Terobosan Dasar Kebijakan Pangan
Adhi S Lukman ; Praktisi Industri Pangan; Ketua Umum
Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI)
|
KOMPAS,
02 September 2015
Gonjang-ganjing
tingginya harga daging sapi, disusul daging ayam, dihentikannya impor jagung,
pengurangan impor garam, gula, dan lain-lain menjadi perbincangan luas dan
seakan tiada henti silih berganti.
Penyelesaian sesaat hanya
berfungsi sebagai pemadam kebakaran, tentu tidak akan menyelesaikan masalah
dalam jangka panjang. Perlu pemetaan sumber daya dan konsumsi, termasuk
areanya, juga penting adanya data yang valid agar kebijakan yang dikeluarkan
tepat. Namun, tak kalah penting adalah terobosan pola pikir sebagai penentu
arah kebijakan.
Mengatasi masalah ketersediaan
pangan, khususnya bahan pokok, perlu terobosan fundamental. Selama ini kita
selalu memikirkan bagaimana daging sapi harus murah, beras harus tersedia dan
terjangkau, dan sebagainya. Semua berbasis komoditas sehingga pada saat
komoditas itu ada masalah, terganggu produksinya, terpengaruh perubahan
iklim, dan sebagainya, akhirnya semua menjadi panik dan bebannya yang luar
biasa.
Dalam UU Nomor 18 Tahun 2012
tentang Pangan didefinisikan: ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya
pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tecermin dari tersedianya
pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutu; aman, beragam, bergizi, merata,
dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya
masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara
berkelanjutan.
Tersirat dari UU itu, kebijakan
ketersediaan pangan tidak mengarah jenis komoditas tertentu, tetapi pangan
yang beragam dan bergizi. Bagaimana pemerintah wajib menjaga ketersediaan
pangan pokok untuk memenuhi kebutuhan gizi seperti yang telah dicanangkan
dalam angka kecukupan gizi (AKG)?
Perlu terobosan dan keberanian
menentukan ketahanan pangan berbasis gizi. Misalnya, ketersediaan pangan
berbasis protein hewani. Dengan demikian, kewajiban pemerintah menjaga
ketersediaan dan stabilitas sumber protein hewani, yang bisa berasal dari
berbagai sumber, seperti daging/telur ayam atau unggas lainnya, ikan,
kambing, dan daging sapi. Apabila satu komoditas terjadi kekurangan pasokan,
bisa digantikan dengan yang lain. Apabila pada saat daging sapi berkurang
pasokannya, pemerintah bisa mendorong konsumsi daging ayam, ikan, dll.
Sudah seharusnya juga
pemerintah mendorong komoditas yang tersedia dan bahkan sudah swasembada,
seperti daging ayam dan telur unggas. Juga bisa didorong konsumsi ikan/hasil
laut, mengingat potensi Indonesia yang luar biasa. Gerakan ”Ayo Makan Ikan”
seperti yang dicanangkan Himpunan Alumni IPB bersama Kementerian Kelautan dan
Perikanan bisa jadi pendorong pemenuhan
ketahanan pangan Indonesia berbasis
protein hewani.
Jika dikaitkan dengan
keberagaman atau diversifikasi pangan berbasis karbohidrat, pemerintah bisa
menetapkan kebijakan ketahanan pangan berbasis energi. Cadangan stok nasional
dan daerah tak harus berupa beras, bisa saja dari jagung, ubi, singkong,
sagu, dan lain-lain.
Apalagi Pasal 12 UU Pangan
tentang ketersediaan pangan menyebutkan dalam mewujudkan ketersediaan pangan
melalui pengembangan pangan lokal, pemerintah daerah menetapkan jenis pangan
lokalnya. Dan, pemerintah menetapkan sentra produksi pangan lokal sesuai
usulan pemerintah daerah. Maka, ketersediaan sumber energi asal karbohidrat
tidak perlu dipaksakan harus beras, tetapi disesuaikan dengan ketersediaan
pangan lokal. Misal, Papua bisa didorong ketersediaan sagu.
Pemerintah telah menetapkan
AKG, antara lain tentang angka kecukupan energi, protein, lemak, karbohidrat,
serat, dan air per hari. Dan, hasil Riset Kesehatan Dasar 2010, dihitung
rata-rata pada tingkat konsumsi angka kecukupan energi sebesar 2.150 kkal dan
angka kecukupan protein sebesar 57 gram per kapita per hari, dengan anjuran
25 persen dari sumber hewani (Hardinsyah dkk, 2012).
Dengan acuan itu, mari kita
siapkan konsumsi kita sehari-hari dari berbagai sumber yang tersedia,
ketersediaan pangan lokal menjadi prioritas, dan tidak memaksakan mengonsumsi
sumber pangan yang kurang ketersediaannya. Dengan demikian, kita akan
membantu stabilitas harga sesuai hukum pasar ”permintaan-penawaran”.
Ketahanan pangan Indonesia pun jadi baik: tidak tiap saat terjadi
gonjang-ganjing karena kekurangan salah satu komoditas yang datang silih
berganti.
Pemerintah perlu mengubah
Peraturan Presiden tentang Barang Kebutuhan Pokok menjadi Kebutuhan Gizi
Minimal. Dari sana, bisa dijabarkan dari mana kebutuhan itu dipenuhi, apa
saja alternatif ketersediaannya, di mana diproduksi, dan di mana dikonsumsi.
Semua itu harus terangkum dalam Peta Jalan Menuju Ketahanan Pangan Berbasis
Pemenuhan Nilai Gizi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar