Selasa, 01 September 2015

Paradigma ISIS: Anti-Kebudayaan

Paradigma ISIS: Anti-Kebudayaan

Muhammad Ja'far  ;  Pengamat Politik Timur Tengah
                                                 KORAN TEMPO, 31 Agustus 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           


Kelompok Islamic State of Iraq and Syam (ISIS) mengeksekusi mati arkeolog terkemuka timur tengah, Khaled al-Asad. Ilmuwan ini berdedikasi total dan berjasa penting bagi sejarah arkeologi Timur Tengah dan Suriah khususnya. Salah satu arkeologi penting rawatan Khaled berada di Kota Palmyra. Lebih dari 40 tahun Khaled merawat situs sejarah berusia 2.000 tahun itu. Saat kelompok ISIS menduduki kota itu, Khaled tak mau mengungsi seperti yang lain, karena kecintaannya kepada arkeologi kota itu. Setelah ditangkap, konon Khaled masih berusaha meyakinkan dan membujuk kelompok ISIS untuk tidak merusak situs bersejarah itu. Ia mencoba mengubah paradigma ISIS tentang kebudayaan. Tapi sayangnya, bukan hanya Palmyra yang diluluh-lantakkan, Khaled juga dibunuh ISIS.

Palmyra bukan yang pertama. Dalam setahun terakhir, banyak arkeologi dihancurkan ISIS. Nimrud, yang dibangun pada abad ke-13 SM, situs arkeologi yang kerap disebut sebagai tempat berawalnya peradaban dunia, menjadi sasaran penghancuran ISIS. Situs Khorsabad di Provinsi Nineveh, Irak, juga demikian. ISIS juga menghancurkan artefak unik, patung-patung, kuil, candi, gereja, makam, manuskrip, dan benda koleksi museum. Kenapa ISIS sangat membenci arkeologi? Apa motif di balik pemusnahan cagar budaya itu?

Pertama, motif teologis. ISIS menganggap arkeologi sebagai simbol politeisme, representasi pengingkaran terhadap tauhid. Semua situs purbakala yang dihancurkan ISIS merupakan representasi semua mazhab dan agama: Islam Syiah, Islam Sunni, Kristen, dan sekte-sekte lokal seperti Yazidi. Dalam paradigma ISIS, semua kelompok keagamaan selain dirinya adalah kafir. Oleh ISIS, situs purbakala disimbolkan sebagai bentuk kesyirikan. Paradigma Wahabisme kuat dalam gerakan kelompok ISIS. Teologi model ini menentang keras akulturasi budaya ke dalam ajaran dan praktek Islam. Mereka sangat anti-kebudayaan. Kebudayaan dianggap mencemari otentisitas Islam. Tapi, ironisnya, basis logikanya paradoks: alergi kepada kebudayaan, tapi tak memiliki batas pemisahan yang jelas tentang Islam dan kebudayaan. Menolak kebudayaan, tapi berdiri di atas klaim superioritas kebudayaan Arab. Nalar teologi ISIS kontradiktif. Belum lagi banalitas kekerasan yang dipertontonkan kelompok ISIS: mutlak bertentangan dengan teologi Islam. Dilihat dari perspektif ini, argumentasi teologis ISIS tentang penghancuran situs purbakala hanya klaim semata.

Kedua, motif ideologis. Kebencian ISIS kepada arkeologi bertendensi ideologis. ISIS menganut ideologi antikebudayaan. Ini strategi ISIS meneguhkan legitimasi kuasanya. Penghancuran simbol-simbol yang dianggap penting menjadi cara kelompok ini menegaskan superioritas ideologisnya atas lawan ideologisnya. ISIS mencoba memainkan politik ideologi simbolis untuk membangun rasio kuasanya. Jika strategi ini dimaksudkan memperkuat basis kuasanya, yang terjadi justru sebaliknya: publik global dan muslimin khususnya semakin negatif persepsinya terhadap ideologi ISIS.

Ketiga, motif ekonomi. Perusakan arkeologi juga bermotif ekonomi. Setidaknya, ada empat sumber pendanaan gerakan ISIS: menjual minyak mentah, menebuskan sandera, memeras pengusaha lokal dengan dalih "zakat", dan menjual arkeologi. Benda bersejarah dijual ISIS ke penadah dan kolektor di pasar gelap. Sebelum dieksekusi, Khaled al-Asad dipaksa menunjukkan tempat disembunyikannya harta karun Palmyra. Tapi upaya itu gagal. Entah harta karun itu hanya fantasi finansial ISIS atau karena Khaled menolak kemauan ISIS itu. Yang jelas, ini membuktikan motif ekonomi ISIS di balik argumentasi teologis dan ideologisnya yang anti-kebudayaan. Beberapa kontradiksi logika yang dijelaskan di atas juga bisa dilihat dalam perspektif ini.

Keempat, motif politis. Perusakan situs arkeologi oleh ISIS mirip dengan yang dilakukan Taliban di Afganistan. Strategi ini biasanya dilakukan untuk menekan dunia internasional secara politis. Perusakan situs bersejarah selalu menimbulkan reaksi masif berskala global. Ini dimanfaatkan ISIS untuk menaikkan daya tawar politik. Strategi ini juga dilakukan untuk memprovokasi politik internasional. Untuk menaikkan tensi politik global. Selain itu, juga bermotif populerisasi. Menciptakan kontroversi untuk menarik perhatian politik global. Tapi, secara substansial, tujuan-tujuan politis tersebut tak efektif dan tak sepenuhnya dicapai ISIS.

Keempat motif di atas bermuara pada satu titik: paradigma ISIS adalah anti-kebudayaan. Kelompok ini tidak memberi ruang sekecil apa pun kepada ranah kultural. Dengan demikian, seluruh elemen yang berdimensi kultural, baik simbol maupun praktek, akan mereka hancurkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar