Penenggelaman
Kapal Asing
M Riza Damanik ; Direktur Eksekutif IGJ;
Ketua Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia
|
KOMPAS,
12 Desember 2014
ENAM tahun lalu kapal Eka Sakti milik
Sahring—nelayan asal Nusa Tenggara Timur—dibakar dan ditenggelamkan oleh
Angkatan Laut Australia atas tuduhan melanggar Undang-Undang Pengelolaan
Perikanan Australia 1991. Belakangan Pengadilan Federal Australia, 1 April
2014, mengeluarkan keputusan membebaskan Sahring dari sanksi dan mendapat
ganti rugi 44.000 dollar Australia. Sayangnya, tidak ada reaksi apa pun dari
Pemerintah Indonesia terhadap kasus Sahring versus Australiayang sempat
populer ini. Padahal, kasus ini memberi pelajaran bahwa penenggelaman kapal asing
yang melakukan pencurian ikan di laut teritorial suatu negara bukanlah hal
baru dalam penegakan hukum di laut. Namun, tindakan semacam itu tetap harus
dilakukan dengan benar dan profesional.
Secara
legal formal pencurian ikan oleh kapal asing di perairan Indonesia dapat
dikategorikan kejahatan luar biasa. Paling utama: pelanggaran kedaulatan.
Merujuk kepada Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982, masuknya kapal ikan
asing secara ilegal di laut teritorial Indonesia dapat dikategorikan
membahayakan kedamaian, ketertiban, atau keamanan nasional (Pasal 19). UU No
31/2004 yang diperbarui dengan UU No 45/2009 tentang Perikanan menyebutkan,
aksi pencurian ikan tergolong tindak pidana. Hukumannya tak hanya berlaku
bagi operator di atas kapal, tetapi juga dapat menjerat pemilik kapal dan
pemilik perusahaan (Pasal 8). Kapal asing pencuri ikan juga boleh dibakar dan
ditenggelamkan (Pasal 69), bahkan membayar denda hingga Rp 20 miliar (Pasal
93).
Kejahatan yang berulang
Celakanya,
10 tahun sejak diundangkan, peraturan itu minus implementasi. Lemahnya
penegakan hukum di laut telah menyuburkan pencurian ikan. Saban tahun sekitar
30 persen dari total 10 miliar-23 miliar dollar AS kerugian dunia akibat
pencurian ikan di perairan Indonesia.
Puncaknya,
proporsi konsumsi rakyat Indonesia terhadap protein hewani yang berasal dari
ikan hanya 54 persen. Angka ini lebih rendah daripada Banglades (56), Sri
Lanka (57), Kamboja (65), dan Maladewa (71) (FAO, 2014). Sebesar 40-50 persen
dari total 3,6 juta ton kapasitas terpasang industri perikanan Indonesia
gagal berproduksi karena kekurangan bahan baku. Akibatnya, sektor kelautan
gagal membuka 10 juta lapangan pekerjaan baru untuk penangkapan, pengolahan,
dan pemasaran.
Penelitian
Walhi pada 2008, Menjala Ikan Terakhir, mengungkap bahwa dalam kurun 20 tahun
terakhir telah terjadi kontinuitas kejahatan perikanan di laut Indonesia.
Asal pencuri ikan secara konsisten 10 negara. Enam merupakan anggota ASEAN
(Thailand, Filipina, Vietnam, Malaysia, Kamboja, Myanmar) dan empat:
Tiongkok, Korea, Taiwan, dan Panama. Aksi pencurian ikan konsisten di 18
lokasi. Lima titik di laut bagian barat dan 13 lokasi di timur Indonesia.
Modusnya tak ada yang baru: penggandaan izin, penggunaan bendera Indonesia,
nama kapal berbahasa Indonesia, mempekerjakan ABK asal Indonesia, dan bekerja
sama dengan oknum aparat hukum Indonesia.
Presiden
Joko Widodo menyebut 5.400 kapal asing bebas mencuri di laut Indonesia
(Kompas, 19/11). Jumlah ini hampir sama dengan total izin penangkapan ikan
yang dikeluarkan pemerintah hingga akhir 2014. Instruksi Presiden Jokowi
menenggelamkan kapal asing yang mencuri di perairan Indonesia, pertama, harus
disambut dengan peningkatan profesionalisme aparat penegak hukum di laut.
Tindakan tegas itu tak boleh bertentangan dengan konvensi internasional,
termasuk hak universal pelaku kejahatan pencurian ikan. Pemerintah Indonesia
juga wajib menyelenggarakan peradilan jujur, bebas dari penyiksaan, dan
menyegerakan pemberitahuan ke kedutaan besar negara asal pemilik kapal
bersangkutan.
Kedua,
bobot diplomasi luar negeri Indonesia harus dibenahi, setidaknya memastikan
agar aksi penenggelaman kapal ikan asing tak disalahartikan sebagai aksi
premanisme. Namun, semata-mata melindungi kepentingan nelayan dan menjamin
keberlanjutan pengelolaan ikan di dunia.
Terakhir,
pengoptimalan partisipasi masyarakat nelayan. Tingginya ongkos patroli di
laut, terbatasnya ketersediaan bahan bakar minyak dan armada patroli, hanya
dapat terselesaikan dengan mengoptimalkan peran aktif organisasi nelayan
melindungi wilayah perikanannya. Di sinilah Presiden Joko Widodo dapat
memprioritaskan lahirnya peraturan pemerintah tentang pengawasan perikanan,
keikutsertaan masyarakat dalam membantu pengawasan perikanan, seperti
diamanatkan UU Perikanan.
Dengan begitu, perintah menenggelamkan kapal ikan asing akan memberi
efek jera, memulihkan kedaulatan, sekaligus memperkuat eksistensi nelayan
Indonesia di laut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar