013.

Pertemuannya dengan SBY itu rupanya memantik beragam spekulasi dan pendapat. Ada penilaian ‘miring’, netral, atau pun positif.

Pengamat politik dari Universitas Airlangga, Surabaya, Airlangga Pribadi, misalnya, berpendapat bahwa sebagai kandidat presiden Prabowo yang potensial – dengan popularitas lumayan tinggi -- parpol pendukungnya perlu mencari dukungan kekuatan dari luar.

"Di sini, Prabowo memiliki kepentingan terhadap kekuatan politik dari partai lain, tak terkecuali dari Demokrat," kata Airlangga.

Sebaliknya, SBY juga punya kepentingan terhadap para calon Presiden pemenang Pemilu 2014. Tujuannya, untuk mengamankan jaringan atau kekuatan politik SBY.

“Namun pendekatan keduanya belum final dan merupakan pendekatan awal. Sehingga jangan ditafsirkan sebagai bentuk dukungan SBY kepada Prabowo,” kata Airlangga.
Walhasil, kisah Prabowo dan polemik mengenai dirinya makin ramai diberitakan media.
Namun ada yang luput dari pemberitaan, yakni ketika 500-an pemimpin organisasi dan pengusaha berkunjung ke kediaman Prabowo, di Desa Hambalang, Bojong Koneng, Bogor, Kamis pekan lalu (14 Maret 2013).

Kediaman mantan Panglima Kostrad kelahiran 17 Oktober 1951 itu luasnya sekitar 4,8 hektar. Diperkaya sarana landasan helikopter (helipad), kolam renang, dan lahan untuk olahraga berkuda (ia memelihara sejumlah kuda jenis Lusiano), padepokan berarsitektur Jawa itu terasa kian sejuk berkat pepohonan pinus dan berbagai tanaman lain di sekelilingnya.

Rumah penggemar pencak silat itu juga diperkaya dengan perpustakaan, tempatnya menghabiskan waktu senggang membaca berbagai buku berbahasa Indonesia dan Inggris.

Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra itu memang kaya besar. Pada pemilihan presiden 2009 lalu, Prabowo adalah calon (wakil presiden) paling kaya, dengan harta yang diperkirakan bernilai sekitar Rp.1,5 triliun dan US$ 7,5 juta.

Adik Bintianingsih dan Mayrani Ekowati itu kini juga pemilik bisnis Grup Nusantara yang dulu dibelinya dari Bob Hasan. Bersama Hashim Djojohadikusumo, adiknya, Prabowo mengelola 27-an anak perusahaan Grup Nusantara di dalam dan luar negeri.

Di ‘istana’ yang asri tersebut, Prabowo memaparkan konsep “Tantangan Masa Depan Indonesia,” yang membahas berbagai potensi yang kita miliki sekarang, dan tantangan Indonesia 20 tahun mendatang.

Dalam acara yang diatur oleh ‘Indonesia Asia Institute’ – yang antara lain dihadiri Ketua Umum Perhimpunan Hubungan Masyarakat Indonesia (Perhumas) Prita Kemal Gani, pengusaha BRA Mooryati Soedibyo – terkesan bahwa Prabowo menguasai ‘public speaking’ dengan baik. Meski belum sempurna, cara bicara, intonasi dan body language-nya lebih menarik dari gaya sementara tokoh politik lain di Indonesia.

Tantangan Indonesia

Prabowo -- yang dalam penyusunan analisa dan konsep-konsep besarnya mengaku dibantu puluhan pakar (banyak di antaranya bergelar doktor) -- mengetengahkan bahwa, sedikitnya ada empat tantangan serius yang kita hadapi di masa mendatang.

Dua yang pertama adalah masalah menurunnya cadangan energi dan tingginya populasi penduduk kita, yang rata-rata naik 1,6 % per tahun, sehingga pada 2030 kita harus ‘memberi makan’ tambahan 76 juta jiwa baru.

Tantangan ketiga, menurut putra begawan ekonomi Soemitro Djojohadikusumo itu, adalah sistem pemerintahan yang lemah, tidak efisien, dan korup yang saling berkelindan bagaikan lingkaran setan.
Terkait hal itu, Prabowo memberikan gambaran tidak efisiennya pengelolaan pemerintahan di Indonesia dibandingkan dengan India dan China. Menurut data Prabowo, 241 juta penduduk Indonesia diurus oleh 497 kabupaten. Sehingga, setiap badan otoritas itu sebenarnya hanya mengurus 484 ribu jiwa.

Ini, katanya, jauh beda dengan India yang punya 1,2 milyar penduduk, dan hanya diurus oleh 35 badan pemerintahan. “Sehingga satu bupati atau walikota mengelola 34 juta jiwa.”

Yang paling efisien adalah China: dengan penduduk 1,4 milyar diurus hanya oleh 33 badan otoritas – sehingga setiap badan pemerintah dari pusat hingga daerah di China mengurus 42 juta orang.

Terakhir, tantangan penting lainnya adalah ketidakseimbangan struktural perekonomian Indonesia. Untuk yang terakhir ini Prabowo mewanti-wanti, bahwa berhubung 60 % uang beredar di Jakarta dan 30 prosennya di kota besar lainnya, maka desa-desa kita hanya mendapatkan 10 prosen sirkulasi uang.

“Ini tidak adil, dan jika kita tidak berhati-hati mengelolanya, saya kuatir bisa meledak,” kata Prabowo.
Mungkin ledakan itu tidak secepat yang terjadi di Timur Tengah (Musim Semi Arab), karena menurutnya, ambang (threshold) penderitaan orang Indonesia lebih tinggi – artinya, rakyat kita relatif ‘lebih tahan’ menderita. Prabowo kemudian memberikan contoh, betapa di saat hujan turun di tengah kemacetan jalanan sekitar Kuningan, Jakarta, wong cilik penjaja minuman masih bisa senyum-senyum dan becanda dengan temannya.

Namun ia tetap optimis bahwa, bila dikelola secara benar dan baik, pada tahun 2030 mendatang Indonesia (yang kini berada dalam 16 besar dunia) bisa masuk dalam 10 besar negara di dunia. Maka ia pun menawarkan solusi lewat rencana besar yang disebutnya ‘strategi dorongan besar’, alias ‘big push strategy’.

Mesti dijalankan secara simultan, di antara langkah penting yang harus dijalankan selama 20 tahun ke depan itu, misalnya adalah mengubah 16 juta hektar hutan rusak menjadi lahan pertanian yang produktif, dan ‘menyulap’ sedikitnya 10 juta hektar lahan untuk biofuel, dan enam hektar lainnya untuk hortikultura.

“Menurut para ahli pertanian, untuk setiap hektar tanah yang dikelola secara produktif dapat menyediakan 6-10 tenaga kerja. Maka, dengan pengelolaan 10 juta hektar lahan produksi, umpamanya, minimal kita dapat menciptakan lapangan kerja bagi 40 juta orang,” kata Prabowo lagi.
Pemaparan berakhir dengan tepuk tangan. Banyak yang berdecak kagum kepadanya, dan menjadi makin yakin bahwa ia bukan saja seorang pemimpin yang tegas, tetapi juga cerdas. Tetapi ada juga yang mengerenyitkan dahi, karena menganggap pemaparan tadi tak cukup sebagai modal calon presiden, karena yang lebih perlu adalah bukti nyata kedekatan kepada rakyat banyak.

Sebagai calon pemimpin yang tampaknya peduli pada program yang pro-rakyat, Prabowo perlu meningkatkan reputasinya sebagai ‘petani’ yang ramah dan dekat dengan masyarakat banyak.
Tidak perlu meniru gaya Jokowi yang doyan blusukan, masuk gorong-gorong, dan sebagainya, tetapi ada beberapa hal yang bisa dilakukannya. Umpamanya, makin serius menggeser kesan militeristik dengan gaya sipil, dan berkomunikasi secara lebih langsung, terbuka dan ramah dengan orang banyak.
“Sebaiknya ia lebih rileks, lebih banyak tersenyum dan lebih membumi – misalnya, mengikuti gaya kepemimpinan presiden China yang baru Xi Jinping, atau Presiden Iran Ahmadinejad,” kata seorang kawan yang hadir.

“Ah, tetapi kan Anda baru sekali ketemu ‘kosong-delapan’ (kode panggilan Prabowo)?,” tanya saya pada kawan tadi, “Apa itu cukup buat bahan menilainya secara utuh?”

Lalu seorang teman lain menimpali, “Selain program ekonomi kerakyatannya itu, beliau berani dan tidak ragu dalam bersikap. Ini yang jarang dimiliki pimpinan di Indonesia saat ini." ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar