Asap dan Moratorium
Khalisah Khalid ; Kepala Departemen Kajian dan Penggalangan
Sumber Daya Walhi
|
KOMPAS,
07 September 2015
Pada akhir 2014, Presiden Jokowi blusukan ke Sungai Tohor, Riau.
Setelah itu, Presiden menyatakan komitmennya untuk segera melakukan
langkah-langkah mengatasi kebakaran hutan dan lahan sehingga pada 2015
Indonesia terbebas dari bencana asap.
Faktanya tidak demikian. Dalam beberapa bulan ini asap kembali
melanda setidaknya 66 kabupaten/kota di lima provinsi yang selalu langganan
bencana asap, yakni Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Tengah, dan
Kalimantan Barat, dengan titik api mencapai 20.253 per Februari 2015. Fakta
lain menunjukkan, tak ada perubahan signifikan dari peristiwa kebakaran tahun
lalu dengan tahun ini, sebagian sebaran kebakaran berada di wilayah konsesi.
Jika pada 2014 ditemukan indikasi titik api terdapat di kawasan
hutan yang dibebani hak hutan tanaman (IUPHHK-HT) sebanyak 4.084 titik api di
150 konsesi dan 603 titik api di 85 konsesi perusahaan (IUPHHK- HA), demikian
juga yang terjadi pada tahun ini. Data yang diolah Walhi Sumsel dari berbagai
sumber menunjukkan, pada 2015, 383 titik api di hutan tanaman industri dan
426 titik di konsesi perkebunan kelapa sawit di Sumatera Selatan.
Sebaran titik api kebakaran hutan dan lahan yang sebagian berada
di wilayah konsesi perusahaan tentu bukan tidak diketahui pemerintah. Namun,
dalam kurun yang panjang, upaya penegakan hukum tidak pernah dilakukan,
hingga bencana asap terus berulang selama 18 tahun terakhir. Jika pun ada
pelaku pembakaran yang dijerat hukum, mereka adalah petani dan masyarakat
adat yang dituduh perambah hutan. Kalaupun ada dari perusahaan, yang
tertinggi terkena hukum berada di level operator, bukan pengambil kebijakan
perusahaan. Padahal, ini sudah merupakan bentuk kejahatan korporasi, dengan
kategori extra ordinary crime.
Tahun ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencoba
menegakkan hukum bagi pembakar lahan dengan melakukan segel terhadap
perusahaan yang membakar lahan. Apresiasi tentu diberikan, tetapi sejauh mana
”segelisasi” memberi efek jera kepada perusahaan, dengan peristiwa yang
berulang, tanpa review dan cabut izin.
Momentum yang
terlewat
Pada Mei 2015, Presiden menyetujui perpanjangan moratorium
penundaan pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer
dan lahan gambut melalui Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2015. Disebutkan
bahwa inpres ini bertujuan menyelesaikan berbagai upaya penyempurnaan tata
kelola hutan dan lahan gambut dalam kerangka menurunkan emisi dari
deforestasi serta degradasi hutan.
Kembali pada komitmen Presiden, Inpres Moratorium, dan upaya
yang dilakukan organisasi masyarakat sipil yang mendesak memperkuat kebijakan
moratorium, dapat dikatakan darurat asap yang terjadi tahun ini
mengindikasikan kebijakan yang dibuat memang tidak menjawab persoalan yang
dihadapi.Kita tahu, persoalan yang dihadapi adalah sengkarut dari tata kelola
hutan dan lahan gambut. Hal itu akibat rezim perizinan di masa lalu yang
berdampak terhadap bencana ekologis, seperti bencana kabut asap. Sementara
kebijakan yang dibuat justru tidak menyentuh perizinan lama atau yang sedang
berjalan, yang menyalahi UU, dan ketentuan lainnya. Jadi, bukan hanya menunda
pemberian izin baru.
Dalam kajian terhadap kebijakan moratorium yang dilakukan oleh
Walhi bersama Kemitraan, dari temuan implementasi kebijakan moratorium
sebelumnya ditawarkan berbagai solusi. Di antaranya kebijakan moratorium
hutan dan lahan gambut bukan dibatasi waktu dua tahun per dua tahun, melainkan
berbasis capaian dengan indikator yang dapat terukur, antara lain penurunan
kebakaran hutan dan lahan. Sejak awal sudah diingatkan bahwa selain berbasis
capaian yang jelas, inpres yang kuat juga harus dibarengi upaya penegakan
hukum dan review perizinan, khususnya terhadap perusahaan yang di wilayah
konsesinya ada titik api, bahkan secara berulang.
Sayangnya, tiga bulan sejak berlaku, kebijakan moratorium memang
jauh dari harapan. Selain sebagian sebaran titik api berada di wilayah
konsesi, baik perkebunan sawit, hutan tanaman industri, maupuntambang, titik
api juga berada di area moratorium, seperti yang ditemukan, antara lain, di
Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat. Temuan titik api di area moratorium
bisa menarik kita pada kesimpulan yang agak nakal bahwa inimodus agar kawasan
tersebut ditetapkan sebagai lahan kritis dan kemudian bisa diberikan sebagai
lokasi konsesi. Apalagi, Inpres No 8/2015 masih sangat permisif, revisi
dibuka ruangnya per enam bulan.
Kesempatan terbaik Presiden kala itu untuk memperkuat kebijakan
moratorium dilewatkan. Padahal, momentum itu bukan sekadar upaya perbaikan
tata kelola hutan, melainkan sesungguhnya jauh lebih dari itu.
Ada begitu banyak anak Indonesia yang kini menjadi korban dari
pelewatan kesempatan membuat kebijakan yang lebih berpihak kepada lingkungan
hidup dan rakyat. Anak-anak yang tidak sehat akibat terpapar asap dari
kebakaran hutan dan lahan, dan generasi inilah yang ke depan akan memimpin
bangsa ini. Anak-anak menjadi korban paling rentan, dari kesempatan terbaik
yang harusnya dipilih oleh seorang Presiden pada medio Mei 2015, tetapi
Presiden tidak memilih itu.
Konon penguatan akan dilakukan bersamaan dengan implementasi
Inpres No 8/2015. Namun, yang mesti diingat, laju perusakan jauh lebih cepat
dan masif dibandingkan dengan upaya pemulihan. terlebih di tengah konsolidasi
birokrasi yang lamban dan diperunyam dengan situasi ekonomi Indonesia yang
kini mulai labil digoncang dinamika ekonomi global.
Hampir bisa dipastikan kepentingan lingkungan hidup dan rakyat
kembali akan tertinggal dibandingkan dengan isu ekonomi, yang secara langsung
terhubung dengan stabilitas politik bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar