Lindungilah Keindahan!
Jean Couteau ; Penulis Kolom “Udar Rasa” Kompas Minggu
|
KOMPAS,
06 September 2015
”Bak mutu manikam yang membujur di sepanjang khatulistiwa”.
Sewaktu sekolah dasar dahulu kala, ketika mendengar bapak atau ibu guru berbicara
tentang Indonesia dengan metafora indah seperti di atas, Anda saya yakin
terharu, bahkan bangga tentang negeri kelahiran Anda ini. Apalagi apabila
disusul dengan kalimat yang berbicara tentang ”hamparan sawah permai yang
membentang sejauh mata memandang”. Enak didengar, maka Anda bangga!
Seakan-akan pernyataan di atas adalah identik dengan kenyataan!
Maaf! Terpaksa saya segera memotong dengan berseru: ”Omong
kosong!” Bualan tentang keindahan Indonesia dijadikan tameng untuk menutupi
kenyataan bahwa keindahan itu (hampir) tidak pernah diperhatikan, atau,
paling sedikit, tidak pernah menjadi pertimbangan kebijakan, bahkan di dalam
hal pariwisata sekali pun. Dengan terlalu sedikit perkecualian, keindahan
yang kini tersisa di Indonesia hanyalah keindahan alam—yaitu alam yang belum
tersentuh manusia modern.
Keseimbangan antara alam dan manusia yang sedemikian dikagumi
”tempo doeloe” tinggal kenangan dan foto lama. Peraturan tentang ”heritage”,
arsitektur tradisional dan perlindungan lingkungan selalu dilanggar. Kalaupun
dipatuhi, penuh dengan kepura-puraan, dan hanya ”sebentar”, untuk kemudian
dibelokkan dengan jeli. ”Duit/fulus” yang unggul, bukan hasrat mencari
keindahan.
Kenapa saya berbicara sekasar ini? Karena diminta! Diminta oleh
rakyat Ubud, baru-baru ini, tanggal 30 Agustus lalu, di dalam suatu diskusi
terbuka, bahkan diimbau juga oleh anggota kaum puri (istana) Ubud. Apabila
tidak ”berteriak” sekarang, apa yang tengah terjadi di Ubud pasti akan
menimpa semua daerah wisata lainnya. Keburukrupaan lingkungan bakal
merajalela. Sudah telat untuk Kuta, kini ia sudah mulai menjangkiti Sanur,
Labuhan Bajo, Senggigi, Pangandaran, dan lain-lainnya.
”Tolong, Pak Jean, jangan segan-segan berbicara gamblang,” kata
Tjokorde ”K” yang saya temui pada waktu kami sama-sama mengantar seorang
tokoh tua di-aben beberapa hari yang lalu, ”Tidak ada satu pun di antara kami
yang setuju dengan ”city hotel” yang bermunculan di Ubud… tetapi tahu-tahu
sudah ada izin prinsip, dan sebentar lagi sudah berdiri.”
Ya, Anda mendengar istilah sang Tjokorde yang kesal itu: ”city
hotel!” Di sebuah kota kecil yang konon dibanggakan sebagai pusat kebudayaan
Bali.
”City hotel” dengan standar internasional, lengkap dengan brosur
gombal tentang Bali asli yang langgeng. Dan memang, sudah telat: ”city hotel”
sudah ada di Ubud, berbentuk kotak dan buruk sekali…. Lebih memprihatinkan
lagi sudah bertebaran pula pilar-pilar beton yang menjanjikan akan ada lagi
”city hotel” di sana, lalu di sini. Habis ”city hotel”, gedung buruk apa lagi
yang akan muncul? Tanah mana yang akan direbut pengusaha properti asing?
Jadi Ubud, kota mungil nan tradisional yang berkat promosi dari
mulut ke mulut telah berhasil tampil sebagai ”pusat kebudayaan Bali”, kini
terancam kehilangan daya tariknya akibat serangan pengusaha-pengusaha
properti yang semuanya memuji-muji keindahan Bali dan Indonesia sembari
mengkhianatinya. Penduduknya resah, dan saya pun resah melihat bahwa
kelanggengan pariwisata berikut kesejahteraan terkait terancam dikorbankan
demi pertimbangan ekonomi jangka pendek yang hanya menguntungkan segelintir
investor predatoris.
Gugatan saya ini jangan disalahpahami. Jangan dianggap harus
dibatasi pada Ubud saja. Saya dan 90% masyarakat Ubud serta semua pencinta
budaya Indonesia tidak meminta agar pembangunan pariwisata dihentikan. Kami
meminta ia dikekang oleh peraturan yang tegas dan jelas: jangan membiarkan
daerah yang masih memiliki arsitektur tradisional dirusak; buatlah, dengan
bantuan drone, inventarisasi dari semua daerah, terutama arsitektur, yang
memiliki kekhasan dan, apabila diberikan izin, berjagalah agar arsitektur itu
mengikuti kaidah-kaidah lokal.
Apabila tidak mungkin dilakukan, bangunlah daerah pariwisata
baru, dengan tata kota dan arsitektur yang padu homogen, seperti pernah
dilakukan di Nusa Dua. Agar sesuai dengan selera rakyat setempat, bersama
mereka lakukan kontrol terhadap spekulasi tanah, lindungilah lahan produktif
dan permudahlah kucuran dana bagi pengusaha lokal, dan perketatlah kredit
bank bagi pengusaha raksasa.
Apakah yang saya tuliskan di atas penting? Apakah memang perlu
melindungi keindahan? Ya, agar Anda sekalian membanggakan sesuatu yang nyata,
bukan mitosnya. Agar yang membujur di sepanjang khatulistiwa tetap mutu
manikam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar