Dari Parpol ke KPU
Akh Muzakki ; Profesor Sosiologi Pendidikan;
Dekan FISIP dan FEBI UIN Sunan
Ampel Surabaya
|
JAWA
POS, 04 September 2015
PILKADA
serentak 2015 ibarat suara tokek. Siapa pun yang menyimak suara tokek akan
selalu mendapati jeda di antara ’’nyanyian’’ suara tokek itu:
tokek...[berhenti]…tokek… [berhenti]…tokek…, dan seterusnya. Tidak ada satu
pun di antara penyimak yang bisa memastikan kapan suara tokek itu berhenti.
Atau, berapa kali tokek itu ’’bernyanyi’’.
Begitu pula
proses pelaksanaan pilkada serentak tahun ini. Publik memang bergembira
dengan fakta bahwa mayoritas daerah yang masa jabatan kepala daerahnya habis
pada 2015 dan awal semester 2016 akan menyelenggarakan pilkada serentak pada
akhir 2015 ini.
Namun,
beberapa daerah, seperti Surabaya, justru memunculkan lanskap politik lain.
Tiadanya calon pasangan penantang pasangan petahana membuat proses
pendaftaran berkali-kali dilakukan. Bahkan hingga tiga kali pengulangan
pendaftaran itu harus dilakukan.
Pada awal
dibukanya pendaftaran pasangan calon, partai politik dituduh sejumlah
kalangan sebagai biang kerok atas ketiadaan pasangan calon penantang terhadap
pasangan petahana. Akibatnya, yang muncul hanya calon pasangan tunggal.
Habisnya masa pendaftaran hingga berujung pada pembukaan pendaftaran kembali
membuat sejumlah pihak menuduh parpol telah bermain api dengan melakukan
praktik boikot senyap.
Tingginya
popularitas serta kuatnya elektabilitas pasangan calon petahana
melatarbelakangi keputusan parpol untuk tidak mencalonkan kadernya. Kalau
maju untuk kalah, mengapa pencalonan harus dilakukan. Itulah kira-kira asumsi
publik terhadap pilihan politik parpol untuk tidak mencalonkan kadernya
sebagai pasangan calon pilkada.
Namun kini,
bola panas tuduhan publik beralih dari parpol ke KPU. Sebab, dalam kasus
Surabaya, sebagai misal, parpol mulai berani tampil dengan mengusung pasangan
calon. Setelah pasangan Dhimam-Haris gagal maju pada perpanjangan pendaftaran
awal, PAN-Demokrat mengusung RasiyoDhimam untuk maju.
Tapi, dalam
proses verifikasi berkas, akhirnya KPU Surabaya memutuskan pasangan Rasiyo-Dhimam
tidak memenuhi syarat (TMS). Akibatnya pun bisa ditebak. Keduanya dinyatakan
tidak bisa melanjutkan pencalonan.
Status TMS itu
disematkan menyusul dua hal utama. Pertama, rekomendasi yang diberikan kepada
keduanya dianggap tidak identik. Antara rekom dengan tanda tangan hasil scan
yang diberikan pada hari terakhir pendaftaran (11/08/2015) dan rekom dengan
tanda tangan basah saat verifikasi berkas (19/08/2015) dianggap memiliki
perbedaan. Kedua, salah satu pasangan dianggap bermasalah karena gagal
menyerahkan surat pemberitahuan pajak terutang (SPPT).
Seiring dengan
beralihnya bola panas tuduhan ke KPU dalam kaitannya dengan karut-marutnya
proses penyelenggaraan pilkada di sejumlah daerah di atas, saya melihat ada
beberapa problem mendasar yang dihadapi KPU. Yakni, problem belum terserapnya
aturan teknis ke dalam basis pemahaman KPU di daerah. Pemahaman terhadap
aturan teknis ternyata tidak sama antara satu KPU dan KPU lainnya di beberapa
daerah.
Ada KPU yang
dirasakan publik terlalu longgar dalam melaksanakan regulasi pilkada.
Contohnya KPU Lamongan. Oleh Relawan Demokrasi Lamongan, KPU bersama komponen
penyelenggara pemilu lain, seperti panwas, dilaporkan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara
Pemilu (DKPP) terkait dengan pelolosan dua pasangan calon bupati independen,
Mujiono-Sueb (JOS) dan pasangan Nur Salim-Edi Wijaya (SAE).
KPU Lamongan
dianggap tidak menjalankan PKPU Nomor 9 Tahun 2015 pasal 23 tentang
verifikasi administrasi dan faktual yang berakibat pada pelolosan dua calon
pasangan independen dimaksud.
Ada juga KPU
yang dirasakan publik terlalu ketat dalam menjalankan regulasi pilkada.
Surabaya adalah contohnya. Bagi pendukung pasangan calon Rasiyo-Abror dan
pendukung pilkada Surabaya serentak, KPU Surabaya dinilai terlalu kemajon
(berlebihan) dalam menjalankan aturan teknis pilkada.
Mereka
mengkritik, sebelum sidang hasil verifikasi berkas KPU Surabaya, seharusnya
memberitahukan lebih dulu kepada pihak pengusung Rasiyo-Abror jika memang
dipandang ada kekurangan dalam pemberkasan keduanya.
Sebab, hal
yang sama sebelumnya dilakukan KPU Surabaya kepada pasangan petahana
Risma-Whisnu. Perbedaan perlakuan ini lalu menimbulkan kecurigaan lebih jauh.
Menurut hemat
saya, problem belum terserapnya aturan teknis ke dalam basis pemahaman KPU di
daerah di atas bertemu pada satu titik dengan sikap kehati-hatian KPU di
daerah sebagai pelaksana teknis pilkada serentak. Sikap kehatihatian ini
dilatarbelakangi beberapa fakta dan pengalaman politik yang sempat mengemuka
pada momen kontestasi politik sebelumnya.
Satu di
antaranya adalah muncul atau beredarnya rekomendasi ganda. Karena itu,
rekomendasi identik menjadi isu penting. Namun demikian,
kehati-hatianyangberlebihan bisa juga menimbulkan kegaduhan politik saat hal
itu dilakukan dengan menafikan fakta politik lain.
Yakni, bahwa
tiadanya pasangan calon lain selain pasangan calon yang diusung partai
politik pendukungnya seharusnya menjadi penanda jelas bahwa tidak ada
dukungan ganda.
KPU di daerah
bisa juga melibatkan institusi kepolisian melalui puslabfor untuk turut serta
menguji validitas tanda tangan hasil scan yang diserahkan ke KPU pada saat
pendaftaran.
Uji labfor
selanjutnya dilakukan juga terhadap tanda tangan basah yang ada pada surat
rekomendasi susulan. Lalu, status kevalidan tanda tangan hasil scan itu
dicocokkan dengan tanda tangan basah dimaksud.
Itu semua penting dilakukan KPU
agar pelaksanaan pilkada tidak seperti bunyi tokek yang tidak bisa dipastikan
kapan bermula dan kapan pula berhenti. Apalagi, penyelenggaraan pilkada
serentak makin mepet. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar