Garong Terhormat
Indra Tranggono ;
Pemerhati
Kebudayaan
|
KOMPAS,
04 April 2015
Ada garong
konvensional, ada garong inkonvensional. Garong konvensional yang ada di
tingkat hilir dimaknai perampok, kawanan pencuri/penyamun. Adapun garong inkonvensional
identik dengan garong halus yang bekerja secara tersistem dan terkait dengan
jabatan serta kekuasaan di level negara.
Garong konvensional identik
garong kasar. Perampokan/penjarahan/ pembegalan harta benda yang dilakukan
berlangsung secara terbuka, bahkan dramatis dan mengandung unsur kekerasan
fisik dan pembunuhan. Nyawa dan darah jadi realitas ikutan. Sebelum diadili,
garong kasar ini lebih akrab berurusan dengan pihak keamanan level bawah:
polsek dan polresta.
Adapun garong inkonvensional jauh
lebih terhormat dibandingkan dengan garong konvensional. Kedudukan dan
kekuasaan mereka secara struktural dalam sistem atau birokrasi
penyelenggaraan negara jadi salah satu penyebabnya, di samping latar belakang
mereka: kelas sosial menengah, pendidikan S-1, S-2, S-3, karier politik,
akademik, birokratik, dan lainnya. Juga tingkat kedekatannya dengan kekuasaan
atau para penguasa politik dan ekonomi. Faktor lainnya, umumnya mereka kaya,
punya banyak aset, baik deposito tak terhitung maupun benda-benda lainnya.
Kehidupan mereka kental dengan aroma jetset tetapi bisa sangat cair luluh
berinteraksi dengan berbagai komunitas.
Etos kriminal mereka tak jauh
berbeda dengan etos kaum mafioso. Jika garong konvensional merampok secara
terbuka, transparan, dan langsung, bisa dilihat, kaum garong inkonvensional
melakukannya secara tertutup, bahkan penuh cita rasa etika dan estetika
tinggi. Perampokan dilakukan dengan sopan santun, penuh ”penalaran”,
rasionalisasi (pembenaran), sehingga terkesan wajar. Misalnya, dalam merampok
APBN atau APBD hingga mencapai triliunan rupiah.
Garong inkonvensional memiliki
”kreativitas” tinggi untuk mengakali sistem. Misalnya, sistem politik
anggaran negara untuk rakyat/masyarakat. Mereka menguasai regulasi dari
filosofi, penafsiran, pemaknaan, hingga pengoperasiannya yang memungkinkan
dana besar bisa dibelokkan dan digenggam, sementara rakyat hanya mendapatkan
remah-remahnya.
Dalam soal membuat fiksi,
kemampuan mereka mampu ”mengalahkan” penyair, cerpenis, dan novelis papan
atas sekalipun. Jika para sastrawan berprinsip ”berbohong” dalam penciptaan
demi kebenaran, mereka justru bicara ”kebenaran” demi kebohongan. Tak ada
kebenaran otentik bagi mereka. ”Kebenaran” bagi mereka sejatinya tak lebih
dari ”pembenaran” yang melabrak nilai, moral, norma, dan hukum dan menyembah
kepentingan secara sepihak, subyektif.
Imajinasi mereka pun sangat
liar. Mereka mampu mengubah hal-hal fiksional jadi ”realitas”. Mereka bisa
membuat praktik lelang proyek sandiwara, membuat perseroan, CV, dan lembaga
bisnis palsu, atau membuat proyek-proyek fiktif, ”rakyat” fiktif, dan
lainnya.
Pencinta koruptor
Jangan mengira garong
inkonvensional ini dikutuk. Mereka justru ”dihormati”, baik secara sosial
maupun yuridis. Di masyarakat mereka bisa ”membeli” citra sebagai ”orang
terhormat” dengan banyak bederma. Di tingkat elite, mereka punya banyak
pendukung dari politisi, konglomerat, birokrat, sampai penegak hukum. Maka,
jangan heran jika remisi terhadap koruptor sangat progresif dan tinggi.
Para pencinta koruptor mendadak
lupa atas kebengisan para garong inkonvensional yang tidak hanya membuat
negara pailit dan tak berdaya, juga membunuh rakyat melalui perampokan hak-
hak sipil warga. Para pencinta koruptor yang pintar mengakali pasal-pasal
hukum pidana berdalih koruptor pun punya hak asasi manusia dan tidak boleh
didiskriminasi. Kenapa justru kepada kaum garong inkonvensional toleransi
mereka sangat tinggi, sementara kepada rakyat yang jadi korban justru tidak
dibela?
HAM atau hak-hak sipil, hak
politik, semestinya hanya milik masyarakat yang memiliki tingkat keadaban dan
peradaban tinggi, bukan masyarakat garong yang anti keadaban dan peradaban.
Hukum formal sering beku, gagap, dan gugup sehingga tidak memiliki kemampuan
serta keberanian menerapkan hukuman berbasis keadilan dan rasa keadilan
publik. Inilah kehebatan kaum garong inkonvensional yang mampu menciptakan
sistem yang nyaman bagi mereka.
Berbagai upaya pemberantasan
korupsi akhirnya hanya jadi dongeng ninabobo, yang tampaknya menenteramkan,
tetapi membuka mara bahaya bagi rakyat. Ironisnya, ini terjadi di dalam
praktik rezim yang semula berniat mulia memberantas korupsi. Adakah kaum
garong inkonvensional jadi prioritas? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar