Jaga
Integritas Pilkada
Titi Anggraini ; Direktur Eksekutif Perkumpulan Pemilu dan
Demokrasi (Perludem)
|
KORAN
SINDO, 15
Februari 2017
Rabu, 15
Februari 2017 atau hari ini, secara serentak 101 daerah di Indonesia
melaksanakan pemungutan suara untuk memilih gubernur dan wakil gubernur,
bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil kota.
Presiden Joko
Widodo bahkan telah mengeluarkan keputusan menetapkan hari itu sebagai hari
libur nasional. Pemilihan kepala daerah (pilkada) kali ini meliputi 7
pemilihan gubernur, 76 pemilihan bupati, dan 18 pemilihan wali kota. DKI
Jakarta menjadi salah satu dari keseluruhan 7 provinsi yang pilkada. Provinsi
yang juga menggelar pilkada, yaitu Aceh, Bangka Belitung, Banten, Sulawesi
Barat, Gorontalo, dan Papua Barat. Data yang dilansir situs resmi KPU,
pilkada2017 kpu.go.id menyebutkan, ada 310 pasangan calon (paslon) yang
berkompetisi.
Ada 241 paslon
dicalonkan partai politik (parpol) dan 69 melalui jalur perseorangan.
Keseluruhan paslon tersebut terdiri atas 575 orang laki-laki dan 45
perempuan. Sekitar 103 orang di antaranya berlatar petahana. Ada total
41.205.115 pemilih terdaftar di daftar pemilih tetap (DPT), yang 50.063
(0,12%) di antaranya adalah pemilih difabel. Data dan angka itu bukan hanya
besar dan menarik dari sisi statistik, juga menggambarkan betapa besar
perhelatan demokrasi yang akan kita selenggarakan hari ini. Besar jumlah dan
besar pengaruhnya bagi perjalanan Indonesia dalam meneguhkan pemilu sebagai
pilihan sistem untuk melakukan sirkulasi elite.
Dinamika dan Problematika
Pilkada
serentak 2017 berada di tengah proses menuju Pemilu 2019 yang tahapannya juga
akan dimulai pada pertengahan 2017 ini. Pilkada 2017 akan jadi parameter jika
kita bisa melaluinya dengan benar (baik prosedur maupun hasil yang terpilih),
kita akan lebih siap pula menghadapi pemilu serentak legislatif dan presiden
untuk pertama kalinya pada 2019.
Mengapa
Pilkada 2017 bisa jadi parameter? Sebab, pada Pilkada 2017 melalui Pilkada
DKI Jakarta, kita tengah diuji soal kompetisi yang beradab dan soliditas kita
sebagai warga bangsa. Pilkada DKI Jakarta mengooptasi mayoritas perhatian
politik nasional. Menguasai berbagai pemberitaan media mainstream dan
konvensional, muncul di ruang-ruang diskusi privat ataupun publik warga, dan
melibatkan sentimen yang tak hanya soal politik. Isunya bergulir dan merembet
ke mana-mana. Tidak hanya melibatkan sentimen warga Jakarta, juga Sabang
sampai Merauke.
Namun, sekali
lagi pilkada 2017 bukan hanya di Jakarta. Ada 100 daerah lainnya yang punya
dinamika yang sama penting dan memengaruhi penguatan mutu demokrasi
Indonesia. Lebih dari itu, Pilkada 2017 tak lepas dari berbagai problematika
yang bukan hanya jadi masalah Jakarta. Masalah yang kalau tak diantisipasi,
diawasi, dan diselesaikan, akan bisa mengganggu integritas pilkada. Misalnya,
jelang pemungutan suara publik diresahkan dengan isu kartu tanda penduduk
(KTP) elektronik palsu dan kejelasan penggunaan hak pilih oleh mereka yang
tidak terdaftar di DPT.
Polemik ini
muncul karena ketentuan baru dalam UU No 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Wali Kota yang memberlakukan ”syarat administrasi kependudukan
sebagai syarat memilih”. Di mana KTP elektronik digunakan sebagai basis
pemutakhiran data pemilih. Bila pemilih tidak terdaftar di DPT, pemilih bisa
memilih jika membawa KTP elektronik (e-KTP) pada hari pemungutan suara.
Jika belum
memiliki e-KTP, pemilih bisa menggunakan surat keterangan (Suket) yang
diterbitkan oleh dinas kependudukan dan catatan sipil. Itu pun mereka baru
bisa menggunakan hak pilihnya setelah pukul 12.00 WIB. E-KTP palsu
dikhawatirkan bisa disalahgunakan untuk kepentingan pemenangan pilkada.
Selain itu, penggunaan Suket yang dipakai sebagai pengganti e-KTP untuk
memilih di pilkada menjadi kekhawatiran lainnya. Di DKI Jakarta saja tercatat
sekitar 57.763 Suket yang diterbitkan dalam rangka pilkada. Bahkan 50.856
warga Tangerang Selatan ”akan” menggunakan Suket pada Pilkada Banten 2017.
Suket hanya diberikan kepada mereka yang namanya ada di database kependudukan
yang dimiliki pemerintah.
Padahal
menurut KPU, masih ada penduduk yang nyata-nyata merupakan warga negara
Indonesia, tapi belum memiliki identitas kependudukan apa pun. Bagaimana
dengan hak pilih mereka? Bagaimana memastikan e-KTP dan Suket tidak
dimanipulasi dan dipakai untuk pemenangan secara ilegal karena digunakan
bukan oleh orang yang tidak berhak? Kecurigaan pun muncul dan jadi
kontroversi yang bisa merusak integritas pilkada. Selain itu, ada beberapa
potensi pelanggaran lain yang bisa terjadi jelang pemungutan suara.
Antara lain
netralitas petugas penyelenggara, politik uang dalam berbagai variannya
berupa janji atau pemberian uang dan/atau materi lainnya, intimidasi dan
kekerasan psikologis serta fisik dengan maksud memengaruhi pemilih,
manipulasi saat penghitungan dan rekapitulasi suara, kampanye di luar jadwal,
serta kampanye jahat (penyebaran kabar bohong, fitnah, provokasi) di media
konvensional ataupun media sosial.
Ikhtiar Bersama
Terkait hak
pilih, konstitusi jelas menjamin hak setiap warga negara Indonesia untuk
memilih di pemilu. Komisi Pemilihan Umum (KPU) wajib melakukan ikhtiar
maksimal untuk memastikan setiap warga negara yang punya hak pilih bisa
menggunakan haknya dan terlayani dengan baik. Tidak satu pun warga negara
boleh dicederai hak konstitusionalnya untuk memilih.
Selama prinsip
”umum” dalam ”LUBER” masih jadi landasan dalam penyelenggaraan pilkada, tak
boleh ada satu pun hak pilih hilang karena syarat administrasi. Temuan e-KTP
palsu harus ditindaklanjuti dengan penegakan hukum yang tegas oleh aparat.
Dalam konteks hari H pilkada, mesti diantisipasi dengan menguatkan
kewaspadaan aktor-aktor pemilihan di tempat pemungutan suara (TPS). Khususnya
petugas KPPS, pengawas TPS, para saksi pasangan calon, dan warga pemilih
untuk mencegah terjadinya manipulasi dan penyalahgunaan kartu identitas saat
memilih.
Semua prosedur
dan standar serta tata cara pemilihan di TPS mesti dilakukan dan diterapkan
konsisten dan tertib. Kalau aturan main diberlakukan benar dan diimbangi
pengawasan optimal, kecurangan pasti bisa diminimalkan. Semua punya tanggung
jawab mencegah terjadinya pelanggaran. Bersama berikhtiar dan ambil bagian.
Pemilih yang punya hak pilih penting untuk mengikuti proses pungut hitung di TPS.
Nikmati hari libur dengan ”wisata” demokrasi bersama warga di lingkungan sekitar.
Kalau ada
pemilih datang untuk memilih dengan membawa e-KTP atau surat keterangan
karena mereka tidak terdaftar di DPT, warga bisa bersama-sama ikut memastikan
bahwa pemilih tersebut adalah pemilih yang berhak dan penggunaannya sesuai
dengan ketentuan. Saksi paslon juga harus jeli mengikuti setiap proses. Bukan
karena tidak percaya kepada petugas penyelenggara, tapi sebagai kewaspadaan
untuk mencegah terjadinya kecurangan dan penyimpangan. Selama ini banyak
saksi paslon yang sekadar berorientasi mencatat hasil pungut hitung di TPS
dan tidak terlalu peduli dengan proses teknis pemungutan dan penghitungan
suara.
Paradigma
saksi seperti itu yang harus direformasi. Militansi saksi harus dibangun
untuk mengawal proses pilkada. Bukan berarti saksi paslon bertindak
overacting dan responsif sporadis. Militansi saksi dan tim paslon harus
dibangun dengan berpegang teguh pada standar, prosedur, dan aturan main yang
ada. KPU dan jajarannya harus dipastikan bekerja transparan dan akuntabel
untuk mencegah kecurigaan dari publik atau paslon.
Selain itu,
aparatur birokrasi, polisi, TNI, dan semua pihak yang semestinya bersikap
netral, wajib tetap menjaga netralitasnya. Media diharap berimbang memotret
daerah-daerah pilkada lain agar ada distribusi isu-isu kedaerahan yang sama
dalam penyelenggaraan pilkada, tidak melulu soal Pilkada DKI Jakarta. Pemilih
mutlak memilih dengan benar. Memilih dengan mendasarkan pada rekam jejak dan
kinerja pasangan calon, pada profesi mereka sebelumnya, untuk mengukur
kemampuannya merealisasikan semua janji, visi, misi, dan programnya.
Harapannya,
pilkada serentak 2017 tidak hanya baik secara prosedur, juga menghasilkan
pemimpin berkualitas yang berpihak pada rakyat. Demokrasi bernilai jika
menghasilkan pemimpin yang mampu menciptakan peluang, pembangunan, dan
pelayanan publik lebih baik bagi rakyatnya. Bukan sebaliknya, memecah dan
membelah warga. Mari bersama jaga dan kawal integritas pilkada kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar