Tantangan Serius Cybercrime
Bambang Soesatyo ; Anggota Komisi III DPR RI;
Ketua Bidang Pertahanan dan
Keamanan, Pengurus Pusat FKPPI 2015-2020
|
KORAN
SINDO, 04 September 2015
Kompetensi dan kapabilitas polisi serta intelijen negara harus ditingkatkan
agar mampu merespons penetrasi sindikat kejahatan dunia maya atau cybercrime,
sindikat narkotika internasional, hingga pelaku terorisme lokal. Respons pada
tiga kejahatan tersebut tidak boleh sambil lalu karena ketahanan nasional
menjadi taruhannya. Apalagi, peran warganegara asing (WNA) cukup dominan.
Polisi menggerebek 27 warga negara Taiwan di sebuah rumah di Jalan Sentra
Duta Raya, Bandung, Rabu, 26 Agustus 2015 dini hari. Bersama tiga WNI, 27 WNA
itu terlibat kejahatan narkoba, cybercrime, dan imigrasi. Polisi menyita 2,5
gram sabu.
Di Bali polisi setempat juga menangkap 48 WNA. Selain dokumen
imigrasi mereka bermasalah, puluhan WNA itu juga diduga terlibat cybercrime.
Selama paruh pertama 2015, Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan
HAM mencatat 300 kasus WNA pelaku cybercrime.
Sejauh ini para pelaku hanya menjadikan Indonesia sebagai basis
operasi karena mereka mengincar pebisnis WNA juga. Cybercrime dengan pelaku
WNA, utamanya dari China dan Taiwan, pernah terungkap pada Juni 2011, saat
polisi menangkap 73 WN China dan 97 WN Taiwan di Jabodetabek. Pada Desember
2012 polisi lagi-lagi menangkap70 orang China danTaiwan di Jakarta Barat
karena terlibat cybercrime.
Kota Medan dan Surabaya pun tak luput dari serbuan pelaku
cybercrime asal China dan Taiwan. Rangkaian contoh kasus tadi memberi
gambaran tentang gejala peningkatan cybercrime pada sejumlah kota besar di
Indonesia. Seperti kejahatan narkotika dan terorisme, institusi penegak hukum
di Indonesia harus segera beradaptasi dengan modus kejahatan yang satu ini agar
tidak kedodoran.
Catatan dan data pada rangkaian contoh kasus tadi menunjukkan
bahwa penegak hukum seperti kedodoran sebab baru bisa menindak, tetapi belum
mampu mencegah. Untungnya, sejauh ini belum ada keluhan warga lokal yang
merasa dirugikan akibat cybercrime oleh WNA. Namun, tidak ada yang tahu apa
yang akan terjadi di kemudian hari.
Karena itu, untuk memberi perlindungan maksimal kepada
masyarakat, kompetensi dan kapabilitas polisi serta intelijen negara patut
ditingkatkan. Institusi penegak hukum harus mampu menangkal kejahatan yang
memanfaatkan komputer dan jaringan internet. Cybercrime di Indonesia
diprediksi semakin marak pada tahun-tahun mendatang.
Indonesia yang demikian terbuka, apalagi menyandang status
emerging market, memang menghadirkan sejumlah konsekuensi. Salah satunya
tingginya intensitas arus keluar-masuk WNA untuk berbagai keperluan. Ambil
contoh pada arus keluar-masuk WNA asal China. Partisipasi China dalam
pembangunan proyek kelistrikan 35.000 megawatt di Indonesia diperkirakan
menghadirkan jutaan pekerja asal China yang akanbekerja di sejumlah daerah.
Konsekuensi yang sama pun akan terjadi jika baik China atau
Jepang memenangkan tender pembangunan high speed train jalur Jakarta-Bandung.
Kalau proyek infrastruktur strategis lain yang didanai investor asing bisa
direalisasikan dalam jangka dekat ini, belasan juta pekerja WNA akan hilir
mudik.
Jika polisi dan intelijen negara tidak kompeten merespons
cybercrime, akan terbangun persepsi negatif di benak WNA yang bermukim di sini.
Mereka merasa menjadi target sasaran yang sangat mudah bagi pelaku
cybercrime. Lagi pula, layak untuk diasumsikan bahwa cybercrime yang saat ini
dilakukan oleh WNA akan menginspirasi para pelaku tindak kriminal di dalam
negeri.
Bukankah modus kejahatan yang relatif baru identik dengan virus
yang mudah menyebar dan menjangkiti banyak orang? Tak berapa lama lagi, bukan
tidak mungkin cybercrime akan semakin marak dipraktikkan pelaku tindak
kriminal di dalam negeri.
Jangan Terlambat
Menurut perusahaan pengamanan perangkat lunak, Trend Micro, saat
ini sedang terjadi evolusi di dunia cybercrime. Tak hanya metode, tetapi juga
sarana, prasarana, serta target sasaran. Potensi ancaman terus berkembang dan
makin dahsyat karena semakin canggih dan kreatifnya pelaku cybercrime.
Trend Micro juga mengingatkan bahwa pelaku cybercrime kini
merambah hingga ke pemanfaatan perangkat lunak bug untuk meretas pesawat
terbang, kendaraan pintar, hingga acara stasiun televisi. Karena itu, menjadi
sangat relevan jika pemerintah dan penegak hukum perlu memberi perhatian
khusus terhadap perkembangan cybercrime era terkini dan masa depan.
Langkah yang antisipatif sangat diperlukan agar keterlambatan
Indonesia dalam kasus merespons penetrasi sindikat narkotika internasional
dan terorisme tidak berulang. Akibat keterlambatan itu, pelaku teror lokal
terus bertumbuh, sementara sindikat kejahatan narkotika internasional nyaris
tak pernah jera menyelundupkan barangbarang haram itu ke Indonesia.
Banyak indikator atau peristiwa yang menggambarkan tingginya
intensitas terorisme lokal. Tim Gegana Polda Metro Jaya, Sabtu (29/8) sekitar
pukul 10.00 WIB meledakkan sebuah benda mencurigakan. Benda yang diduga bom
itu terbungkus plastik, diletakkan di pinggir jalan Kalimalang, Jakarta
Timur. Sebelumnya terjadi ledakan bom berdaya ledak rendah di Mal Alam
Sutera, Tangerang, Kamis (9/7).
Jelang akhir Februari 2015, Mal ITC Depok juga diguncang ledakan
bom rakitan. Arus penyelundupan narkoba pun terbilang cukup tinggi. Kamis
(27/8), Bea Cukai dan Polres Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, menggagalkan
penyelundupan 94 kilogram sabusabu oleh empat WNA asal China. Juga disita
112.189 butir pil ekstasi serta 300 kilogram soda api yang dikemas dalam 63
kardus.
Beberapa hari sebelumnya, tepatnya Senin (24/8), petugas di
Bandara Sultan Iskandar Muda, Blangbintang, Aceh Besar, menggagalkan
penyeludupan sabu-sabu dari Malaysia seberat 638 gram. Intensitas
penyelundupan narkoba via bandara terbilang sangat tinggi. Pihak berwenang Bandara
Soetta telah menggagalkan lima penyelundupan narkoba pada periode 27
Januari-18 Februari 2015.
Barang bukti dari lima kasus itu meliputi 10.513 gram bruto
methamphetamine dan 60 gram bruto ketamine seharga Rp14,26 miliar.
Penyelundupan dan perdagangan narkoba di dalam negeri mulai marak ketika
semua institusi penegak hukum membiarkan anggota sindikat narkotika
internasional dari sejumlah negara di Afrika, utamanya Nigeria, leluasa masuk
dan membangun sel-sel jaringan mereka di sejumlah kota pada akhir dasawarsa
90-an.
Anggota sindikat narkoba itu masuk Indonesia berkedok pedagang
atau wisatawan. Di Jakarta misalnya para wisatawan kulit hitam itu lebih suka
memilih hotel murah atau rumah penginapan di kawasan Tanah Abang serta
Petamburan, Jakarta Pusat. Mereka kemudian membangun jaringan dengan
melakukan pendekatan kepada warga yang mereka temui di mana saja, termasuk
perempuan.
Pada masa itu narkoba bisa ditransaksikan di gang-gang
permukiman warga Jakarta. Baru pada 2003, Badan Narkotika Nasional (BNN)
meminta Departemen Luar Negeri memperketat pemberian visa kepada wisatawan
asing warga kulit hitam, terutama asal Nigeria.
Namun, pengetatan itu tidak efektif menurunkan intensitas
penyelundupan dan perdagangan narkoba di dalam negeri karena sel-sel jaringan
sindikat sudah melebar ke mana-mana. BNN mengungkapkan, kurang lebih 100
orang kurir narkoba jaringan internasional Nigeria merupakan perempuan
Indonesia.
Kecenderungan ini terbaca dari jumlah perempuan Indonesia yang
ditangkap di Filipina, Peru, Kolombia, Bangkok, Tokyo, dan sejumlah negara
lain. Berdasarkan catatan dan semua kecenderungan tadi, perlu dibangun
kesadaran bersama bahwa penetrasi pelaku cybercrime dan sindikat narkotika
internasional masih menjadi tantangan yang teramat serius.
Begitu juga terorisme karena taruhannya adalah ketahanan
nasional. Semoga pemerintah dan semua institusi penegak hukum tidak
meremehkan potensi ancaman ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar