Selasa, 01 September 2015

Dampak Pelemahan Rupiah

Dampak Pelemahan Rupiah

Aunur Rofiq  ;  Politikus dan Praktisi Bisnis
                                               KORAN JAKARTA, 31 Agustus 2015          

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           


Di hadapan sidang paripurna DPR,  Presiden Joko Widodo telah menyampaikan Nota Keuangan dan RAPBN 2016. Asumsi makronya pertumbuhan ekonomi 5,5%,  inflasi 4,75%, dan nilai tukar rupiah  13.400 perdollar AS. Kemudian bunga SPN-3 bulan 5,5%, harga minyak dunia  60 dollar AS, lifting minyak 830 juta barel/hari dan  lifting gas 1.155 ribu barel setara minyak/hari.           

Dari sisi makro ekonomi, asumsi yang disusun pemerintah terlihat lebih realistis dengan perkembangan sekarang.  Namun dari segi postur anggaran, tampak bahwa ruang fiskal pemerintah sangat terbatas.

Pemerintah mengajukan RAPBN 2016 dengan total belanja  2.121,3 triliun rupiah dan pendapatan negara  1.848,1 triliun. Jadi,  terdapat defisit 273,2 triliun (2,1% dari Produk Domestik Bruto). Artinya belanja negara hanya naik 6,9% dari APBNP tahun ini.  Anggaran tersebut terdiri dari belanja pemerintah pusat  1.339 triliun,  dana transfer ke daerah dan dana desa  782,2 triliun. Sementara  belanja pemerintah pusat masih didominasi fungsi pelayanan umum sebesar 57,1 % dari total anggaran. Artinya, RAPBN 2016 masih sulit untuk menjadi alat  ekspansif di tengah kelesuan ekonomi.  Anggaran desa naik signifikan,  126%  menjadi  47 triliun rupiah.

Sementara fokus belanja pemerintah pusat diarahkan untuk infrastruktur dengan anggaran 8% dari APBN 2016 atau senilai  313,5 triliun. Dalam APBNP 2015, pemerintah mengalokasikan untuk infrastructure spending  290 triliun rupiah (meningkat 63,18%) dari  177,9 triliun rupiah.  Kondisi fiskal pemerintah sangat terbatas untuk bisa menjadi pendorong  pergerakan ekonomi, apalagi  defisit anggaran  sudah cukup lebar,  2,1%. Tidak terdapat peluang bagi pemerintah untuk mendorong ekspansi ekonomi. Pemerintah tidak memiliki strategi mengembangkan ekonomi yang mampu menghindari tekanan  global melalui kemandirian ekonomi.

Dengan komposisi ini, tampak bahwa pemerintah ingin menggeser beban pembangunan kepada  daerah dan desa. Sementara peran  pusat hanya dialokasikan untuk memenuhi anggaran yang sudah ditetapkan   undang-undang seperti anggaran pendidikan  20% dan kesehatan  5%.

Dalam kondisi seperti ini, pemerintah perlu meningkatkan kualitas penyerapan belanja modal karena  bisa menjadi penentu laju pertumbuhan ekonomi tahun depan. Dengan kian berkualitasnya belanja modal  akan membuat pertumbuhan lebih akseleratif karena proyek-proyek infrastruktur memiliki elastisitas tinggi terhadap penyerapan tenaga kerja.

Dengan ruang fiskal yang terbatas dan kemampuan pemerintah daerah mengelola anggaran  rendah, maka  perlu khawatir terhadap pelemahan  berkelanjutan. Sebab  tanda-tanda ke arah itu bisa dilihat dari target pertumbuhan yang kian menurun. Target pertumbuhan ekonomi yang berhasil dicapai jauh lebih rendah dari proyeksi, bahkan lebih rendah dari tingkat laju inflasi.

Semestinya pertumbuhan ekonomi di atas inflasi agar mampu menjaga daya beli dan menjamin kesejahteraan masyarakat. Bahkan data dari International Global Survey of Consumtion and Saving Intention menunjukkan,  sekarang masyarakat cenderung untuk menabung dan tidak membeli sesuatu karena  Indonesia sedang menghadapi kelesuan dan berada di ambang krisis. Kondisi ini sangat berbahaya dan bisa menjadi siklus  yang memperburuk kondisi menuju krisis lebih  dalam.

Gagal

Pemerintah gagal menjaga momentum pertumbuhan tinggi karena faktor global. Sementara dari sisi domestik pemerintah gagal mengupayakan peningkatan investasi atau pembentukan modal tetap bruto  pusat dan daerah dalam mendorong pertumbuhan.

Selain itu, pelemahan rupiah seharusnya bisa meningkatkan ekspor, namun sayangnya  tidak terjadi karena kita terjebak pada keunggulan ekspor komoditas, sementara permintaan harga  sedang melemah di pasar global.

Sedang industri manufaktur  juga gagal meraih keunggulan di pasar global yang seharusnya bisa menggantikan ekspor komoditas saat  melemah seperti ini. Surplus perdagangan sekarang, bukan karena ekspor  meningkat, tetapi  penurunan impor.

Pemerintah juga perlu mewaspadai ruang fiskal yang terbatas akibat pelemahan rupiah yang bisa mengganggu kestabilan pajak. Kebijakan pemerintah menggeser beban subsidi BBM melalui kebijakan kenaikan harga BBM memang sudah tepat. Namun dampaknya hanya aman dari sisi pembiayaan.

Kebijakan tersebut telah menimbulkan dampak kenaikan harga  barang kebutuhan yang hingga kini masih sering melambung. Tingginya inflasi  menyebabkan beban negara membayar kenaikan bunga SUN juga besar.  Pelemahan nilai tukar rupiah juga lebih banyak menimbulkan beban pengeluaran daripada penerimaan negara. Dari sisi penerimaan ada kenaikan, di mana  setiap melemah  100 rupiah per dollar AS  akan menciptakan kontribusi tambahan penerimaan ke APBN  2,3 triliun rupiah.

Meski demikian, ada kerugian lebih besar dari pelemahan rupiah dalam APBN yaitu kenaikan kewajiban pembayaran utang yang dialokasikan dalam APBN. Ada selisih asumsi rupiah dalam APBN dengan kondisi riil rupiah. Jika dalam APBN Perubahan (APBN-P) 2015 rupiah dipatok 12.500 per dolar AS, saat ini selisihnya sudah mencapai 1.200 dibandingkan rupiah di harga pasar 14.100 perdollar AS.

Pemerintah pernah membuat simulasi, setiap rupiah depresiasi sebesar 100 rupiah per dollar AS, beban tambahan ke kewajiban utang 4,9 triliun. Jika sekarang  sudah melemah dengan selisih sekitar 1.200, maka tambahan kewajiban utang  1.200 dikalikan 4,9 triliun. Ini sama dengan negara memperoleh kerugian 68,9 triliun rupiah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar