Selasa, 01 September 2015

Standar Penegak Hukum

Standar Penegak Hukum

Muhammad Yusuf  ;  Kepala PPATK
                                                     KOMPAS, 01 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Ibarat pesawat, posisi petinggi instansi penegak hukum—KPK, kejaksaan, dan kepolisian—merupakan pilotnya. Di tangan mereka nasib para penumpang ditentukan sampai atau tidak ke tempat tujuannya.

Pengendalian dan penegakan hukum yang dilakukan oleh penegak hukum sangat dipengaruhi oleh figur atau profil dari pemimpin penegak hukum dimaksud. Hal ini dapat kita lihat bagaimana kuatnya figur dan magnet serta pengaruh yang dimiliki Jenderal Hoegeng, Jaksa Agung Suprapto, Jaksa Agung Baharuddin Lopa, demikian pula Ketua Mahkamah Agung Mudjono, dalam memberikan warna semangat dan perilaku para penegak hukum di bawah kendali mereka.

Indonesia sebagai negara yang memiliki banyak ahli hukum, memiliki perangkat hukum yang memadai, didukung oleh lembaga yang mempunyai kemampuan menelusuri aliran dana dari pihak terkait dalam suatu kejahatan, seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), seharusnya sudah sama posisi penegakan hukumnya dengan negara-negara tetangga seperti Singapura, Jepang, bahkan Norwegia sekalipun.

Pertanyaan mendasar, mengapa hingga saat ini berdasarkan laporan hasil survei Transparency International Corruption Index tahun 2014, Indonesia masih berada di urutan ke-107 dari 174 negara, bahkan posisi tersebut tidaklah menggambarkan Indonesia sebagai bangsa yang memiliki agama, menjunjung tinggi moralitas, mempunyai fasilitas dan sistem informasi yang memadai dengan didukung oleh PPATK sebagai lembaga yang mampu membantu penelusuran aliran dana dari pelaku kejahatan di bidang ekonomi.

Pokok masalah

Penulis memandang ada tiga pokok masalah yang membuat Indonesia masih tertinggal dalam bidang pemberantasan korupsi khususnya dan penegakan hukum pada umumnya, yaitu Indonesia masih miskin tokoh panutan di lingkungan penegak hukum yang dapat menjadi roda penggerak ke arah perubahan yang lebih baik dan bersifat revolusioner. Tokoh panutan di sini mengandung arti bahwa orang tersebut mempunyai pengaruh yang pada umumnya dimiliki oleh petinggi atau pemimpin instansi penegak hukum.

Sang petinggi atau pemimpin instansi penegak hukum haruslah memiliki integritas yang dapat diandalkan dan dibanggakan. Integritas yang dimaksud di sini meliputi aspek motivasi yang harus berorientasi pada mewujudkan keadilan dan kebenaran yang bermuara pada kepastian hukum. Komponen berikutnya dari integritas adalah sikap yang bercirikan berani, bernyali, tegas, tega tetapi rendah hati, dan berpola hidup sederhana.

Selanjutnya kejujuran. Kejujuran sebagai salah satu komponen dari integritas harus menjadi pakaian sehari-hari yang tergambar melalui tutur kata, perilaku dan sikap yang baik, serta gaya hidup sederhana dari sang petinggi. Komponen lain dari integritas adalah independensi yang menggambarkan sang penegak hukum tidak dapat dipengaruhi oleh siapa pun, dengan apa pun, karena sang petinggi memang bebas dari kepentingan. Adapun komponen terakhir dari integritas adalah komitmen. Komitmenmerupakan bentuk nyata dari tekad sang pemimpin sebagai insan yang amanah memegang teguh janji yang telah dinyatakannya.

Adapun syarat kedua yang harus dimiliki seseorang petinggi atau pemimpin instansi penegak hukum, termasuk para penegak hukum di bawahnya, adalah kompetensi. Kompetensi di sini meliputi pemahaman yang bersangkutan terhadap norma hukum yang tertuang dalam undang-undang berikut turunannya dan latar belakang serta tujuan dari norma tersebut. Ditambah lagi pemahaman dari yang bersangkutan tentang etiket (tata cara) mengimplementasikan atau menegakkan norma hukum tersebut secara arif, bijaksana tanpa arogansi dan kesewenang-wenangan. Dengan kompetensi seperti itu, penegakan hukum yang dilakukan sang petinggi dan jajarannya akan menimbulkan kenyamanan dan akan sejalan dengan maksud dan tujuan dibuatnya norma tersebut (rechtmatigheid dan doelmatigheid).

Seandainya dua syarat pokok tersebut dimiliki para petinggi penegak hukum, tentu apa yang mereka lakukan akan memberi warna pada jajaran di bawahnya yang pada akhirnya akan melahirkan faktor ketiga yang juga tak kalah pentingnya dalam proses penegakan hukum, yaitu budaya masyarakat. Budaya masyarakat menjadi penting karena tanpa kontribusi dan partisipasi masyarakat, tentu penegak hukum akan kesulitan mencari dan mendapatkan akses serta mengumpulkan alat bukti untuk mengungkap kasus yang ditanganinya. Partisipasi masyarakat akan ditentukan oleh integritas, pelayanan, dan kompetensi sang penegak hukum.

Penegak hukum ideal

Cobalah bayangkan jika penegak hukumnya cerdas, profesional, rendah hati, disiplin melayani, santun, dan mempunyai gaya hidup yang sederhana. Tentu masyarakat akan dengan senang hati membantu penegak hukum dan berpartisipasi dalam proses pengungkapan suatu kasus dan penegakan hukum. Namun, sebaliknya jika petinggi atau pemimpin instansi penegak hukum nyatanya tidak memiliki integritas, kompetensi yang baik, dan bersikap sewenang-wenang atau arogan, tentu masyarakat akan kapok dan berusaha untuk tidak berhubungan dengan instansi penegak hukum.

Nawacita butir ke-4 yang berbunyi ”Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan tepercaya”, tentu tidak akan terlaksana jika ketiga komponen tersebut tidak dimiliki atau diabaikan oleh petinggi instansi penegak hukum dan jajarannya. Sebagai warga masyarakat, mari kita doakan agar proses penegakan hukum di Indonesia berjalan dengan baik, nyaman, dan menyenangkan dengan tetap berorientasi pada terwujudnya kepastian hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran serta kemanfaatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar