Ketua DPR RI dan Pilpres AS
Azyumardi Azra ; Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
Anggota Dewan Penasihat UN
Democracy Fund, New York (2006-2008) dan International IDEA Stockholm
(2007-2013)
|
KOMPAS,
08 September 2015
Pertemuan Ketua DPR Setya Novanto beserta sejumlah anggota
parlemen Indonesia dengan bakal calon presiden Amerika Serikat dari Partai
Republik, Donald Trump, Kamis (3/9), patut disesalkan. Memperkenalkan Setya
dalam konferensi pers di New York, Trump merasa mendapatkan dukungan (endorsement) ”sahabatnya yang
merupakan salah satu di antara orang sangat berkuasa” dari Indonesia.
Dukungan itu agaknya penting bagi Trump, terutama bukan dalam
konteks politik pilpres AS, tetapi lebih terkait bisnis yang sedang dia garap
di Indonesia. Kalah atau menang dalam pilpres nanti, Trump yang aslinya
pebisnis real estate, hotel, dan kasino, juga aktor reality show TV melalui
Trump Hotel Collection bekerja sama dengan MNC Group pimpinan Hary
Tanoesoedibjo mengembangkan the largest
integrated resort’ di Bali dan Lido, Sukabumi.
Dalam konteks pilpres AS, pertemuan Setya-Trump bisa disebut
sebagai dukungan secara tersirat (tacit
endorsement), mencerminkan sikap partisan. Sebagai pejabat tinggi yang
membawa nama dan lembaga terhormat Indonesia, jika tidak mau partisan, Setya
sepatutnya bertemu tak hanya dengan bakal calon presiden dari Partai
Republik, tetapi juga dari Partai Demokrat.
Karena itu, jika ketua dan rombongan anggota DPR ini terjadwal
hanya bisa bertemu salah satu bakal calon—tidak dengan bakal calon dari
partai lain—sepatutnya dia membatalkannya. Sekali lagi, pertemuan dengan
hanya salah satu bakal calon tak bisa lain kecuali hanya mencerminkan sikap
partisan atau dalam istilah lain yang populer di AS disebut meddling, ’ikut
bermain’, dalam politik dalam negeri AS.
Pejabat tinggi Indonesia jelas secara etis dan diplomatik tidak
boleh terbuka bersikap politik partisan terhadap atau meddling dalam politik
negara lain, termasuk AS. Mereka mesti bukan hanya tidak menunjukkan sikap
partisan lewat pertemuan dengan salah satu bakal calon presiden, tetapi juga
tak berkomentar tentang politik (political
meddling) negara bersangkutan. Memang sikap politik partisan dan meddling
Ketua DPR dalam politik pilpres AS tidak menjadi berita utama media dan
publik AS. Hal itu terkait kenyataan bahwa Indonesia tidak banyak dikenal
para pemilih AS.
Satu-satunya negara yang sering melakukan meddling dalam pilpres AS adalah Israel. Hal itu mudah dipahami.
Israel memiliki kepentingan besar dengan siapa yang bakal menang dalam
pilpres AS; bagi Israel sangat penting apakah capres tertentu sepenuhnya
mendukung kepentingan Israel atau memberikan dukungan hanya ”setengah hati”.
Meddling Israel terakhir dalam pilpres AS terjadi pada pilpres
tahun 2012. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, baik secara implisit
maupun eksplisit, menyatakan dukungan kepada capres Partai Republik, Mitt
Romney. Netanyahu juga menyatakan Romney adalah teman lamanya.
Sebaliknya, PM Israel yang terkenal sebagai sangat keras (hawkish) ini secara terbuka
mengungkapkan kejengkelannya kepada kandidat presiden petahana dari Partai
Demokrat, Barack Obama, karena menolak bertemu dengannya seusai Sidang Umum
PBB, September 2012. Netanyahu menyatakan, Presiden Obama tidak bersikap
keras dan tegas kepada Iran dalam pengembangan nuklir oleh negara ayatullah
itu.
Kalangan petinggi Partai Demokrat mengecam Netanyahu sebagai
telah ikut bermain (meddling) dan
melakukan intervensi terhadap pilpres AS. Partai Demokrat berusaha membangkitkan
sentimen nasionalisme membendung aksi Netanyahu. Sebaliknya, PM Israel ini
menuding AS sebagai selalu ikut mencampuri pemilu Israel.
Berbeda mencolok dengan Netanyahu, meski pertemuan Setya bisa
dianggap sebagai meddling dalam pilpres AS, jelas dampaknya hampir tak ada
bagi pemilih AS. Indonesia tak pernah dikenal sebagai negara yang bisa
memengaruhi politik AS. Bagi para presiden AS, Indonesia pasca-Soekarno
adalah teman baik yang tidak punya rekam jejak mencampuri politik dalam
negeri AS.
Boleh jadi keberatan terhadap politicalmeddling Ketua DPR Setya
Novanto datang dari kubu Partai Demokrat. Bakal calon presiden dari Partai
Demokrat, Hillary Clinton, yang masih memimpin dalam berbagai survei, belum
memberikan tanggapan. Hillary jauh lebih lama dan lebih dekat dengan
Indonesia sejak suaminya, Bill Clinton, menjabat Presiden AS (1993-2001).
Karena itu, jika mempertimbangkan kepentingan Indonesia secara
keseluruhan, lebih logis kalau warga Indonesia berharap— tanpa political meddling—Hillary memenangi
piplres AS, 8 November 2016. Hillary jauh lebih memahami dan lebih berempati
kepada Indonesia daripada Trump karena mantan Menlu AS ini tahu banyak hal
tentang negara dan masyarakat negeri ini. Bagaimanapun, pejabat tinggi
seperti Ketua DPR sepatutnya tidak meddling dalam politik AS dalam bentuk apa
pun. Tidak elok!
Hal sama berlaku bagi Indonesia. Pastilah warga, pejabat, dan
politisi Indonesia sangat gusar dan heboh jika dalam pilpres Indonesia ada
pejabat tinggi AS mengadakan pertemuan dengan salah satu capres Indonesia.
Karena itu, meddling pejabat publik Indonesia dalam politik AS bisa jadi
dapat alasan tambahan bagi pihak tertentu AS untuk meddling dalam politik
Indonesia, khususnya pilpres 2019 dan seterusnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar