Surat
Terbuka untuk Presiden
Asvi Warman Adam ; Visiting Research Scholar pada CSEAS Kyoto
University
|
KOMPAS,
10 Desember 2014
SEBELUM
menjadi presiden, Joko Widodo telah mencanangkan visi-misinya yang disebut
Nawacita. Pada program keempat tentang penegakan hukum disebutkan antara lain
”menghormati HAM dan penyelesaian
berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM pada masa lalu”. Jadi,
kalau ada menteri yang kurang peduli terhadap penyelesaian masa lalu, tentu
ia tidak membaca dan memahami Nawacita.
Dari
kasus pelanggaran HAM masa lalu sejak 1945 sampai 2000, salah satunya dan
yang paling menonjol adalah kasus 1965 yang merupakan pembunuhan massal
terbesar dalam sejarah Indonesia:
500.000 orang. Belanda yang berada di Nusantara selama 350 tahun menewaskan
125.000 orang Indonesia, 75.000 di antaranya di Aceh. Jadi, jauh lebih banyak
korban pembunuhan sesama bangsa sendiri.
Komisi
Nasional HAM telah menghasilkan laporan penyidikan pro-justicia tentang
kejahatan kemanusiaan 1965, seyogianya Kejaksaan Agung tidak bermain-main
untuk menindaklanjutinya dalam rangka melaksanakan Nawacita.
Peristiwa
1965 telah berlangsung selama hampir 50 tahun tanpa penyelesaian yang
komprehensif dan berkeadilan. Dalam waktu dekat ada beberapa hal yang dapat
dilakukan presiden, meminta maaf atas kekeliruan negara dan menanggapi
petitum Mahkamah Agung.
Meminta maaf
Pertama,
presiden Indonesia perlu meminta maaf kepada ribuan patriot Indonesia
yang dicabut kewarganegaraannya setelah Gerakan 30 September (G30S)
1965 meletus. Tahun 1960-an Presiden Soekarno mengirim ribuan ”mahid”
(mahasiswa ikatan dinas) ke luar negeri untuk mempersiapkan pembangunan dalam
bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena dianggap sebagai pendukung
Soekarno, paspor mereka dicabut dan mereka kehilangan kewarganegaraan. Hampir
semuanya telah menjadi warga negara asing walau mereka tetap bersemangat
mengikuti peringatan proklamasi kemerdekaan
di KBRI setempat, termasuk membacakan teks Pancasila. Rata-rata
berusia 75 tahun atau lebih dan sebagian besar telah meninggal.
Kedua,
presiden Indonesia seyogianya menyatakan kekeliruan pemerintah pada masa lalu
dalam membuang lebih dari 10.000 orang ke Pulau Buru selama 10 tahun
(1969-1979). Tanpa proses pengadilan, mereka dipekerjakan secara paksa dalam
suatu kamp konsentrasi tanpa tahu kapan akan dibebaskan. Protes lembaga
internasional yang menyebabkan Pemerintah Indonesia mengakhiri kejahatan
kemanusiaan ini
Ketiga,
presiden sebaiknya meminta maaf kepada anak-anak korban peristiwa 1965 yang
tidak boleh menjadi PNS dan ABRI sejak Instruksi Menteri Dalam Negeri
dikeluarkan pada 1981. Terlepas dari
orangtuanya bersalah atau tidak, anak-anak mereka sama sekali tidak boleh
didiskriminasikan dalam memilih lapangan pekerjaan seperti dijamin dalam UUD
1945.
Keempat,
presiden tentu perlu menanggapi petitum
Mahkamah Agung tahun 2011. Dalam memeriksa dan mengadili perkara permohonan
keberatan hak uji materiil terhadap Keputusan Presiden RI Nomor 28 Tahun
1975 tanggal 25 Juni 1975 tentang
Perlakuan terhadap Mereka yang Terlibat G30S/PKI Golongan C, Mahkamah Agung
mengeluarkan putusan Nomor 33 P/HUM/2011 yang menyatakan keputusan presiden
tersebut beserta seluruh peraturan di bawahnya bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi. Oleh sebab itu, Mahkamah Agung ”memerintahkan kepada Presiden RI untuk
mencabut Keputusan Presiden No 28 Tahun 1975 tentang Perlakuan terhadap
Mereka yang Terlibat G30S/PKI Golongan C tanggal 25 Juni 1975 tersebut”.
Pada era
Reformasi dengan bersusah payah dilahirkan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi (KKR) tahun 2004. Namun,
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersikap setengah hati dengan tidak kunjung
menetapkan nama-nama anggota KKR yang diberikan panitia seleksi
untuk selanjutnya dipilih DPR. Selanjutnya, Mahkamah Konstitusi yang dipimpin
Jimly Asshiddiqie secara ultrapetita merobohkan UU itu.
Membuat terobosan
Pengganti
undang-undang itu sudah selesai
digodok oleh Kementerian Hukum dan HAM, tetapi tidak kunjung
diserahkan pemerintah kepada DPR.
Selain Pengadilan HAM ad hoc, KKR diperlukan untuk menyelesaikan
pelanggaran HAM masa lalu secara komprehensif.
Sebagai
terobosan, sebaiknya pembentukan komisi ini tidak lagi dengan undang-undang
yang akan memakan waktu lama, tetapi cukup dengan keputusan presiden. Jadi,
merupakan komisi negara yang dibentuk presiden dengan personel yang ramping
dan bertugas dalam tempo yang tidak
terlalu lama, misalnya dua tahun.
Semoga surat ini dapat membantu Presiden Joko Widodo dalam membuat
terobosan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu yang termasuk program
Nawacita. Dengan demikian, bangsa ini dapat melangkah ke depan tanpa beban. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar