Jumat, 08 Maret 2013

Ketika Partai dan Organisasi Dilanda Krisis


Ketika Partai dan Organisasi Dilanda Krisis
Syafiq Basri Assegaff  ;  Konsultan; dan Pengajar di Jurusan Komunikasi, Universitas Paramadina
INILAH.COM, 07 Maret 2013


Apa yang terjadi dengan berbagai organisasi di negara kita? Mengapa kita merasakan hingar bingar yang seperti tak pernah berhenti?

Tempo hari kita menyaksikan ramainya kasus pelanggaran etika di Citibank lewat peristiwa Melinda Dee dan pembunuhan oleh ’debt collector’. Ada pula perdebatan menyangkut kasus-kasus Bank Century,’Cicak dan Buaya’, simulator SIM, Wisma Atlit, Hambalang, kasus impor sapi yang melibatkan tokoh PKS, hingga peristiwa termaktubnya nama Anas Urbaningrum sebagai tersangka.
Terakhir tapi tidak kalah penting, adalah pelanggaran etika terkait bocornya Surat Perintah Penyelidikan (Sprindik) KPK Februari lalu.

Jika boleh menarik garis merah, sesungguhnya sebagian besar – jka tidak semua – kasus-kasus itu berkait erat dengan pelanggaran etika, yang kemudian menyebabkan terjadinya krisis komunikasi dalam organisasi terkait.

Memang ada sejumlah kasus yang belakangan terbukti merupakan pelanggaran hukum pidana seperti suap dan korupsi, tetapi bila diusut lebih jauh, banyak di antaranya bermula dari pelanggaran etika.
Sebab, di dalam sepak terjang pimpinan setiap organisasi, baik itu perusahaan komersial seperti bank maupun lembaga seperti partai politik (parpol), Polri dan KPK, seringkali pelanggaran hukum pidana yang memuncak kepada krisis pada awalnya ’hanya’ berupa perilaku sembrono atau sikap sang pelaku yang tidak acuh terhadap standar etika atau agama.

Para ahli komunikasi sendiri telah banyak membahas bahwa terlalu banyak krisis yang sumbernya berasal dari masalah moral dan etika – khususnya ketika publik melihat pimpinan sebuah organisasi melakukan hal yang berbeda dari yang mereka katakan. Mereka tidak melakukan ‘walk the talk’.
Nah, saat sebuah organisasi dilanda krisis, pimpinan organisasi perlu segera melakukan penanganan komunikasi secara efektif demi memperbaiki reputasinya. Dan penanganan yang efektif itu bukan hanya sekedar mengatur siapa yang boleh dan tidak boleh bicara.

Sebab yang penting itu justru ‘apa’ yang dibicarakan, kapan, bagaimana dan kepada siapa pesan-pesan itu disampaikan, serta ‘mengapa’ menyampaikan pesan-pesan itu. Yang penting itu, bagaimana cara-cara dan langkah disusun lewat perencanaan matang dengan penuh pertimbangan, berdasarkan hasil 'audit komunikasi' menyangkut, antara lain, apa yang terjadi, sebab-musababnya, dan analisa kekuatan, kelemahan, tantangan dan kesempatan yang ada.

Artinya ini menyangkut soal strategi komunikasi, dan perencanaan pencapaian tujuan organisasi jangka panjang, dalam rangka meraih kembali reputasi organisasi yang tergerus akibat krisis.
Dari sisi komunikasi, sesungguhnya semua organisasi yang sedang merana bukan saja dituntut membenahi struktur kepemimpinannya, tetapi yang lebih mendasar dari itu adalah upaya meraih kembali kepercayaan (trust) agar reputasinya dapat kembali terdongrak.

Reputasi itulah yang menjadi kunci dan tolok ukur bagi setiap pembenahan. Khusus untuk Partai Demokrat, perbaikan reputasi itu bukan hanya penting bagi sang partai, melainkan sekaligus bisa menjadi salah satu alat exit strategy yang efektif bagi SBY sendiri.

Maka, lewat komunikasi yang terencana dan strategis -- yang mestinya digagas melalui sebuah tim PR – organisasi atau brand pada umumnya dapat merencanakan dan menerapkan semua kebijakan komunikasi yang handal dalam beberapa tahapan.

Pada tahap awal, tim PR itu mesti mengevaluasi sikap publik terhadap brand atau organisasi, mengapa publik atau konsumen lari kepada pesaing, atau bagi parpol itu ditambah dengan penelitian di wilayah mana elektabilitasnya menurun.

Sejalan dengan itu, organisasi harus mengidentifikasi kebijakan dan semua prosedur yang berkaitan dengan kepentingan publik secara luas. Bila brand itu sebuah parpol seperti Partai Demokrat atau PKS, publiknya tidak terbatas pada para pemilih, melainkan juga calon-calon pemilih.
Selanjutnya, mereka menyiapkan pengembangan serta eksekusi program komunikasi strategis dan terencana, yang bertujuan untuk mendapatkan pemahaman dan penerimaan publik atas segala kebijakan organisasi itu.

Tim PR yang diberi tanggungjawab itu mesti mengingatkan pimpinan organisasinya, bahwa masyarakat – baik mereka sudah menjadi pelanggan (atau pemilih parpol) atau belum -- tak bisa lagi hanya disuguhi pesan yang sudah `disetir’ (spin doctoring) tanpa menomorsatukan kepentingan publik atau rakyat.

Tim PR juga harus benar-benar menekankan bahwa kepercayaan (trust) publik-lah yang menjadi kunci bagi reputasi. Dan di dalam trust itu ada tiga dimensi penting yang mesti dikelola: integritas, atau keyakinan bahwa sebuah organisasi berlaku baik dan adil, dependability (keyakinan bahwa organisasi itu akan melakukan apa yang dikatakannya), dan kompetensi atau kemampuan untuk bertindak sesuai apa yang dikatakan.

Tidak mudah memang. Tetapi itu sebuah kebutuhan yang tidak bisa dihindari bila sebuah organisai ingin sukses dalam mengembalikan trust dan memperbaiki reputasinya di mata publik. Seluruh jajaran pimpinan organisasi (atau elite partai) mesti diingatkan agar tidak sekadar mengejar ‘citra’ yang seringkali hanya berupa polesan kosmetis temporer – sehingga mengecilkan fungsi PR -- melainkan harus secara sabar membangun kembali reputasi dalam jangka panjang.

Itu sebabnya, dalam kasus Partai Demokrat tampaknya SBY menyadari hal itu, sehingga ia mengatakan, ‘tak perlu terlalu sibuk memikirkan pemilu 2014’ – karena waktu satu tahun tampaknya belum cukup untuk memulihkan keharuman nama Partai Demokrat kembali.

Pada era media sosial sekarang ini, sesungguhnya tugas tim PR itu menjadi kian berat, karena mereka harus melibatkan diri dalam perbincangan di berbagai media yang jangkauan monitoringnya terhadap perbincangan publik kian luas; sementara kalau ada kesalahan kecil saja terjadi – misalnya ada pejabat partai yang keseleo lidah – hal itu akan menyebar secara sangat cepat dan sulit dikontrol.

Lazimnya, ada tiga pendekatan bisa dilakukan tim PR: yakni pendekatan reaktif, proaktif dan interaktif. Tetapi pilihan terbaik bagi organisasi – lebih lagi ketika ia dirundung krisis -- adalah pendekatan interaktif, yang mengharuskan keterlibatan aktif tim PR di tengah ‘perbincangan’ beragam publik yang bisa memengaruhi masa depan organisasi. Jika organisasi atau brand menerapkan ‘komunikasi dua arah’ yang baik dengan publik, lebih besar kemungkinannya bagi organisasi untuk mengidentifikasi sebuah ancaman masalah (baru) jauh sebelum ia terjadi.

Lewat metode ini, tim PR menempatkan dirinya sebagai ‘mata’ dan `telinga’ organisasi dan selalu `menghadirkan publik’ (yang mereka wakili) ke tengah permasalahan yang ada. Berkat komunikasi dua arah dengan publik itu, tenaga PR yang bekerja dapat menetapkan sasaran-sasaran strategis yang terukur sebagai dasar berbagai program komunikasi organisasi.

Tetapi tidak cukup begitu. Tim PR juga mesti menekankan kepada semua jajaran managemen (atau fungsionaris partai) bahwa, untuk membangun kembali trust, yang paling perlu dilakukan pimpinan organisasi adalah bersikap terbuka dan benar-benar jujur dalam semua praktek usahanya – sebagaimana ditunjukkan sebuah studi yang dilakukan terhadap sejumlah pimpinan organisasi di Amerika (Golin 2004).

Studi yang sama menunjukkan bahwa 93% responden mengatakan tindakan lain yang penting untuk memperbaiki trust adalah berkomunikasi secara jernih atau gamblang, efektif, dan langsung.
Mengacu pada studi itu, kita bisa bilang bahwa, percuma saja sebuah organisasi (termasuk Partai Demokrat) mengatur siapa yang boleh bicara di depan media, umpamanya, atau siapa yang memimpin organisasi itu, kalau publik tidak melihatnya sebagai organisasi yang bisa dipercaya. Dan tanpa kepercayaan (trust), organisasi mana pun akan direndahkan oleh kecurigaan, kemarahan, sinisme dan kekecewaan publiknya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar