Mengakhiri
Birokrasi Priayi
Anas Urbaningrum ; Ketua Presidium Perhimpunan Pergerakan
Indonesia
|
REPUBLIKA,
17 Desember 2014
Reformasi
birokrasi dan pelayanan publik adalah wacana yang selalu mengemuka di tiap
pemilu, mulai dari pilpres hingga pilkada tingkat kabupaten/kota. Birokrasi
dan pelayanan publik merupakan ujung tombak kehadiran negara yang merupakan
salah satu pokok penting dalam demokrasi.
Presiden
Jokowi menyerukan agar birokrasi tidak bersikap seperti penguasa yang
dilayani, tapi harus melayani. Sebelumnya, Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi mengatakan, sudah waktunya
mengakhiri birokrasi priayi. Pengertiannya sama saja. Mentalitas lama
birokrat yang minta dihormati dan dilayani harus diubah menjadi sikap siap
dan bersedia menghormati serta melayani. Apakah ini terjemahan dari program
revolusi mental di sekitar birokrasi?
Sesungguhnya
reformasi birokrasi bukan isu baru. Program perbaikan agar birokrasi lebih
cakap, cekatan, produktif, dan fungsional sudah lama dilakukan. Wacana clean
government dan good governance tidak asing. Birokrasi yang melayani publik
sudah menjadi konsumsi sehari-hari dalam ceramah, santiaji, diklat, dan
sejenisnya.
Reformasi
birokrasi merupakan ikhtiar besar pembenahan sistem penyelenggaraan
pemerintahan agar mampu menjawab tantangan baru yang makin kompleks. Jika
dikaitkan dengan revolusi mental, reformasi birokrasi ingin mentransformasi
mental secara radikal, dari tradisi berkuasa dan dilayani menjadi tradisi
pelaksana yang melayani. Apakah proyek ambisius mentransformasi cara berpikir
dan sikap mental ini akan berhasil? Kesungguhan ikhtiar yang konsisten dan
waktu yang akan menjawabnya.
Jika
reformasi birokrasi dijalankan dengan mengubah mentalitas birokrat, ada
pertanyaan yang harus dijawab. Justru jawaban atas pertanyaan inilah yang
akan menentukan apakah revolusi mental di sektor birokrasi akan menjadi
realitas historis ataukah berhenti menjadi pernyataan politik belaka.
Pertama,
wajah birokrasi merupakan sebagian potret budaya yang hidup di tengah-tengah
masyarakat. Apakah revolusi mental bagi kalangan birokrat akan berhasil jika
tidak bersamaan dengan proses transformasi masyarakatnya? Pertanyaan ini
berangkat dari pandangan bahwa birokrasi adalah bagian dari kebudayaan suatu
bangsa. Bangsa yang modern akan mempunyai birokrasi modern, sedangkan bangsa
yang tradisional menghasilkan birokrasi yang tradisional pula. Bangsa yang
setengah modern juga akan diikuti oleh wajah birokrasi yang merupakan
campuran antara modern dan tradisional.
Umur
birokrasi kita merentang dari birokrasi pada zaman kerajaan-kerajaan
nusantara, pemerintah kolonial, masa revolusi kemerdekaan hingga sekarang.
Sejak masa revolusi kemerdekaan mulai dibangun tatanan birokrasi modern, tapi
terjebak untuk melayani kepentingan politik yang berkuasa. Begitu juga di
zaman Orde Baru. Birokrasi Orde Baru mengikuti irama kebudayaan yang dibangun
dengan spirit feodalisme gaya baru. Birokrasi Orde Baru menghidupkan tatanan
nilai "priayi" atau "pangreh praja" yang memosisikan
birokrat tidak ubahnya "abdi dalem" kerajaan dengan seragam modern.
Melakukan
revolusi mental di kalangan birokrasi tidak akan berhasil atau akan sangat
lambat prosesnya jika dilakukan terpisah dengan struktur mental masyarakat
luas. Cara pandang baru birokrasi dalam melihat masyarakat yang harus
dihormati dan dilayani tidak akan terbangun cepat jika masyarakat tidak
mempunyai perspektif baru dalam melihat birokrasi. Bagaimana masyarakat
memosisikan birokrasi dalam konteks relasi masyarakat dan pemerintahnya
menjadi faktor yang sangat penting.
Meskipun
melakukan revolusi mental pada seluruh tingkatan masyarakat dengan segala
kemajemukan sosial, budaya, dan status ekonominya jelas lebih sulit, revolusi
di "kamar" birokrasi juga tidak mudah tanpa memerhatikan struktur
mental masyarakat keseluruhan. Birokrasi adalah "kamar" tersendiri,
tapi tidak pernah bisa lepas dari "rumah besar" kebudayaan Indonesia
yang sedang hidup dan dipraktikkan sehari-hari oleh masyarakatnya.
Kedua,
ketika impersonalitas belum terbangun dengan baik, lebih terjamin mana antara
melayani kepentingan politik kekuasaan dan kepentingan rakyat banyak?
Pertanyaan ini tidak untuk mengatakan bahwa interes pelaku kekuasaan terpisah
dengan kepentingan rakyat. Ini penegasan bahwa dalam realitasnya sering
terjadi jarak antara hajat rakyat dan selera kekuasaan.
Tidak
sulit untuk menemukan sederet fakta bahwa logika kebutuhan rakyat bisa
berbeda dengan kepentingan penguasa. Bukan rahasia jika dikatakan pada era
demokrasi parlementer, birokrasi melayani kepentingan partai-partai.
"Warna" setiap departemen bisa berbeda.
Pada
masa Demokrasi Terpimpin, birokrasi melayani Bung Karno. Pada zaman Orde
Baru, operasi-operasi politik Pak Harto dilakukan dengan baik oleh jajaran
birokrasi. Apalagi dengan adanya konsep monoloyalitas birokrasi. Pada masa
Reformasi, warna birokrasi juga dipengaruhi oleh presiden dan partainya.
Demikian pula dengan kementerian yang dipimpin oleh kader-kader partai
politik.
Birokrasi
di tingkat daerah juga ditentukan oleh siapa dan bagaimana latar belakang
kepala daerahnya. Setiap instansi dan lembaga dipengaruhi oleh siapa
pemimpinnya. Apakah dari partai, nonpartai, termasuk latar belakang agama, daerah,
suku, hingga golongannya. Memang tidak selalu ekstrem gambaran realitas itu,
tapi jelas sama sekali tidak bisa disepelekan, apalagi diabaikan.
Ketika
harus memilih antara melayani arahan selera pimpinan (terbuka atau tertutup)
dan kepentingan publik, tradisi melayani akan mengarah ke mana? Dalam
birokrasi modern yang relasinya bersifat impersonal, jawabannya tentu
melayani kepentingan publik. Namun, dalam realitas birokrasi semipatrimonial,
apakah pilihan itu tidak akan menjadi ancaman bagi masa depan karier
seseorang? Betapa realitas itu mengandung dilema sangat kompleks bagi para
birokrat.
Artinya,
revolusi mental di kalangan birokrasi untuk menjadi pelayan publik yang
konsisten dan konsekuen juga ditentukan oleh konstruksi mental aktor-aktor
kekuasaan di tingkat pusat dan daerah serta pada berbagai instansi. Revolusi
mental birokrasi tidak akan terjadi jika setiap saat seseorang terancam
kariernya oleh sikap mental kekuasaan yang mengawetkan gaya berpikir lama.
Ketiga,
apakah tradisi melayani akan terbangun bersamaan dengan gaji yang tidak cukup
dan beban budaya yang harus ditanggung? Pertanyaan ini datang dari kenyataan
gaji aparat birokrasi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan diri dan
keluarganya. Akhirnya, kecukupan biaya hidup aparat birokrasi dan keluarganya
harus dipenuhi dari penghasilan lain yang dikreasi dari praktik di lapangan.
Karena itulah ada jarak antara gaji dan penghasilan, bahkan bisa sangat jauh.
Kebutuhan nyata secara cukup memadai hanya bisa dijawab oleh penghasilan,
bukan gaji.
Realitas
lain yang tidak boleh dilupakan oleh kebiasaan, kelaziman, dan tradisi dalam
kebudayaan kita untuk memperhatikan nasib dan menyantuni keluarga, kerabat,
dan sahabat adalah keutamaan yang dianjurkan. Karena itulah, secara umum,
mobilitas vertikal pejabat birokrasi berarti pula beban kultural yang
bertambah. Makin tinggi jabatan, makin berat pula beban kultural yang harus
ditanggungnya. Salah satunya karena makin banyak pula proposal yang datang.
Artinya,
tradisi baru birokrasi yang teguh melayani kepentingan publik perlu didorong
bersama dengan remunerasi rasional. Tradisi melayani tidak bisa dibangun
dalam suasana keterpaksaan. Dengan kecukupan yang rasional secara pribadi,
keluarga, dan sosial, aparat birokrasi bisa dipacu untuk menjalankan fungsi
melayani. Apalagi kalau dengan suka hati dan kemudian menjadi semacam
panggilan jiwa menjadi birokrat.
Proyek besar mentransformasi mentalitas priyayi menjadi abdi masyarakat
memang tidak gampang. Ikhtiar untuk itu merupakan keharusan sejarah. Keberhasilan
atau kecepatan hasilnya sangat ditentukan oleh kesanggupan menjawab soal-soal
di atas, termasuk masalah lain yang lebih kompleks di lapangan. Setidaknya
pemerintahan baru sudah mengawalinya dengan keteladanan. Tinggal konsisten
dan terus menggerakkan keretanya. Wallahu
a’lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar