Obat penguat
Samuel Mulia ; Penulis Kolom “Parodi” Kompas Minggu
|
KOMPAS,
13 September 2015
Saya membaca tulisan
duka lara seorang istri yang ditinggal suaminya meninggal secara tiba-tiba di
sebuah media sosial. Curahan dan luapan emosinya yang tak terbendung itu
memampukan air mata saya berlinang.
Daging dan ruh
Ada dua hal yang
menarik dari membaca tulisan lara itu. Tulisan sang istri dan mereka yang
mengirimkan ucapan belasungkawa. Ada berbagai bentuk ekspresi rasa dukacita.
Ada yang supersingkat, jelas, tepat dengan hanya menulis RIP tanpa
embel-embel apa pun sampai yang panjang dan menyayat hati.
Membaca ucapan
dukacita superpendek berupa tiga huruf, saya sungguh tak tahu alasannya.
Apakah yang bersangkutan tak berdaya mendengar berita dukacita yang tiba-tiba
datangnya sehingga tak mampu ”berpikir panjang” atau mereka mengenal almarhum
sebatas teman biasa. Kalau kemudian Anda bertanya, apakah dengan menulis
ucapan dukacita sesingkat itu mereka sejujurnya merasa kehilangan atau tidak,
saya juga tidak tahu.
Sementara itu, ketika
saya membaca ucapan dukacita yang panjang dan menyayat hati, saya
membayangkan mbak penjual nasi rames yang meracik segala jenis lauk-pauk
dalam satu piring. Mereka menuliskan kenangan bersama almarhum, kebaikan-kebaikan
almarhum selama hidupnya, dipadukan dengan ayat-ayat penghibur. Beberapa di
antaranya berbagi cerita tentang masalah kehilangan yang sama, yang telah
mereka alami sebelumnya.
Dari hasil membaca
ungkapan dukacita itu, keduanya memberikan ”obat penguat” dengan tujuan agar
istri almarhum mendapatkan kekuatan dan tidak jatuh terpuruk dalam kesedihan
yang mendalam dan berlarut-larut.
Namun, pada waktu yang
bersamaan, saya bertanya. Dari dua jenis cara mengekspresikan rasa
belasungkawa itu, yang mana yang paling mendekati bijak bagi si penerima?
Yang singkat, jelas, dan tepat atau yang panjang dengan segala cerita di
dalamnya?
Dari apa yang saya
baca, tulisan sang istri adalah yang paling menarik. Sebuah tulisan lara yang
mencerminkan pergumulan antara dirinya sebagai manusia daging dan sebagai
manusia ruh. Ia mengeluh, kemudian meyakinkan dirinya bahwa Tuhan akan
memberi kekuatan. Kemudian mengeluh lagi, dan meyakinkan dirinya lagi.
Demikian seterusnya.
Tepat waktu, tepat takaran
Setelah membaca tulisan
pergumulan daging dan ruh ini, saya berpikir, mungkin suatu hari ketika saya
berkeinginan menunjukkan rasa dukacita dalam bentuk tulisan, apalagi ditulis
di media sosial, dasar tulisan yang harus saya gunakan adalah pergumulan
daging dan ruh dari seseorang yang kehilangan. Bukan sebuah ungkapan
belasungkawa yang mirip sebuah khotbah seorang pendeta atau nasihat dokter
kepada pasien yang sedang sekarat.
Beberapa tahun lalu,
ayah dan ibu saya meninggal. Dalam situasi seperti itu, kalimat penghibur tak
memberi efek apa pun. Penghiburan tidak, kekuatan pun tidak. Apalagi kalau
disampaikan pada hari kejadian, ketika kepala terasa kosong melompong, ketika
badan terasa lemas setengah mati dan luluh lantak.
Perasaan sedih,
kecewa, marah, tidak bisa menerima keadaan, semua bercampur aduk menjadi
satu. Dan di saat itu, saya hanya ingin dibiarkan menjadi manusia daging yang
lemah lunglai, yang memaki-maki, yang berteriak, yang tak perlu sampai harus
bersandiwara memainkan peran sebagai manusia daging dan manusia ruh.
Saya ingin dibiarkan
berpikir bahwa hidup adil itu adalah kebohongan terbesar yang pernah
disuarakan oleh manusia. Saya ingin dibiarkan menjadi manusia yang memercayai
Tuhan itu pemberi kekuatan, tetapi saya tetap tidak merasakan kekuatan saat
itu.
Kondisi semacam itu
bisa berlarut atau cepat berlalu, bergantung pada tiga hal. Pertama, waktu
kejadiannya. Kedua, penyebab kejadian. Dan terakhir, yang paling menentukan
adalah kekuatan orang yang menerima kejadian itu. Saya menangis terisak, adik
saya menangis pun tidak. Dan itu yang malah membuat ayah menjadi kedernya
setengah mati.
Kalau kembali kepada
pertanyaan saya di atas, ucapan belasungkawa manakah yang paling bijak? Kalau
saya boleh menjawab pertanyaan sendiri, jawabannya, kebijakan terbesar adalah
membiarkan saya menjadi manusia daging yang sesungguhnya. Biarkan saya lara
dan luluh lantak.
Manusia daging tak
akan bisa menerima obat penguat yang diberikan melalui ucapan penghibur dan
nasihat yang menguatkan di saat mulutnya saja tak bisa membuka. Manusia
daging harus mencapai keadaan yang benar tak berdaya sebelum ia bisa menerima
apa yang diberikan ruh melalui kalimat-kalimat dan nasihat penghiburan.
Karena sejujurnya,
lara yang paling meluluhlantakkan adalah ketika semua acara dukacita itu berakhir
dan saya harus memulai hidup tanpa mereka yang tercinta itu. Maka, mungkin
dibutuhkan kepekaan yang sangat ketika seseorang hendak memberikan obat
penguat. Kepekaan itu diperlukan untuk memberikan obat penguat yang tepat
waktu dan tepat takaran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar