Memandirikan Keuangan Desa
Ivanovich Agusta ;
Sosiolog
Pedesaan IPB Bogor
|
KOMPAS,
04 April 2015
Kesangsian akan efektivitas dana desa berpangkal kepada
prasangka kelemahan pengelolaan keuangan pemerintah desa. Apalagi keluar peraturan-peraturan
main yang berlawanan sebagai buah perseteruan tanpa ujung antara Kementerian
Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT) dengan
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Cermin
kemandirian
Amanat tertulis Presiden Soekarno untuk Dewan Perancang Nasional
1959 serta pidato Presiden Soeharto menjelang Repelita I mengagungkan desa
sebagai basis keswadayaan bangsa. Namun, jika saat ini menanam cermin
kemandirian desa di depan kinerja keuangan, seperti iming-iming kampanye dana
desa, yang terlihat justru buah ketergantungan.
Kemerosotan swadaya masyarakat desa dimulai awal 1980-an.
Derasnya dana bantuan desa sejak 1981, mengikuti penetrasi proyek
infrastruktur pedesaan 1970-an, telah membalik proporsi pendapatan asli desa
dari semula sekitar 80 persen menjadi hanya 20 persen.
Sejak itu ketergantungan keuangan desa menetap secara
struktural. Survei Keuangan Desa 2009-2013 oleh Badan Pusat Statistik
senantiasa menyajikan proporsi pendapatan dan belanja desa yang relatif sama
setiap tahun. Pendapatan asli desa berkisar 20 persen, bantuan keuangan
pemerintah hampir 40 persen, dan alokasi dana desa lebih 35 persen. Sisanya
sumbangan swasta.
Tahun ini guyuran dana desa Rp 20 triliun, menukikkan proporsi
swadaya masyarakat tinggal 12 persen. Sebaliknya proporsi dana desa terangkat
hingga 60 persen dari pendapatan. Jumlah dana desa pada 2015 setara dengan
pendapatan seluruh desa di Indonesia pada 2013.
Hingga menuju janji Rp 1,4 miliar per desa, dominasi dana desa
bakal kian dominan. Jelaslah prospek kemandirian desa tidak akan terpenuhi
lewat anggaran pendapatan, tetapi masih berpeluang tercapai melalui anggaran
belanja.
Pembelanjaan rasional tecermin dari Sisa Lebih Pembiayaan
Anggaran (Silpa) Desa 2009-2013. Silpa meningkat lebih dua kali lipat, semula
Rp 119 miliar menjadi Rp 527 miliar. Meskipun peningkatan Silpa kerap
didiskusikan pemda dan desa, tetapi belum diputuskan solusi penyimpanan Silpa
yang berasal dari transfer pemerintah pusat dan daerah tersebut. Ketakjelasan
aturan selama ini mematikan tambahan motor penggerak pembangunan desa.
Proporsi belanja pegawai masih tinggi, namun cenderung menurun.
Pada 2009 mencapai 45 persen lalu 39 persen pada 2013. Penurunan proporsi
tersebut sejalan dengan peningkatan pendapatan tahunan setiap desa, yaitu
dari 141 juta menjadi 254 juta. Dengan pola yang sama, diperkirakan lonjakan
pendapatan desa empat kali lipat tahun ini menurunkan secara drastis proporsi
belanja pegawai.
Terdapat 33 persen belanja modal pada 2013, meningkat 31 persen
dari 2010. Dalam nomenklatur Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa,
ini mengindikasikan upaya peningkatan aset desa. Jika ditambahkan belanja
pemberdayaan masyarakat 26 persen, terbaca porsi pengeluaran pemerintah desa
didominasi kegiatan pembangunan. Oleh karena itu, lonjakan dana desa
berpeluang memeratakan pembangunan nasional.
Konflik celaka
Sekarang desa memiliki dua pengatur yang sayangnya terus
berkonflik, yaitu Kemendesa PDTT dan Kemendagri. Kedua kementerian telah
mengeluarkan aturan keuangan yang saling menafikan pihak lain.
Diwajibkan oleh Peraturan Pemerintah No 60/2014, dana desa akan
tersalur 40 persen (Rp 8 triliun) pada April, lalu Agustus tersalur 40 persen
(Rp 8 triliun), dan November 20 persen (Rp 4 triliun).
Menurut Peraturan Menteri Desa PDTT Nomor 5/2015, mulai Pasal 5,
dana desa diprioritaskan hanya untuk aspek pembangunan. Menurut Perpres
12/2015, tugas kementerian ini memang pada aspek pembangunan desa.
Rumusan prioritas dana desa tersebut menafikan pembiayaan operasional
pemerintah desa. Artinya menghilangkan tugas Kemendagri untuk menguatkan
pemerintah desa sesuai Perpres 11/2015. Padahal, dalam UU 6/2014, PP 43/2014,
dan PP 60/2014 tentang Anggaran Desa yang Bersumber dari APBN jelas tertulis
fungsi dana desa untuk pemerintahan, pembangunan, pembinaan, dan
pemberdayaan.
Di pihak lain, Peraturan Mendagri No 113/2014, Pasal 10,
membedakan antara transfer ”dana desa” dari pemerintah pusat dan ”alokasi
dana desa” via pemda. Pembedaan keduanya dapat dilihat sebagai upaya balik
mengatur prioritas penggunaan transfer dana ke desa. Padahal, UU No 6/2014
hanya mengenal alokasi dana desa untuk kedua pengertian tersebut.
Perlu segera
direvisi
Perseteruan kedua kementerian menyulitkan pemerintah desa dalam
menggunakan dan menyusun pertanggungjawaban dana desa berikut anggaran
pendapatan dan belanja desa mulai Juli 2015. Pemerintah desa akan terjerat
kesalahan nomenklatur peraturan salah satu atau kedua kementerian, saat
menggunakan 84 persen pendapatan desa yang mengucur dari pemerintah.
Namun, jika memilih mengabaikan dana transfer pemerintah,
preseden keberhasilan pengelolaan keuangan desa menjadi percuma dan akhirnya
merugikan warga desa sendiri.
Oleh sebab itu, berbagai peraturan pemerintah dan menteri yang
berlawanan dari UU No 6/2014 harus segera direvisi. Mungkin perlu juga
menunjuk pejabat baru atau lembaga lain yang dapat saling berkoordinasi guna
memandirikan desa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar