Apa yang terjadi dengan berbagai organisasi
di negara kita? Mengapa kita merasakan hingar bingar yang seperti tak
pernah berhenti?
Tempo hari kita menyaksikan ramainya kasus
pelanggaran etika di Citibank lewat peristiwa Melinda Dee dan pembunuhan
oleh ’debt collector’. Ada pula
perdebatan menyangkut kasus-kasus Bank Century,’Cicak dan Buaya’, simulator
SIM, Wisma Atlit, Hambalang, kasus impor sapi yang melibatkan tokoh PKS,
hingga peristiwa termaktubnya nama Anas Urbaningrum sebagai tersangka.
Terakhir tapi tidak kalah penting, adalah
pelanggaran etika terkait bocornya Surat Perintah Penyelidikan (Sprindik)
KPK Februari lalu.
Jika boleh menarik garis merah,
sesungguhnya sebagian besar – jka tidak semua – kasus-kasus itu berkait
erat dengan pelanggaran etika, yang kemudian menyebabkan terjadinya krisis
komunikasi dalam organisasi terkait.
Memang ada sejumlah kasus yang belakangan
terbukti merupakan pelanggaran hukum pidana seperti suap dan korupsi,
tetapi bila diusut lebih jauh, banyak di antaranya bermula dari pelanggaran
etika.
Sebab, di dalam sepak terjang pimpinan
setiap organisasi, baik itu perusahaan komersial seperti bank maupun
lembaga seperti partai politik (parpol), Polri dan KPK, seringkali
pelanggaran hukum pidana yang memuncak kepada krisis pada awalnya ’hanya’
berupa perilaku sembrono atau sikap sang pelaku yang tidak acuh terhadap
standar etika atau agama.
Para ahli komunikasi sendiri telah banyak
membahas bahwa terlalu banyak krisis yang sumbernya berasal dari masalah
moral dan etika – khususnya ketika publik melihat pimpinan sebuah
organisasi melakukan hal yang berbeda dari yang mereka katakan. Mereka
tidak melakukan ‘walk the talk’.
Nah, saat sebuah organisasi dilanda krisis,
pimpinan organisasi perlu segera melakukan penanganan komunikasi secara
efektif demi memperbaiki reputasinya. Dan penanganan yang efektif itu bukan
hanya sekedar mengatur siapa yang boleh dan tidak boleh bicara.
Sebab yang penting itu justru ‘apa’ yang
dibicarakan, kapan, bagaimana dan kepada siapa pesan-pesan itu disampaikan,
serta ‘mengapa’ menyampaikan pesan-pesan itu. Yang penting itu, bagaimana
cara-cara dan langkah disusun lewat perencanaan matang dengan penuh
pertimbangan, berdasarkan hasil 'audit komunikasi' menyangkut, antara lain,
apa yang terjadi, sebab-musababnya, dan analisa kekuatan, kelemahan,
tantangan dan kesempatan yang ada.
Artinya ini menyangkut soal strategi
komunikasi, dan perencanaan pencapaian tujuan organisasi jangka panjang,
dalam rangka meraih kembali reputasi organisasi yang tergerus akibat
krisis.
Dari sisi komunikasi, sesungguhnya semua
organisasi yang sedang merana bukan saja dituntut membenahi struktur
kepemimpinannya, tetapi yang lebih mendasar dari itu adalah upaya meraih
kembali kepercayaan (trust) agar
reputasinya dapat kembali terdongrak.
Reputasi itulah yang menjadi kunci dan
tolok ukur bagi setiap pembenahan. Khusus untuk Partai Demokrat, perbaikan
reputasi itu bukan hanya penting bagi sang partai, melainkan sekaligus bisa
menjadi salah satu alat exit strategy
yang efektif bagi SBY sendiri.
Maka, lewat komunikasi yang terencana dan
strategis -- yang mestinya digagas melalui sebuah tim PR – organisasi atau
brand pada umumnya dapat merencanakan dan menerapkan semua kebijakan
komunikasi yang handal dalam beberapa tahapan.
Pada tahap awal, tim PR itu mesti mengevaluasi
sikap publik terhadap brand atau organisasi, mengapa publik atau konsumen
lari kepada pesaing, atau bagi parpol itu ditambah dengan penelitian di
wilayah mana elektabilitasnya menurun.
Sejalan dengan itu, organisasi harus
mengidentifikasi kebijakan dan semua prosedur yang berkaitan dengan
kepentingan publik secara luas. Bila brand itu sebuah parpol seperti Partai
Demokrat atau PKS, publiknya tidak terbatas pada para pemilih, melainkan
juga calon-calon pemilih.
Selanjutnya, mereka menyiapkan pengembangan
serta eksekusi program komunikasi strategis dan terencana, yang bertujuan
untuk mendapatkan pemahaman dan penerimaan publik atas segala kebijakan
organisasi itu.
Tim PR yang diberi tanggungjawab itu mesti
mengingatkan pimpinan organisasinya, bahwa masyarakat – baik mereka sudah
menjadi pelanggan (atau pemilih parpol) atau belum -- tak bisa lagi hanya
disuguhi pesan yang sudah `disetir’ (spin doctoring) tanpa menomorsatukan
kepentingan publik atau rakyat.
Tim PR juga harus benar-benar menekankan bahwa
kepercayaan (trust) publik-lah
yang menjadi kunci bagi reputasi. Dan di dalam trust itu ada tiga dimensi
penting yang mesti dikelola: integritas, atau keyakinan bahwa sebuah
organisasi berlaku baik dan adil, dependability (keyakinan bahwa organisasi
itu akan melakukan apa yang dikatakannya), dan kompetensi atau kemampuan
untuk bertindak sesuai apa yang dikatakan.
Tidak mudah memang. Tetapi itu sebuah
kebutuhan yang tidak bisa dihindari bila sebuah organisai ingin sukses
dalam mengembalikan trust dan memperbaiki reputasinya di mata publik.
Seluruh jajaran pimpinan organisasi (atau elite partai) mesti diingatkan
agar tidak sekadar mengejar ‘citra’ yang seringkali hanya berupa polesan
kosmetis temporer – sehingga mengecilkan fungsi PR -- melainkan harus secara
sabar membangun kembali reputasi dalam jangka panjang.
Itu sebabnya, dalam kasus Partai Demokrat
tampaknya SBY menyadari hal itu, sehingga ia mengatakan, ‘tak perlu terlalu
sibuk memikirkan pemilu 2014’ – karena waktu satu tahun tampaknya belum
cukup untuk memulihkan keharuman nama Partai Demokrat kembali.
Pada era media sosial sekarang ini,
sesungguhnya tugas tim PR itu menjadi kian berat, karena mereka harus
melibatkan diri dalam perbincangan di berbagai media yang jangkauan
monitoringnya terhadap perbincangan publik kian luas; sementara kalau ada
kesalahan kecil saja terjadi – misalnya ada pejabat partai yang keseleo
lidah – hal itu akan menyebar secara sangat cepat dan sulit dikontrol.
Lazimnya, ada tiga pendekatan bisa
dilakukan tim PR: yakni pendekatan reaktif, proaktif dan interaktif. Tetapi
pilihan terbaik bagi organisasi – lebih lagi ketika ia dirundung krisis --
adalah pendekatan interaktif, yang mengharuskan keterlibatan aktif tim PR
di tengah ‘perbincangan’ beragam publik yang bisa memengaruhi masa depan
organisasi. Jika organisasi atau brand menerapkan ‘komunikasi dua arah’
yang baik dengan publik, lebih besar kemungkinannya bagi organisasi untuk
mengidentifikasi sebuah ancaman masalah (baru) jauh sebelum ia terjadi.
Lewat metode ini, tim PR menempatkan
dirinya sebagai ‘mata’ dan `telinga’ organisasi dan selalu `menghadirkan
publik’ (yang mereka wakili) ke tengah permasalahan yang ada. Berkat
komunikasi dua arah dengan publik itu, tenaga PR yang bekerja dapat
menetapkan sasaran-sasaran strategis yang terukur sebagai dasar berbagai
program komunikasi organisasi.
Tetapi tidak cukup begitu. Tim PR juga
mesti menekankan kepada semua jajaran managemen (atau fungsionaris partai)
bahwa, untuk membangun kembali trust, yang paling perlu dilakukan pimpinan
organisasi adalah bersikap terbuka dan benar-benar jujur dalam semua
praktek usahanya – sebagaimana ditunjukkan sebuah studi yang dilakukan
terhadap sejumlah pimpinan organisasi di Amerika (Golin 2004).
Studi yang sama menunjukkan bahwa 93%
responden mengatakan tindakan lain yang penting untuk memperbaiki trust
adalah berkomunikasi secara jernih atau gamblang, efektif, dan langsung.
Mengacu pada studi itu, kita bisa bilang
bahwa, percuma saja sebuah organisasi (termasuk Partai Demokrat) mengatur
siapa yang boleh bicara di depan media, umpamanya, atau siapa yang memimpin
organisasi itu, kalau publik tidak melihatnya sebagai organisasi yang bisa
dipercaya. Dan tanpa kepercayaan (trust),
organisasi mana pun akan direndahkan oleh kecurigaan, kemarahan, sinisme
dan kekecewaan publiknya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar