Lukisan Sultan IX
Agus Dermawan T ; Pengamat Budaya dan Seni
|
KORAN
TEMPO, 05 September 2015
Selarik running text
di televisi mengabarkan bahwa Kanjeng Raden Ayu Nindyokirono wafat pada Rabu
malam, 2 September 2015, di Jakarta. Wanita ini adalah istri Sultan Hamengku
Buwono IX yang dikenal luas dengan panggilan Norma. Namun berita itu segera
hilang dari televisi lantaran digempur berita babon yang gaduh: pencopotan
Budi Waseso sebagai Kepala Bareskrim. Di tengah minimnya berita itu, saya
ingin mengingat Norma, yang sedikit saya kenal tapi mengagihkan kenangan
begitu kental.
Norma, kelahiran Bangka, 3 Desember 1930, adalah istri kelima
Sultan, di samping KRAy Pintaka Purnomo, KRAy Windyaningrum, KRAy Astungkara,
dan KRAy Ciptomurti. Namun, meski menjadi istri kelima, kedudukan Norma
setara dengan istri-istri yang lain, lantaran Sultan menganggap semua
istrinya sebagai garwa ampeyan atau
klangenan dalem, alias selir.
Dengan kata lain, tak ada yang diposisikan sebagai permaisuri. Sebagai istri
terakhir, Norma aktif mendampingi Sultan dalam bentangan usianya, sampai
munculnya cerita ini.
Syahdan, Basoeki amat berhasrat melukis Sultan secara langsung
sejak dulu. Namun Sultan, yang pernah "sakit hati politik" kepada
Basoeki, tak pernah melayani. Pada medio Januari 1987, Norma tiba-tiba
mengundang Basoeki untuk sowan ke Sultan di Kedaton Shwarna Bhumi, Bogor,
istana Norma. Di Kedaton, Basoeki bersujud sambil bertutur bahwa ia hendak
melukis Sultan. Hanya Sultan, karena ini sebuah kaul. Sultan mengabulkan.
Pada Selasa Kliwon, 13 Januari 1987, Sultan dan Norma datang ke
Studio Basoeki Abdullah, Jalan Sisingamangaraja, Jakarta. Pertama, Sultan
dilukis sendirian. Kedua, Sultan dan Norma dalam satu kanvas. Acara melukis
tahap pertama usai. Sultan dan Norma pun pulang.
Beberapa hari kemudian, kehebohan terjadi. Norma menemukan
kuitansi berstempel Studio Basoeki Abdulah dalam jas Sultan, yang menerangkan
harga lukisan itu. Sultan terperanjat sebentar, sedangkan Norma gusar tak
alang-kepalang. "Kami tidak pernah minta dilukis! Basoekilah yang
memaksa kami untuk dilukis. Kenapa ia menagih?" kata Norma lewat telepon
ke Studio Basoeki. Dan, entah mengapa, Norma menelepon saya (di majalah
Gadis). Tak kurang dari 20 menit ia mengomeli Studio Basoeki. "Mas Agus
kan dekat dengan Pak Bas. Tolong ajari mereka," katanya berapi-api.
Pihak studio mengatakan kuitansi itu khusus untuk lukisan yang
menggambarkan Norma. Sebab sejak awal kaul Basoeki adalah hanya melukis
Sultan. Norma tidak bisa memahami logika itu. Lukisan pun tidak diambil.
(Info: karya penuh cerita ini akan dipajang dalam pagelaran 100 Tahun Basoeki
Abdullah, akhir September 2015, di Museum Nasional, Jakarta).
Mungkin gara-gara peristiwa itu Sultan dan Norma menjadi sangat
dekat dengan seni rupa. Pada 1988, pemerintah Yogyakarta lantas
menyelenggarakan lomba melukis dan fotografi, "Yogya sebagai Kota
Perjuangan", untuk memperebutkan trofi Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Norma dan Sultan dengan gembira mengundang panitia dan dewan juri (termasuk
saya) di kantor Sultan, Jalan Prapatan, Jakarta, pada 29 Juli 1988. Ketika
Sultan wafat pada 2 Oktober 1988, Norma mengatakan lukisan Basoeki tersebut
adalah rekaman seni on the spot
terakhir atas sosok Sultan. Selamat jalan, Bu Norma. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar