Bonus Digital TV dan Rintangannya
Amir Effendi Siregar ; Pengamat Media
|
KOMPAS,
12 September 2015
Bonus digital televisi
dan rintangan masuk adalah dua isu penting perubahan Undang-Undang Penyiaran
yang sedang dibahas DPR dan menjadi prioritas legislasi nasional tahun ini.
Dalam digitalisasi
televisi nanti, satu kanal, yang dalam sistem analog hanya dapat menyalurkan
satu program siaran, dapat menyalurkan banyak program siaran. Bisa sekitar 12
program jika yang dipakai adalah Digital Video Broadcasting Terestrial 2
(DVBT2).
Bonus untuk siapa?
Ketika terjadi migrasi
dari penyiaran analog ke digital, terjadi peningkatan kuantitas ataupun
kasarkan studi
Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) dalam Menegakkan Kedaulatan
Telekomunikasi dan Penyiaran di Indonesia (Rahayu dkk, 2015), bonus digital
ini khususnya terletak di pita frekuensi 174 hingga 230 MHz (VHF) dan 470
hingga 862 (UHF). Namun, pita frekuensi yang paling baik dan ideal adalah 700
MHz (698 MHz sampai 806 MHz). Pita ini disebut sebagai frekuensi emas karena
dapat bersiaran dan berkomunikasi lebih jernih, tajam, dan lebih jauh
sehingga tak memerlukan banyak transmisi, infrastruktur jadi lebih sedikit.
Selama ini, industri
telekomunikasi menggunakan frekuensi tinggi, sekitar 2 GHz, yang membutuhkan
stasiun transmisi 10 kali lebih banyak dibandingkan dengan menggunakan pita
700 MHz. Itu sebabnya pita 700 MHz ini menjadi incaran industri
telekomunikasi.
Efisiensi penggunaan
frekuensi artinya terdapat bonus/sisa frekuensi yang dapat digunakan untuk
kegiatan telekomunikasi dan penyiaran lainnya. Kepada siapa bonus ini
diberikan, apakah kepada industri telekomunikasi atau penyiaran? Jika
diberikan kepada industri telekomunikasi, industri ini sudah dikuasai dan
didominasi asing.
Sebagai contoh,
berdasarkan D&A Valuation Firm (2013), penguasa pasar (88 persen)
industri seluler sudah dikuasai asing. Indosat 65 persen dimiliki asing
(Qtel), sisanya 14,29 persen pemerintah dan 20,71 persen publik. XL Axiata
66,485 persen dimiliki asing (Axiata Investments) dan 33,515 persen publik.
Kemudian Telkom 53,14 persen dimiliki pemerintah, 46,86 persen publik (publik
asingnya sekitar 38 persen). Telkomsel dimiliki PT Telkom 65 persen, Singtel
35 persen. Tampak secara berputar asing telah mendominasi industri
telekomunikasi Indonesia dan itu dibolehkan undang-undang.
Jika UU Telekomunikasi
belum diubah, pemberian bonus digital kepada industri telekomunikasi justru
akan memperkuat dominasi asing. Untuk itu, seharusnya UU Penyiaran baru nanti
harus mempertegas dan menyatakan bahwa bonus digital ini diberikan untuk
industri penyiaran nasional, industri telekomunikasi nasional, dan institusi
pelayanan publik. Selanjutnya UU Telekomunikasi (UU No 36/1999) harus diubah
karena terlalu liberal, tidak sesuai dengan perkembangan zaman, serta
paradigmatis bertentangan dengan UU Penyiaran.
Rintangan masuk
Digitalisasi penyiaran
akan membuka peluang lahirnya pemain baru. Sebagaimana prinsipnya, frekuensi
adalah milik dan ranah publik. Siaran televisi terestrial dapat memasuki
ruangan keluarga tanpa kita undang, bersifat pervasif. Saluran siaran dalam
teknologi digital, meskipun lebih banyak, tetap terbatas.
Di samping itu,
kompetisi antarlembaga penyiaran komersial juga sudah sangat ketat.
Berdasarkan hal itu, regulasi penyiaran di mana pun di dunia, termasuk di
negara demokrasi, berlangsung sangat ketat sehingga perlu dirumuskan
rintangan masuk dengan berpedoman pada prinsip keberagaman kepemilikan dan
keberagaman konten.
UU Penyiaran harus
menjamin kehadiran lembaga penyiaran publik seperti RRI dan TVRI, kemudian
lembaga penyiaran komunitas dan lembaga penyiaran swasta. Kita harus
menyadari betul posisi dan peran setiap lembaga penyiaran ini. Lembaga
penyiaran publik bersifat independen, bukan corong pemerintah, nonkomersial,
milik dan dibiayai negara dan masyarakat, serta ditujukan untuk seluruh warga
negara.
Kemudian, lembaga
penyiaran komunitas yang independen dan nonkomersial didirikan komunitas
tertentu, termasuk perguruan tinggi. Luas jangkauannya terbatas, tetapi
seharusnya bisa berjaringan. Biaya diperoleh dari bantuan masyarakat dan
negara.
Selanjutnya lembaga
penyiaran swasta yang bersifat komersial. Persaingan saat ini luar biasa
ketat. Berdasarkan perspektif yang telah disebutkan di atas, dalam hal ini
diperlukan pengaturan yang ketat untuk memasuki industri ini.
Lima hal prinsip
Beberapa hal perlu
dirumuskan. Pertama, membuat peta persaingan lembaga penyiaran swasta lokal
dan jaringan, termasuk kepemilikannya. Kedua, menghitung secara ekonomis,
komersial, dan teknologis berapa maksimal kemungkinan adanya pemain di setiap
wilayah siar, termasuk menghitung kebutuhan modal minimal yang diperlukan
untuk mendirikan sebuah lembaga penyiaran. Ketiga, memperkirakan jenis
program dan siaran apa yang dibutuhkan publik, baik program umum maupun
khusus. Keempat, mengutamakan perusahaan/institusi yang sudah lama mengajukan
permohonan mendapat izin dengan program isi siaran yang jelas dan
menguntungkan publik. Kelima, penguasaan berlebihan oleh satu orang atau satu
badan hukum terhadap lembaga penyiaran swasta di satu wilayah siar harus
dilarang. Misalnya, tak boleh lebih dari dua.
UU memuat prinsip
pengaturan kemudian dijabarkan dalam peraturan pemerintah dan atau peraturan
Komisi Penyiaran Indonesia. Masukan penyusunan ini harus diperoleh dari
masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar